Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kacang Tak Lupa Toples: Family Tree Project

1 Februari 2012   12:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:11 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tanah air, pohon keluarga sebaiknya tak hanya wajar dibuat oleh para bangsawan keturunan istana saja. Sepertinya ada indikasi kepentingan yang mendesak bahwa family tree juga bisa dimiliki hampir setiap keluarga (rakyat jelata/biasa sekalipun), jika suatu saat kejadian bahwa manusia sudah mulai sibuk untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat dekat dan asyik dengan dunia maya.

Jika mengunjungi Schloss (red: puri atau kastil bangsawan Jerman) yang masih utuh hingga sekarang, saya selalu terpesona dengan sejarah ratusan tahun yang tetap bisa dilihat hingga kini pada dinding yang indah. Oyoyoy, sejarah yang tak kan pernah hilang itu tak hanya diperuntukkan bagi generasi keturunannya, tho?

[caption id="attachment_167711" align="aligncenter" width="510" caption="Stammbaum alias si pohon keluarga puri Hohenzollern, Jerman"][/caption]

***

Awal mula ide pohon keluarga kami

Mungkin tanpa pohon keluarga ini, persaudaraan atau pertemuan keluarga di Indonesia kebanyakan masih tampak erat dan menghiasi warna-warni kehidupan sakini. Mulai dari arisan keluarga, kelahiran, kematian, pernikahan, sunatan, ulang tahun, wisuda, syukuran, nadzar, tahlilan atau acara yang bisa melibatkan keturunan yang masih memiliki hubungan keluarga, untuk berkumpul. Ini seperti pepatah ‘ada gula ada semut’. Ini biasa …

Walah, akan sedikit berbeda ketika sebuah bangsa memiliki adat yang lain; bahwa bertemu dengan keluarga yang memiliki hubungan darah itu kadang terabaikan bahkan mulai ditinggalkan. Secara umum, saya mengamati, selama tinggal di Jerman, beberapa pertemuan penting yang mempertemukan saya dengan keluarga/kerabat dari pihak suami adalah Hochzeit (red: pernikahan) dan Beerdigung (alias melayat) saja, itupun bisa dihitung dengan jari. No more … hiks. Alasannya bisa bermacam-macam: bisa karena sibuk bekerja, jauh, tak sempat, bersengketa atau memang enggan saja. Yang ini ruarrrr biasa …

Gerah dengan situasi yang ada, kami programkan kunjungan keluarga segencar-gencarnya dari minggu ke minggu. Membuat Termin (red: perjanjian untuk bertemu muka/bertamu) dengan oma/Ur Oma, opa/Ur Opa, Onkel (red: om dan pakdhe), tante (red: bulik dan budhe) dan keponakan baik di rumah, rumah sakit atau panti jompo hingga makam. Ternyata sensasinya yakni menyegarkan rohani! Kalau mereka tak mau Besuch (red: berkunjung) tak ada salahnya kami menjemput bola eh kesempatan yang ada untuk mengunjunginya. Jika mereka sudah terbiasa, kami undang mereka untuk Kaffe trinken (red: minum teh/kopi dan kue pada sore hari) atau grillen (red: nyate bersama di musim panas). Komunikasi lewat telepon, email dan kartu tetap menyertai …

Dan, terrific! Ini sungguh menghadirkan kebahagiaan keluarga yang dikunjungi/mengunjungi dan menambah pengetahuan saya tentang siapa saja kerabat dekat dari suami saya itu. Dan bisa bangga bilang “Saya ‘made in Indonesia’, loh …” (halahhhhhhhhhhh niru mas Erri Subakti).

Manfaat yang kami peroleh dari family tree project.

1.Menyambung tali persaudaraan

Karena tanpa berkunjung, tak akan ada informasi yang bisa didapatkan. Mulai dari data sampai foto, membutuhkan waktu tersendiri. Disela-sela wawancara santai, acara minum teh/kopi dengan penganan, memulas hari. Tak jadi soal jika itu hanya dalam hitungan menit, yang penting, happy.

Selain mencatat up-date data siapa namanya, dimana dan kapan lahir, dimana dan kapan meninggal, siapa nama istri/suami, siapa nama anak dan cucu, ternyata informasi lain seperti sekarang sehatkah? Bahagia/susahkah? Bekerja diperusahaan mana/pengangguran? Tinggal dimana dan seterusnya, juga bisa didapatkan dari proyek ini. Aih, dunia serasa milik bersama …

2.Menyimpan sejarah

Ketika mengunjungi seorang tante, kami menemukan sebuah foto wanita berwajah klasik layaknya Monalisa, bermata sayu dan berambut coklat. Suami saya menanyakan foto yang ternyata adalah ibu si tante. Shock saya ketika si tante mengatakan, ia tak tahu lagi, dimana dan kapan sang Bunda lahir. Whattt ??? Sedangkan arsip dari almarhum mamanya itu tak tersimpan dengan baik. Ya ampun, iapun sangat berterima kasih bahwa ini mengingatkannya untuk ASAP mengejar informasi tentang ibunya tersebut untuk dicatat dalam family tree (malangnya, kuburan ibunya telah digusur karena kontrak 20 tahun telah habis. Tak terbaca lagi nisan bertuliskan tanggal lahir/meninggalnya itu).

3.Mengetahui barometer rekor usia masing-masing keluarga

Pohon keluarga masih kami up-date dari waktu kewaktu. Dari semuanya, rekor usia lansia yang masih sehat dan cantik sampai hari ini, dipegang seorang tante berusia 90 tahun. Mungkin karena taraf hidupnya yang tinggi dan masih keturunan Adelig? (red: bangsawan), ia amat terawat jasmani dan rohaninya. Wow, tak disangka jika beliau berada di klub 90. Sekilas, ia mirip nenek-nenek Jerman umuran 60-an!

Nah, dari catatan yang terkumpul, rata-rata usia keluarga pihak suami lebih panjang, berada pada rentangan 80-101 tahun! Maklum, tinggal di wilayah Jerman dan pecahan Rusia membuat life style dan pola makan mereka amat berbeda. Begitu pula perawatan kesehatan dan lingkungan yang terjaga.

4.Merasa menjadi bagian bangsa yang bhinneka tunggal ika

Tak disangka, pohon keluarga dari keluarga saya meliputi darah Solo, Klaten, Yogja, Ngawi, Salatiga, Surabaya, Madura, Jabotabek, Semarang, Makassar, Bandung, Kupang … China, Arab, Belanda, Jerman dan Belgia.

Sedangkan dari pihak suami, mulai dari Thailand, Vietnam, China, pecahan negara Rusia … Polandia dan Jerman. Dari keduanya, terlihat sebuah kolaborasi apik nan cantik yang sewajarnya dibarengi dengan hubungan yang harmonis tanpa memandang ras yang berbeda.

5.Membaca keajaiban

Sunggingan senyum tertebar sudah. Anak ragil kami ternyata memiliki tanggal kelahiran tepat seperti Uhr Opanya (red: ayah dari nenek). Berarti, ia lahir setelah satu abad kelahiran si almarhum kakek! Wah … titisan Eyang kakung, ya, Ndhuk?

Keajaiban lain terbaca dalam sebuah nisan, pakdhe saya lahir dan meninggal pada tanggal yang sama. Begitu pula seorang tante dari pihak suami saya.

[caption id="attachment_167712" align="aligncenter" width="549" caption="Ratu Stefanie dari Portugal juga lahir dan meninggal pada bulan yang sama"]

13280976592014734502
13280976592014734502
[/caption]

6.Menghindari perkawinan sedarah

Dari perkawinan dan perceraian dalam keluarga kami berdua, beberapa orang ada yang tidak sadar bahwa telah melakukan kesalahan fatal ketika tidak cermat melihat garis keturunan (dekat) yang dimiliki, sebelum mantap menikah misalnya. Lantaran tetap bersikeras, resiko ditanggung penumpang eh maksudnya yang bersangkutan (secara psikis) bahkan anak-anaknya juga ikut kecipratan (secara badani; cacat bagian badan/kerdil, bahkan bisa jadi cacat mental?). Sebuah pelajaran yang berharga tetapi harus dibayar mahal oleh keluarga kami.

7.Menerima dengan gembira bahwa teman bisa jadi saudara dekat

Dalam sebuah pohon keluarga, akan terlihat jelas siapa saja yang masuk dalam garis keturunan dan mungkin meminimalisir sebuah insiden seperti dibawah ini:

“Loh, kok kowe ning kene” Tanya seorang teman politeknik yang mengunjungi rumah nenek saya. Pertanyaan itu membuat saya sontak.

“Lha kowe?” Keheranan saya juga tersulut. Kami yang sekelas di jurusan sekretaris disebuah kota di Jateng, tiba-tiba bertemu di sebuah rumah, salah satu kota di Jawa Timur (rumah Eyang Putri) dalam acara ujung-ujung lebaran. Setelah berbincang-bincang, tahulah kami bahwa Eyang saya itu memiliki 8 anak; ibu saya adalah anak kedua dan anak pertama adalah eyang dari teman saya itu. Jika saya termasuk cucu Eyang, teman saya itu cicit dari eyang.

Hahaha …jikaada sebuah kenyataan bahwa musuh bisa jadi adalah saudara dekat … peace.

OK, tujuh rupa manfaat sudah terdeteksi. Did I forget something to put it in?

Terakhir, pencatatan data/gambar pohon keluarga pada kertas (apapun jenis dan warnanya) dengan ketikan komputer atau tulisan tangan, dalam komputer (dengan program Ancestry yang bisa dilihat secara on line bagi siapa saja yang diijinkan) atau ada ide lain?

Selamat mencoba …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun