Tanggal 1 Januari 2011 yang lalu saya berulang tahun, kado mengejutkan dari suami adalah tiket naik balon gas di Lkr.Tuttlingen, Jerman. Harga naik balon raksasa disini, biasanya dipatok 160 euro. Namun karena mertua dan suami saya sudah lama menjadi anggota klub tersebut, saya didiskon 50%. Kata pengurus, ini sebagai award bagi suami saya yang telah setidaknya 70 kali naik balon bersama mereka. Danke, Hunny …
Hadiah itu baru saja saya tukarkan hari jumat lalu. Mula-mula semua yang hadir diharapkan berkumpul di Tuttlingen, disebuah puri rapuh bernama Honberg di Tuttlingen. Setelah komplet, kami dimasukkan ke sebuah bis mini. Pilot dan ko-pilot berada di dudukan depan, gayeng membicarakan sesuatu. Saya hanya senyam-senyum cari angin saking panasnya berada didalam bis tanpa Klimaanlage (red: AC). Sumuke rak karuwan, ik (red: gerah sekali)
Tiba disebuah lapangan luas didekat hutan, kami turun. Semua membantu menurunkan keranjang dan peralatan lain dari Anhänger (red: gerobak aluminium). Pilot memasang kompor gas diatas keranjang, sementara yang lainnya mencoba menggelar hamparan parasut yang membentuk balon. Pemimpin klub mengingatkan saya untuk memegang dibagian garis bukan diatas kainnya, bisa rusak. Warna merah dan putihnya mengingatkan saya pada Indonesia. Hayah melow dot com … lagunya kangen.
[caption id="attachment_136112" align="aligncenter" width="707" caption="Tim meniup balon dengan kipas raksasa dan semburan gas"][/caption]
Kipas besar dipasang untuk meniup kain balon. Setelah beberapa menit, gantian gas menyembur dari kompor. Walhasil, balonpun mengembang begitu elegan. Setelah dirasa cukup, bersama-sama kali kembalikan posisi keranjang yang miring keposisi tegak. Pilot dan ko-pilot telah menemani tabung-tabung oranye berisi gas disekeliling keranjang rotan. Karena saya yang paling ramping, saya disuruh naik kotak duluan. Seorang oma yang baik hati berusia 80-an dan seorang gadis pirang berusia 20-an, naik belakangan.
Gas sembar-sembur bak naga mengeluarkan liur. Kegembiraan menaiki balon gas diudara mengalahkan panasnya rambut karena kompor di atas kepala. Saya jeprat-jepret dari atas, suami dari bawah, kami abadikan momen pertama kali membumbung di angkasa. Kata para penumpang, saya mirip orang Jepang suka memotret. Ndak iyo, tho? (red: apakah benar hanya orang Jepang yang gila memotret?).
Balon tertiup dengan kecepatan 7-10 km/jam. Akhirnya sampailah kami di ketinggian 1000 m. Jajaran hutan Blackforest alias Schwarzwald nampak mempesona. Hijaunya mengingatkan saya betapa manusia disana menjaga lingkungan yang ada. Oi, oiiiii ... indahnya!
[caption id="attachment_136115" align="aligncenter" width="673" caption="Black forest dari ketinggian 100 m"][/caption]
Berada diatas, tak saya rasakan tamparan angin melainkan berisik kompor gas yang beberapa kali memekakkan telinga. Untung bunyi-bunyian itu diberi jeda. Bagi yang memiliki sensitivitas tinggi pada gendang,sebaiknya menyekatkan bantalan penutup telinga.
Pilot mulai menunjuk daerah tertentu dan menjelaskan kepada kami bertiga. Lelaki berbaju merah maron, mirip astronot itu mengatakan bahwa tujuan kami tak tentu lantaran tergantung arah angin. Saya mengangguk tanda mengerti. Jemari saya tak pernah diam memencet tombol, menangkap gambar dalam foto atau video.
Setelah kurang lebih selama satu jam berlayar diudara, pilot dan ko-pilot nampak berdiskusi untuk memutuskan bahwa kami mendarat. Tapi ternyata perkiraan tak sempurna itu akan menabrak para petani yang sedang panen kentang. 1000, 900 … 500 m … OMG! Beberapa orang berlarian mencari posisi aman, dengan sigap pilot dan ko-pilot menarik gas. Blaik ... Alhamdulillah, balon lagi-lagi membumbung di udara dan tak jadi berhenti atau tersangkut kawat listrik didepan mata. Pffff ... deg-degan.
[caption id="attachment_136117" align="aligncenter" width="673" caption="Awas, kentanggggg ..."][/caption]
Beberapa menit kemudian, pilot dan ko-pilot kembali mengatur ketinggian. Beberapa kelinci liar nampak berlarian, insting mereka mungkin saja mengindikasi bakalan ada benda raksasa jatuh dari udara. Kami diminta untuk berpegangan erat-erat, agar tak terjengkal atau terantuk tabung elpiji yang ada. Hopla, saya dipersilahkan turun duluan.
[caption id="attachment_136119" align="aligncenter" width="673" caption="Mendarat di bumi ..."][/caption]
Usai merapikan kain balon bersama-sama, acara pembaptisan dimulai. Ini diperuntukkan khusus bagi saya, sebagai satu-satunya penumpang yang baru pertama kali naik balon gas di udara. Xixixixi … sebuah tradisi rakyat Jerman yang baru saya jalani.
Ko-pilot mulai memberikan kultum (red: kuliah tujuh menit) tentang sejarah balon gas di dunia. Dengan pelan tapi pasti, saya mencerna kalimatnya. Pria keriting itu mengatakan bahwa pertama kali, balon gas hanya bagi golongan bangsawan seperti raja, ratu, baron dan keturunannya, itupun dengan bahan dari kertas yang dibakar api di sebuah altar. Tepat pada tanggal 21 November 1783, M.Montgolfier bersaudaralah yang kejatuhan durian, menaiki balon raksasa dari Schlofs Plaz la Muette, Perancis.
[caption id="attachment_136124" align="aligncenter" width="776" caption="Balon gas modern pengganti balon kertas Montgolfier"][/caption]
Saya berlutut, beberapa ujung rambut saya dibakar pilot, ko-pilot mengucurkan Sekt (red: minuman beralkohol berwarna agak kuning). Beberapa yang hadir segera menyanyikan sebuah lagu yang belum saya kenal. Sebuah Taufurkunde (red: sertifikat pembaptisan balon gas) berpindah tangan.Saya berhak menyandang gelar baru, Gräfin Gana vom Maisentäle. Gräfin adalah nama julukan setara dengan Princess/Jarl/Count/Earl. Vom Maisentäle mempunyai makna bahwa tempat saya mendarat itu bernama Maisentäle, sebuah lembah yang banyak dihinggapi burung.
„König Ludwig XVI, erhob die Mongolfiers in den erblichen Adels stand. Getreu der Tradition taufen wir Gana … mit Feuer und Sekt auf den Namen Gräfin Gana vom Meisentäle. Datum 16.9.2011, Pilot“.
Ko-pilot berpesan bahwa saya harus selalu mengingat nama itu dan untuk selalu menggunakan idiom yang pas Ballonfahrt (red: naik balon gas bukan terbang bersama balon). Jika lupa, saya bisa didenda sebotol minuman Sekt, urainya. Hahaha, bisa saja, Om!
Setiap yang hadir dan sudah cukup umur, mendapat segelas Sekt. Berhubung saya tidak suka alkohol, suami saya yang menghabiskannya. Sorry, Leute …
Matahari terbenam, waktu makan malam tiba. Kami memutuskan untuk makan bersama di sebuah restoran yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Saya lahap ikan asap dengan salat yang kecut. Saya paling tidak suka makanan yang kecut. "Sauer macht lustig" (red: sesuatu yang kecut itu pasti lucu), seru suami saya. Really? Padahal orang Jawa bilang, asem kecut gula legi, sapa ngentut aku rak wedi (red: asam kecut gula manis, siapa kentut aku tak takut).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H