[caption id="attachment_198820" align="aligncenter" width="622" caption="Lavinia dan mbak Chayenne main dakon"][/caption]
Dakon, dhakon atau congklak, yang diperkirakan muncul pada tahun 7000-5000 S.M merupakan permainan tradisional atau dolanan yang menggunakan piranti kayu, tembaga, plastik atau jika tak ada perangkat, bisa digambar di tanah atau dengan kapur di lantai (dengan lubang yang serupa).
Berdasarkan etimologi, dhakon berasal dari kata dhaku dengan akhiran –an. Ini berarti dhaku mengacu pada kata ngakoni (red: mengakui bahwa barang itu milik seseorang). Gambaran saya saat bermain dhakon ini adalah, biji yang ada disisi saya adalah milik saya, sedangkan di seberang adalah milik lawan. Begitu pula lumbung, bahwa lubang yang lebih besar dari ketujuh lubang yang ada di tiap sisinya dan terletak di sebelah kanan pemain itu, selalu menjadi milik pemain (mengingat perjalanan pembagian biji dari kiri ke kanan).
Ditambahkan pula bahwa di berbagai negara yang memiliki permainan serupa menyebutnya sebagai “mancala” berasal dari kata arab “naqala” yang artinya bergerak.
Gambarannya, lubang berjumlah tujuh di masing-masing sisi ditambah dua buah lumbung di kanan dan kiri. Kecik alias biji yang harus ditata didalamnya bisa berjumlah 7 pada masing-masing lubang (kecuali lumbung), 9 atau 11. Secara nalar, setiap bermain, lubang masing-masing pemain memiliki total 98, 162 atau 242 biji.
Ya. Dhakon adalah permainan yang saya kenal sejak kecil (tahun 1980-an). Sedangkan di Jawa sendiri, dhakon telah dikenal sejak tahun 1970-an oleh kebanyakan anak-anak wanita. Biasanya dhakon yang indah dan berukir banyak ditemukan di keraton dan dikenal secara turun temurun oleh anak-anak trah keraton. Sayang sekali jika lambat laun tapi pasti, permainan dhakon ini di tanah air, tergantikan oleh game modern (XBox, PS, Nintendo, Ipod, MP3 dan bahkan Ipad). Padahal anak-anak luar negeri bisa jadi menyukai dan menikmati permainan unik dan lawas ini diantara perang game modern, seperti yang saya lihat selama ini.
[caption id="attachment_198821" align="aligncenter" width="640" caption="Mike dan anak TK main dhakon"]
Suami dan anak-anak saya, serta teman-teman di kampung Jerman telah saya perkenalkan pada dolanan ini sejak lama. Mula-mula saya ajari lawan tentang aturannya bahwa masing-masing memiliki 8 lubang di tiap sisinya, 7 lubang kecil dan 1 lubang lebih besar. Sembari duduk berhadapan, kami (saya dan lawan) bagi masing-masing lubang dengan kecik (red: biji dari bahan alami atau plastik) dengan jumlah yang sama 7, 9 atau 11 (tergantung keinginan dan kesepakatan atau ketersediaan biji).
Usai membagi, kami yang harus bertanding satu lawan satu melakukan pingsut (red: menyembunyikan satu jari lalu bersama-sama memperlihatkannya). Tiga jari khusus itu adalah; ibu jari yang dimaknai sebagai gajah, superior. Telunjuk berarti manusia. Kelingking menandakan semut. Seingat saya, penalarannya adalah gajah bisa mengalahkan manusia karena terinjak. Gajah terkalahkan semut lantaran hewan kecil memasuki telinga dan mematikan hewan raksasa itu (mengingatkan saya pada perumpamaan semut diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak?), sedangkan semut akan mati melawan manusia karena semut bisa dipencet manusia hingga mati. Jadi harus berhati-hati gambling dengan salah satu jari yang akan kita perlihatkan atau diperlihatkan lawan.
Setelah ketahuan siapa pemenangnya, pemain yang menang memulai permainan dengan membagikan kecik satu persatu dalam lubang (kecuali lumbung lawan) dari arah kiri ke kanan. Lubang yang diambil terserah, mau lubang pertama, kedua dan seterusnya (dari ketujuh lubang yang ada). Jika jatuh di salah satu lubang dari ketujuh milik lawan, tetap diambil dan dibagikan sampai habis. Pemain harus berhenti jika biji terakhir adalah di lumbung atau di sebuah lubang yang kosong dari lawan (jika lubang dengan biji terakhir itu adalah di sisi pemain dan diatasnya adalah milik lawan yang berisi biji-bijian, isinya berhak diboyong ke lumbung pemain alias mengunduh/menjolok).
Permainan dilanjutkan musuh dengan peraturan yang sama seperti yang sudah dijalankan.
Setelah tak ada lagi biji di dalam keempat belas lubang kecil, permainan diakhiri dengan menghitung masing-masing lumbung. Semakin banyak biji-bijian yang dikumpulkan semakin besar kemungkinan menjadi pemenang, meski hanya beda satu biji. Pemain dengan biji terbanyaklah yang berhak menjadi pemenang.
Itulah sebabnya, anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan matematika yang lebih atau cepat biasanya bisa menghitung akan jatuh di mana dan menguntungkan atau tidak, meski biji-bijian belum diambil bahkan belum dibagikan.
Konon, Afrika memakai permainan ini sebagai alat pembelajaran matematika bagi anak-anak. Para ahli yang meneliti permainan ini menyimpulkan bahwa dhakon berguna dalam melatih fungsi kognitif otak, melatih memori dan melatih pemecahan masalah. Semakin banyak bermain semakin tahu hasil akhir dari permainan. Menurut saya ada benarnya juga karena yang paling saya ingat adalah lain kali saat mengawali permainan, jangan mengambil biji-bijian (yang masing-masing 7 biji misalnya) dari lubang pertama karena akan jatuh di lumbung yang berarti permainan berhenti dan diteruskan lawan. Secara matematika, 7 dibagi 7 (6 lubang kecil dan 1 lumbung) = 1, sehingga akan jatuh di lumbung pemain, yang berarti giliran lawan yang bermain.
***
Adalah Lavinia, gadis umuran 18 tahun dari Eropa Timur yang sejak Sabtu, 23 Juni 2012 berada di rumah kami. Gadis cantik ini menjadi utusan Rumania untuk belajar Deutsch di Jerman. Lewat program Austausch Schülerin/nen yang diorganisir oleh sebuah lembaga di Stuttgart, ia akan berada di Jerman selama 1 bulan.
Banyak hal yang ia pelajari selama berada di rumah kami. Meski poin yang ia cari adalah sesuatu yang Jerman sekali, tak ada salahnya saya coba perkenalkan beragam ciri khas Indonesia seperti membuat lumpia, nasi goreng, nasi kuning, opor (dan masakan Indonesia lainnya), bahasa Indonesia (dan Jawa), membuat tempe, adat istiadat serta bermain dhakon dan bekel!
[caption id="attachment_198822" align="aligncenter" width="415" caption="Main bekel lebih sulit ...."]
Sayang sekali bekel terlalu sulit bagi anak-anak kami dan teman-teman asing, seperti Lavinia asal Rumania ini. Belum ada sebuah keseimbangan yang matang antara memantulkan bola dengan mengambil kecik atau biji berbentuk mirip kereta mungil berwarna putih atau kuning emas bahkan membaliknya. Dhakon, lebih pas dimainkan oleh mereka lantaran lebih mudah dicernak, menyenangkan dan gampang dijalankan.
Sedangkan gadis cantik berhidung mbangir itu banyak bercerita tentang kehidupan rakyat Rumania dan mitos drakula yang ada di negerinya. Ternyata tak hanya Indonesia yang memiliki UMR yang masih rendah, Rumania yang sudah masuk kawasan Eropa-pun masih sama. Senangnya bahwa ikatan persaudaraan di kalangan masyarakatnya masih erat tak ubahnya di Indonesia. Sebuah tempat seram juga menjadi sebuah obyek wisata yang menarik. Tetapi ini bukan berarti bahwa jika kita berkunjung ke Rumania, bisa digigit drakula. Kata Lavinia, itu hanyalah sebuah legenda rakyatnya yang muncul ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Hmm cross-cultural understanding itu indah. Jangan lupa … dhakon itu dari Indonesia ya, Lavinia?! Bukan dari Jerman (meski belajar dhakon saat berada di Jerman). (G76)
Sumber
1.Pengalaman pribadi
2.http://jv.wikipedia.org/wiki/Dhakon
3.http://whitewing69.wordpress.com/tag/sejarah-dakon/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H