Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tiga Ribu Pasang Sepatu Imelda Marcos Milik Rakyat Miskin Philippina?

11 November 2011   12:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:47 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Republik Philippina adalah negara tetangga Indonesia yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi suatu hari nanti. Selain ibukota Manila dan pulau Cebu, salah satu yang membekas di hati saya yakni museum sepatu Imelda Marcos di kota Marikina.

Jarak tempuh yang hanya 3 jam-an terbang dari Jakarta ke Manila itu merupakan perjalanan yang mengasyikkan. Kisaran 200-300 Euroan untuk tiketpun harus dirogoh siapapun yang ingin bertandang kesana. Nah, dari Manila ke Marikina kami diangkut bis bolong (tanpa jendela kaca).

[caption id="attachment_148257" align="aligncenter" width="608" caption="Manila dari atap hotel"][/caption]

Well … bandara Ninoy Aquino tak ubahnya bandara internasional di Asia lainnya, perlu banyak perbaikan. Senangnya, kita tak perlu melamar visa untuk melewati imigrasi negara tetangga di kawasan Asia Tenggara ini! Lolossss …

Kekayaan budaya Philippina

Aha, pernak-pernik negeri ini yang bersarang di otak saya adalah pertama, bahasa Tagalognya yang serumpun dan agak mirip dengan bahasa Indonesia. Kata-kata itu antara lain puti (red: putih), lima (red: lima), si (red: si) dan lainnya.

Namanya jalan-jalan pasti tak kan jauh dari uang. Piso atau peso (red: mata uang Philipina) hampir mirip dengan Jerman dengan uang kertas bernilai 1000,500,200,100,50 dan 20. Bedanya koin Philippina memiliki nilai 10,5,1 piso serta 25,10,5 sentimo (red: sen). Sedangkan sen Jerman bisa mencapai titik minimal 1 sen.

Ngenggg … Jeepney (red: transportasi umum unik ala Philippina), juga merupakan sebuah kekayaan budaya bangsa Amerika yang dipelihara Philippina. Warnanya yang genjreng dengan segala acessoris yang dipasang amat menarik hati, mengubah mobil produk PD II itu menjadi sebuah angkot yang indah. Duduk berdempetan didalamnya merupakan salah satu pengalaman yang tak terlupakan tetapi awas, ketek! Eh, ketekkk ….

Seperti halnya Indonesia dengan bajaj, Thailand dengan Tuk-tuk, Philippina memiliki motor roda tiga yang menyebabkan polusi suara, bisiiiiing. Jadi, meskipun bentuknya unik dan warnanya merona, saya tak tertarik untuk menaikinya.

[caption id="attachment_148258" align="aligncenter" width="696" caption="Motor roda tiga yang bising itu ..."][/caption]

Soal makanan tak ubahnya masakan Indonesia. Mi bihun kitapun ada disana, Pancit bihon. Paling seru adalah balut (red: telur bebek yang sudah ‘berbulu’), yang kadang dimakan sembari minum bir. Telur bebek yang sudah berwujud embrio itu dimasak dan dijual dijalanan. Kabarnya ini termasuk obat kuat karena proteinnya yang tinggi. Teman saya menambahkan bahwa kenikmatannya juga terletak dari membuka cangkang hingga dimakan dagingnya lahap-lahap masuk ke rongga mulut (hiyyyyy … jijik kali ya?). Pesan saya bagi yang beragama Islam; hati-hati mengkonsumsi makanan disana karena mayoritas penduduknya Katolik, makanannya banyak yang mengandung babi (take care, and please … ask first before eating …).

Kalau berbicara soal garmen, Barong (red: baju tradisional pria) dan rok Maria Clara paling menawan hati ini. Pada sebuah pesta, mata saya tak henti-henti memandang para Pinoy dan Pinay (red: para lelaki dan perempuan Philipina yang eksotik). Barong yang berwarna putih bersih nan tipis itu dihiasi bordir emas atau warna senada yang elegan. Rok Maria Clara dengan pundak yang merekah bak bunga itu membuat tubuh kecil Asia menjadi terkesan charming. Leher dengan model scarf itu menjadi sebuah detil yang lain. Saya yakin, balutan baju tradisional itu menjadi self-esteem bagi pemakainya.

[caption id="attachment_148259" align="aligncenter" width="654" caption="Pinoy dan pinay menari tari bambu"][/caption]

Sepatu Imelda di Marikina

Marikina yang dahulu kerap disebut Mariquina itu adalah sebuah lembah yang ditemukan oleh Jesuits pada tahun 1630 yang ingin menjadi uskup disana hingga tahun 1687. Pada tahun 1901, daerah itu berubah dan disebut Marikina, kota yang telah mendapatkan setidaknya 50 penghargaan (kebersihan hingga industri).

Rombongan kami telah berkumpul. Begitu turun dari bis warna hijau, kami dijamu walikota Marikina city waktu itu Mr.Bayani ‘BF’ Fernando. Sebagai hadiah, kami diperbolehkan untuk memasuki museum sepatu Imelda Marcos.

Jederrrrrrr … sebuah sepatu raksasa berada di depan pintu utama, disusul tiga ribuan pasang sepatu didepan mata. Ukuran sepatu 8 ½ (red: ukuran 8 sama dengan nomer sepatu 42) … saya pikir termasuk besar untuk kaki orang Asia ya? Dibandingkan sepatu saya yang ukuran 36, sepatu wanita cantik itu seperti kapal.

Mata saya cemlolo (red: melotot), tangan saya gregeten ingin memegang. Maklum, saya wanita (penyuka baju, perhiasan, tas dan sepatu). Sayang display kaca membatasinya, hiks. Selangkah demi selangkah, saya pandangi detil tiap sepatu. Puassss … but ‘Please, don’t touch’.

[caption id="attachment_148260" align="aligncenter" width="696" caption="Lihat boleh, pegang jangan ..."][/caption]

Guide pemda menjelaskan bahwa Imelda Remedios Visitacion Romuáldez, yang lahir pada tanggal 2 Juli 1929 di Manila ditakdirkan menjadi First Lady mendiang Marcos. Pasca runtuhnya kekuasaan si diktator, mantan ratu kecantikan itu mengasingkan diri ke Hawai bersama suami.

Ia kembali ke Philippina tahun 1990-an dan mecoba untuk bergelut di jagad politik. Maklum, saudara dan kerabat dekat memiliki jabatan penting di negeri kepulauan itu. Hingga suatu hari, ia memiliki ide untuk menunjukkan kehebatan kota Marikina sebagai kota industri sepatu dan tentunya koleksi sepatunya yang ribuan pasang itu. Hek …

Pemandu masih semangat berbagi informasi soal museum ini. Saya lagi-lagi mendekat ke rak. Diantara sepatu yang terpasang itu, frame foto berdiri ditengah-tengah deretan sepatu. Itu momentum Imelda saat sepatu itu dipakai ketika menghadiri sebuah acara bersama orang penting sedunia.

Pada hitungan detik, mata saya terantuk pada sepasang selop Jawa berwarna hitam bermanik-manik emas. Sepertinya Imelda membelinya saat berkunjung ke Yogyakarta. Itu produk Indonesia, folk!!!!!

Sebelum meninggalkan museum, saya tersenyum pada sebuah kaca lemari berisi souvenir berbentuk sepatu. Rupanya itu koleksi Imelda semasa jayanya, keliling dunia. Beberapa diantaranya mungkin mirip koleksi kita dirumah, bedanya milik Imelda derajatnya lebih tinggi (sekelas museum internasional).

[caption id="attachment_148263" align="aligncenter" width="401" caption="Souvenir berbentuk sepatu mini"][/caption]

Sepatu Imelda vs kemiskinan Philippina

Wait a minute …sepertinya saya tidak boleh bersenang-senang atau bangga dahulu bisa menjajah museum sepatu ini. Mengapa?

Rombongan kami berdiskusi tentang sepatu-sepatu itu, bahwa koleksi mantan ibu negara diduga dikumpulkan disaat rakyat banyak yang sengsara dibawah kepemimpinan almarhum Marcos. Heeeee …

Bahkan bisa jadi ini dari uang panas hasil korupsi yang dilakukan presiden dan keluarganya pada masa jabatan yang panjang. Hoooooo …

Ya, kerabat dekat keluarga Marcos sendiri kini sedang didera kampanye „Hindi Bayani Si Marcos! Tutulan Ang Planong Ilipat Siya Sa Libingan Ng Mag Bayani“ (red: Marcos bukanlah seorang pahlawan. Sebuah protes atas usulan petisi pemindahan makamnya ke taman makam pahlawan Philipina). Rakyat Philippina tak rela mantan diktator itu dimasukkan kategori sebagai orang yang berjasa di tanah airnya. Hiiiiiii …

Soal poverty, dalam sebuah situs disebutkan bahwa negeri itu mencatat 7,3% GDP pada tahun 2010, namun gagal untuk meninggalkan jejak kemiskinan. Badan pusat statistik nya melaporkan bahwa pada tahun 2009 sendiri kemiskinan mencapai 26,5%. Ini berarti kemiskinan 0,1% lebih banyak dari tahun 2006.

Dari 23,1 juta populasinya, sekitar 1/3-nya dikatakan memiliki pendapatan jauh dibawah 2 USD (Rp 16.000,00) per hari. Wah, saya rasa di Asia memang sama saja, kemiskinan merajalela … begitu pula dengan Indonesia.

Oha, andai 3000 pasang sepatu itu dilelang di rumah pelelangan, berapa dana yang bisa dikumpulkan untuk dibagikan kepada rakyat yang tak bisa tercukupi sandang, pangan dan papannya itu? Bahkan ada yang sekedar untuk makan saja sulit! Huff!!!

Na ja … masih banyak anak-anak jalanan alias anjal yang dikumpulkan di beberapa center di beberapa kota Philippina (Pangarap, Pasig dan sekitarnya). Mereka butuh biaya pembinaan demi masa depan. Ratusan kaum papa yang bergerombol di gunungan sampah semacam kawasan Payata, menunggu tempat berteduh yang tak bau, tidak mudah terbakar dan tahan bocor. Tak ketinggalan perkampungan nelayan di Cardona Rizal. Gubug reyotnya sering kebanjiran atau hancur diserang ombak. Hiks.

[caption id="attachment_148261" align="aligncenter" width="654" caption="Kampung nelayan, Cardona Rizal"][/caption]

Tiga ribu sepatu Imelda Marcos vs kemiskinan rakyat Philippina … miris, yah?!

Sumber:

1.Pengalaman pribadi

2.www.wikipedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun