Kami baru saja mengecat garasi. Atapnya yang rata kami ganti batu-batu kecilnya lantaran berlumut, sengnyapun kami copot ditukar dengan stainless steel karena karatan tingkat akut. Maklum sudah 36 tahun belum pernah diganti.
Begitulah, karena harga tukang mahal kami kerjakan sendiri.
Singkat cerita, kami berdua kelar mengecatnya usai beberapa jam menggerakkan tangan kanan kami ke atas dan kebawah, disengat matahari yang sedang terik.
„Pakkk, dulu aku suka layangan di atas gendeng rumah sama kakak-kakak loh, mana miring gak kayak punya kita ini, rata. Mama hat immer Drache gespielt … auf dem Dach, Kinder…“Saya juga berbagi cerita kepada anak-anak bahwa dahulu sering main layang-layang diatas genting.
„Ibuuu … kamu saru. “ Bapak mengolok-olok.
„Hiiy sarruu …“ Mbak Chayenne ikut-ikut.
„Kok saru tho, Pak.“
„Perempuan, di Indonesia memang boleh naik-naik? Klettern verboten ne.“
„Siapa bilang ? Perempuan boleh dan bisa juga main layang-layang, kok….“ Sembari menikmati hasil jerih payah kami, saya bercerita kepada suami dan anak-anak bahwa dahulu sering mendapatkan layang-layang tiban yang jatuh di loteng kami, lalu memainkannya. Maklum, kami tak dibiasakan dapat uang saku.
Hobi ini juga menjadi pilihan anak-anak umuran SD-SMP jaman saya kala itu.
[caption id="attachment_190193" align="aligncenter" width="655" caption="Bermain layang-layang ala Jerman"][/caption]
***
Sayangnya, beberapa tahun yang lalu saat mudik, tak kami temukan lagi kesenangan ini pada anak-anak kampung tempat saya dibesarkan. Belum pernah saya lihat seorang anak sedang menarik ulur benang, seorang anak membantu anak lainnya menaikkan layang-layang atau ketika kerumunan anak-anak berebut layangan dan salah seorangnya menjerit „WC, WC“ (red: saya yang dapat, loh). Kemana larinya tradisi bermain kertas terbang ini ?
Yang saya lihat adalah sebuah perubahan; odong-odong memenuhi lapangan kampung di depan rumah, dimana anak-anak bisa menaiki figur binatang yang berputar lantaran pedal dikayuh si penjaja. Duh, musiknya kenceeeeeeeeng banget, seh, Pak?
Sedih rasanya jika memang budaya ini telah tergantikan oleh yang modern dan canggih. Mulai dari PS, Nintendo, Handy, Ipod bahkan Ipad-kah ??? Huwaaa ….
Syukurlah di tempat tinggal orang tua saya yang kota tapi pinggiran, masih ada dokar keliling untuk anak-anak. Layang-layang tak melayang, delman tetap datang. That sounds good.
***
Sementara di Jerman, budaya main layang-layang ini selain marak di kampung-kampung sekitar bulan September, bahkan menjadi sebuah tradisi turun temurun yang dipadu dalam sebuah festival.
[caption id="attachment_190197" align="aligncenter" width="576" caption="Alibaba ..."]
Festival yang biasanya disebut Drachenfest di Leibertingen, biasa dirayakan pada bulan September dimana angin bertiup sangat kencang, sebagai faktor penunjang keberhasilan layang-layang terbang tinggi. Tak heran jika kami memiliki banyak koleksi layang-layang.
[caption id="attachment_190199" align="aligncenter" width="613" caption="Ini Tom, mana Jerry?"]
Perayaan layangan itu dimulai sejak tahun 2007, festival layang-layang keluarga yang selalu dirayakan hingga tahun 2011 yang lalu. Tahun 2012 ini telah direncanakan 6. Familiendrachenfest dimana beraneka ragam layang-layang raksasa dipertontonkan hari sabtu-minggu (15 dan 16 September 2012). Wah, tak sabarrrr … ada model becak nggak ya?
[caption id="attachment_190205" align="aligncenter" width="585" caption="Jaws ..."]
Yang menarik dari festival adalah kita bisa melihat layang-layang raksasa berbagai model dan warna. Anak-anak bisa ikut asyik menonton bahkan menaikkan layang-layang pribadinya pula, sekedar membantu penaikan layangan peserta, atau main foto saja.
[caption id="attachment_190206" align="aligncenter" width="590" caption="Si Octopus"]
Memang dilihat dari bentuk layang-layangnya, jenis yang dahulu saya gauli waktu kecil berbeda. Mereka memakai bahan layaknya parasut sedangkan jaman saya kecil dahulu berasal dari kertas. Begitu pula senur (red: benangnya), yang mereka pakai kok lain dari yang sering saya pakai/lihat waktu kecil? Nampaknya lebih kuat tak gampang rantas. Desain dan warnanyapun bak pelangi dan lebih kreatif. Oi oi indahnya angkasa yang biru! Tapi … hiks tengkuk saja yang capek menatap langit tamat-tamat karenanya.
[caption id="attachment_190198" align="aligncenter" width="553" caption="Indah, tapi tengkuknya capek "]
Pfff … angin tak hanya meniup layang-layang dengan kencang, manusianya merasakan hembusan angin yang menendang. Oha! Untung jaket menemani badan meski akhirnya … masuk angin ! (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H