[caption id="attachment_176253" align="aligncenter" width="635" caption="Bon Indonesia dan Quittung Jerman (dicoret saat dikembalikan)"][/caption]
Pembeli adalah raja, atau di masyarakat tempat saya merantau dikatakan Der Kunde ist König. Sayang sekali dalam pengejawantahannya di tanah air, mungkin amat berbeda dengan pelayanan yang diberikan. Thanks God, I am lucky. The service here is just perfect!
Jika saya lihat beberapa kwitansi dari penjual atau toko dari yang kecil sampai besar di Indonesia (yang masih saya simpan sebagai memori, hiksss), dibagian paling bawah tertulis „PERHATIAN! Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan.“
Klise memang jika pada akhirnya pelayanan dan kualitas yang diberikan oleh pihak pemberi jasa/barang tidak memperhatikan apa yang telah ia tekankan lewat kalimat tersebut dan lakukan kepada para pembeli atau bahkan pelanggannya itu. Ada barang ada harga … kalau barangnya rusak/buruk mana bisa/pantas dijualbelikan?
Berbeda dengan pengalaman saya selama di Jerman. Yah … lagi-lagi karena sudah menjadi masyarakat modern, jasa dan pelayanan kepada konsumen sudah begitu dipahami kedua belah pihak. Wait a minute … bukankah di Indonesia ada sebuah lembaga swadaya perlindungan konsumen? Atau baru terlapor urusan pelayanan air, listrik dan BBM saja?
Pfff, sudahlah … saya ingin berbagi pengalaman mengembalikan dan atau menukar barang yang terbeli di Jerman dengan cepat dan mudah:
1.Saat berbelanja, suami saya berpesan lewat HP, minta dibelikan Navigator dari swalayan RL. Harganya yang 250 euro itu dianggap suami murah, karena ia telah mengecek lewat on line shopping dan ternyata terpaut jauh.
Satu minggu kemudian, toko AI, meluncurkan produk yang hampir sama bahkan lebih tinggi teknologinya dan lebih besar ukurannya, dengan harga Angebot (red: promosi) yang lebih murah.
Karena ia bekerja dari pagi sampai sore, kekasih hati saya itu mengutus saya untuk mengembalikan Tom-Tom kepada swalayan RL, dan kemudian membeli yang baru di toko AI. Walahhh … sayanya saja yang takut. Ujar suami saya, asal barangnya masih utuh dan ada Quittung (red: bon pembayaran) tak perlu ada rasa takut, bersalah atau perasaan negatif lainnya.
Saya menurut dan melakukannya. Ajaib, tak sesulit yang saya bayangkan. Barang yang saya kembalikan diterima dengan baik oleh swalayan RL tanpa babibu. Si kasir hanya menanyakan Quittung (mencoret nama item barang yang dikembalikan dan mengembalikan bon kepada saya lagi), memeriksa kelengkapan barang dan memberikan Gutschrift (red: catatan transfer uang ke bank, lantaran saya dahulu membayarnya dengan ATM).
Masalah ternyata tak berhenti sampai disitu saja, ketika membeli di toko AI, ternyata setelah kami cek dirumah, beberapa komponen ada yang rusak. Keesokan harinya, saya ke toko AI di filial kota lain. Selain menerima kwitansi saya, kasir menyuruh saya mengambil barang yang sama di keranjang dan meletakkan barang yang hendak ditukar di sebelah meja kasir terlebih dahulu. Masalah tuntas, alamat saya bisa tidur pulas …
2.Saya amat menyukai intip (red: kerak beras manis rasa coklat dari Solo). Untuk mendapatkannya di Jerman, selain mahal juga susah. Ada Schokowaffelreis Jerman yang saya anggap agak mirip dengan penganan klangenan saya itu. Sayang sekali satu-satunya toko di kampung kami hanya memiliki Waffelreis biasa tanpa coklat. Setiba di rumah, saya buka satu plastik dari 3 plastik yang terbeli dan mencoba satu. Wuahhh, lidah saya serasa aneh … meski belum kadaluwarsa, rasa apek-nya lekat. Buru-buru saya mengembalikan kepada kasir. Untuk meyakinkannya, saya suruh si wanita berbadan besar itu mencicipinya. Ia mengatakan memang rasanya begitu, tapi saya bersikeras rasanya lain tak seperti biasanya dan saya sudah ratusan kali makan Waffel jenis itu. Entah karena kami sudah sama-sama kenal atau karena takut ribut di toko kecil, kasir cantik itu mengembalikan uang dan tanpa menanyakan tanda pembelian saya. That’s what neighbor is for.
3.Saya membeli selimut sofa di swalayan besar KN. Setelah sampai di rumah ternyata kekecilan dan warnanya tak disukai suami.
Karena saya belanja hanya sekali dalam seminggu, saya bawa barang dan kwitansi selimut seharga 20 euro itu tak langsung keesokan harinya. Apalagi letaknya yang agak jauh (20 km pp) dan batas maksimal pengembalian bisa hingga 2 minggu.
Seminggu kemudian, saya kembalikan barang kepada bagian informasi. Si penjaga dengan ramah meminta bon dan menyerahkan uang kepada saya (padahal saya dahulu membayarnya dengan kartu). Loh, keheranan kedua … ternyata tak perlu tanda tangan ya, mbak? Sama-sama percaya saja barang kali, ya?
4.Pada suatu hari saya membeli celana jeans ukuran 152. Lantaran toko AI itu tak menyediakan kamar Anprobe (red : untuk mencoba), saya bawa pulang dan mencobanya dirumah. Sesampai dirumah, panjang kaki memang pas tetapi pinggang saya ternyata lebih lebarrrr dari kepunyaan para gadis umur 12-an di Jerman halahhh …
Dua minggu kemudian, saya menyerahkan kembali ke bagian kasir tanpa harus antri (ternyata dipahami para pembeli yang sudah pada antri terlebih dahulu, silahkan … kata mereka).
Dengan wajah datar, si kasir yang sepertinya memiliki logat Rusia itu pertama menanyakan alasan pengembalian. Setelah memberikan barang dan kwitansi, saya menerima secarik kertas kecil dan bolpen darinya. Sebelum pulang ia menanyakan apakah saya masih membutuhkan Quittung atau tidak. Jika masih, ia hanya mencoret nama barang yang dikembalikan (ditambahi paraf olehnya) dan mengembalikan bon itu kepada saya lagi.
Oh iya … pada secarik kertas tadi, saya harus menuliskan data (nama, alamat, nomer telepon, alasan pengembalian dan tanda tangan) dengan sebenar-benarnya. Duh, takut kalau menipu dan dicek ah …
Anyway … meski saya dahulu membayar cash, wanita berambut cepak itu memberi saya uang tunai bukan Gutschrift.
Masih banyak cerita pengalaman pembelian yang diakhiri dengan penukaran atau pengembalian dalam hidup kami. Misalnya saat melakukan renovasi balkon dan teras, kami membeli barang bangunan seperti semen, batu dan papan. Karena takut kekurangan, kami biasa membeli berlebih (dengan asumsi toh bisa dikembalikan dengan batas waktu 2 minggu setelah tanggal pembelian. Benarlah, barang-barang material itu SELALU bisa dikembalikan ke tempat semula dengan hanya memberikan kwitansi.
So, menyimpan bon pembayaran adalah salah satu dari kebiasaan rutin saya sehabis belanja. Hingga yakin bahwa barang itu benar pas dan cocok atau tidak rusak hingga perlu garansi. Oh, soal garansi dibahas lain hari …
Nah, kalau di Indonesia mungkin pada beberapa kasus, saya akan dipelototi penjual dengan pelintiran kumisnya, atau kasir dengan muka masamnya, saat saya mengembalikan atau menukar barang meski dengan bon pembayarankah ? Hiyyy bisa sport jantung … sudah tidak dapat ditukar atau dikembalikan, kena damprat lagi. Kaborrr …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H