[caption id="attachment_147370" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Dua buah cerita ringan (namun menginspirasi saya) dibawah ini akan saya paparkan disini sebagai sebuah wacana membuka wawasan saja. Semoga ini ditanggapi makna tersiratnya karena saya tidak bermaksud sok suci, menjelek-jelekkan siapapun atau bermaksud negatif lainnya sebagai dampak pemikiran dan cara pandang yang berbeda.
Pertama …
Seperti biasa, setiap minggu saya bersilaturahmi dengan sebuah keluarga Turki, tetangga saya. Saya dan Aisyah berbincang-bincang di ruang tamu yang dipasangi oven pemanas kecil (maklum, diluar 8 derajat). Sembari mengusir dingin, kami menghirup teh Turki yang dimasaknya dengan ceret tumpuk asli negerinya itu.
Lalu ia perlihatkan foto pernikahannya dahulu. Wanita yang telah 27 tahun berada di Jerman itu merayakan pesta pernikahannya di tanah rantau. Gaun putih ia kenakan sebagai tanda perkawinan a la barat. Sebenarnya pada malam ‘midodareni‘ rakyat Turki biasa mengenakan pakaian tradisional wanita Turki dengan Henna (red: tato di tangan dan kaki dari bahan alami), namun karena sulit mendapatkannya, ia hanya mengenakan gaun malam biasa saja.
Dalam pestanya, wanita berhidung betet itu ditanya salah seorang tamu ...
“Bist du noch Jungfrau?” si teman berambut blonde bermata hazel itu menanyakan apakah Aisyah itu masih perawan. Si perempuan terkekeh, mentertawakan Aisyah karena ia masih virgin. Ujarnya lagi, ini sebuah hal yang tidak biasa karena sepengetahuannya, teman-teman sepergaulan yang seusia dengan mereka telah bergonta-ganti pasangan, kumpul kebo dan lain sebagainya. Sedangkan Aisyah, masih klasik!
“Ja, dies ist für mich wichtig. Es ist nur für mein richtige Man“ Dengan sabar wanita berambut ikal itu menjelaskan bahwa baginya adalah sesuatu yang sakral untuk menjadi perawan hingga waktu yang tepat, untuk calon suami tercinta. Ini tradisi yang ia pegang hingga kini, meskipun ia adalah eksodus dari Turki ke Jerman pada usia tujuh tahun. Aisyah juga tak memungkiri bahwa pergaulan di Jerman lebih bebas dari Turki tetapi ia berhak menentukan pilihannya sendiri tanpa rasa takut atau risih untuk tetap menjadi perawan hingga resmi menikah.
Sembari mengiris Marmor kuchen (red: kue seperti di Indonesia yang biasa dimasukkan dalam kardus berkat syukuran, berwarna kuning gading dengan corak gelombang coklat), ia meneruskan ceritanya. Perempuan berputra tiga itu juga berharap anak-anaknya nanti tidak akan merusak kehormatan anak wanita lain.
Saya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan apa yang ia kisahkan. Ah … sebentar lagi suami saya pulang, saya pamit undur diri padanya.
Kedua …
Saya dan seorang tamu menonton TV yang menyajikan sebuah acara „Hotel Mama“. Maksud penayangannya adalah menilik kehidupan para pria atau wanita lajang yang telah berusia 30-50 tahun misalnya, tetapi masih tetap tinggal serumah dengan mamanya. Padahal banyak juga anak-anak Jerman yang telah melewati usia 20 tahun-an justru mandiri, menyewa flat atau apartemen di lain kota karena kuliah, bekerja atau hidup bersama pacar. Tentu saja mereka share tempat dengan teman lawan jenis.
OK. Sebuah tontonan yang menarik kami simak, dimana kamera menyoroti kehidupan sehari-hari antara ibu dan anak yang mungkin tidak biasa. Contohnya seorang ibu yang telah berusia 60 tahun masih mengerjakan semua kebutuhan anak yang telah memasuki usia 40 tahun. Dari kepala sampai kaki, mama yang menanganinya.
Dalam sebuah wawancara antara reporter dengan si anak, keluar sebuah pengakuan bahwa si lelaki masih perjaka. Belum pernah sekalipun ia melakukan hubungan seks.
Tamu saya tertawa sejadi-jadinya. Ia mengolok-olok si pria.
“Warum?” saya bertanya heran lantaran tawanya tak saya pahami.
“Arme …” tamu saya mengatakan bahwa kasihan sekali lelaki yang tidak tahu surga dunia. Jangankan berkeluarga, mencoba kenikmatan seks dimasa muda saja belum … mana masih berkumpul serumah dengan si ibu. Jangan-jangan sebentar lagi mati tapi masih perjaka, timpalnya.
“Ist doch egal, er hat seine Wahl” saya membela lelaki itu. Keputusan untuk belum menikah di usia yang termasuk terlambat atau keinginan untuk menjadi perjaka hingga menikah nanti (ditambah serumah dengan ibunda) adalah hak seseorang. Itu tanggungjawab masing-masing pribadi juga.
Ternyata, pendapat yang dilontarkan tamu saya itu sama dengan opini beberapa orang Jerman yang saya kenal disini. Sebuah budaya yang biasa jika mereka telah tinggal serumah dengan pacar dan sudah ML. Kalau sudah tidak cocok boleh diputus, ade alias say good bye, ganti lagi yang lain, ML dan seterusnya.
Saya rasa, budaya seks bebas itu pasti terjadi pula di Indonesia namun tidak diekspos secara natural seperti di negeri barat (yang notabene sudah banyak dimaklumi). Di tanah air jika tidak perawan/perjaka lagi saat menikah sering diolok-olok. Sehingga istilahnya status ini menjadi rahasia TST (Tahu Sama Tahu). Itu yang beda.
Begitulah, dari dua cerita diatas …
Saya khawatir, ini justru akan menjadi sebuah momok bagi generasi muda di Jerman (entah itu berdarah keturunan seperti anak-anak kami, atau orang asli Jerman sendiri). Seandainya mereka memiliki keinginan untuk menjaga keperawanan atau keperjakaan di Jerman tetapi trend dan alamnya sudah berbeda apakah pada kuat? Astaga … parahnya, menjadi perawan/perjaka di Jerman malah ditertawakan. Bukankah sebaiknya mereka dibesarkan hatinya? Pastilah indah jika ada orang yang berpendirian kuat sesuai amanah agama, orang tua dan norma/nilai yang ada? Piye, jal? Aduh, biyunnng! Cekot-cekottt!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H