Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Matahari: di Jerman dan Denmark Dibranjang, di Indonesia Sering Dibuang

14 Juli 2011   22:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13106971341196483611

[caption id="attachment_122771" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Matahari amat menyengat Jerman beberapa minggu yang lalu, 34 derajat celcius! Tetangga di ujung gang sana tersenyum kesenangan. Separoh atap rumahnya (dari 250 meter persegi) yang ditutupi panel kaca penangkap sinar matahari itu bakalan penuh. Kata kolektor solar ini, energi dari matahari yang tersimpan bisa dijual di perusahaan tertentu sesuai kontrak yang ditandatanganinya. Lumayan, menambah asap dapur, kata si empunya. Hal ini juga menjadi trend di beberapa kota kecil lain seperti Königsheim, Hausen Ob Verena, Seitingen, Villingen bahkan kota sebesar Hamburg, Stuttgart, Düsseldorf, Nurnberg, Hannover, Munchen, Bremen, Rostock, Berlin, Postdam, Dresden dan masih banyak lagi. Perkembangan tenaga matahari yang dikumpulkan cabang-cabang PLTS cenderung bertambah banyak dari tahun ke tahun. Menurut informasi www.solarbusiness.de, pada tahun 2020 nanti, Jerman akan mampu mengekspor tenaga solar ini sebanyak 80% ! Fine, tinggal di negeri empat musim tidak sepanas di Indonesia tapi bisa memanfaatkan cahaya matahari yang tergolong pelit setiap tahunnya itu. Siapa kira jika temperatur tertinggi selama ini yang pernah saya alami di negeri Angela ini adalah 37 derajat celcius pada satu musim saja, summer. Bahkan, seorang lelaki di Königsheim mengaku sudah menggunakan tenaga surya ini tak kurang dari 10 tahun. Ia hendak memberi kenyamanan pada keluarganya untuk mandi air hangat dan merasa tidak kedinginan di dalam rumah. Dan ia berhasil. Sebuah hal yang tak asing jika masing-masing keluarga di Jerman memiliki peralatan lain yang banyak menggunakan tenaga solar. Misalnya untuk lampu-lampu di taman dan kebun, lampu senter, lampu untuk alamat dan nomer rumah di depan pintu, lampu besar di depan pintu utama, jam dinding, penunjuk suhu udara didalam atau di luar ruangan, dan masih banyak lagi. Kesadaran ini benar-benar alami. Lihat saja slogan kampanye mereka pada bulan Juni 2011, "Solar, ein Gewinn für alle" (red: tenaga surya, Sang Pemenang bagi semua) atau pada bulan Mei 2011 dengan "Richtig kombinieren, intelligent sparen" (red: Mengkombinasikannya secara tepat akan menghemat biaya dengan cermat). I saw it! Saya turut bersyukur bahwa pemberian Tuhan ini banyak dilestarikan oleh manusia setidaknya masyarakat Eropa. Seingat saya tak hanya Jerman. Pertama kali saya melihat pembangkit tenaga matahari di Denmark tahun 2003. Dalam pertemuan Asia Eropa Youth Camp di Brenderup Volkhojskole itu, kami dibukakan mata dan hati, bahwa menyia-nyiakan sinar matahari adalah langkah yang tidak bijak. Sayangnya sistem yang dibutuhkan untuk memanage pembangkit ini tentu tidak murah dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. However, I saw it! Kami berdua puluh dicocok ke Aero island, sebuah pulau bagian dari negara Denmark yang dijuluki pembangkit tenaga surya terbesar sedunia. Menurut www.aeroeisland.com, areanya sekitar 18,365 m² itu pada tahun 2008 telah berhasil memasok 80% tenaga untuk listrik dan pemanas negeri. Tak heran jika penghargaan dari dunia internasional menjadikan tempat itu sebagai penyandang Solar Town 2000 award Energy Globe 2001 dan a European Union sustainable community award. Apresiasi masyarakat dunia yang hebat, meski panel surya itu tidak ada pada rumah-rumah melainkan pada sebuah perusahaan raksasa tersebut. I saw it again. Saya amati tebaran kaca-kaca yang mbranjang (red: menyerap) matahari. Tak ubahnya melihat perkebunan solar yang unik nan cerdas. Distrik Marstal telah menyuplai 1450 pengguna listrik di kota besar itu. Ketenarannya mampu pula menyedot wisawatan, peneliti dan jurnalis hingga setidaknya 2000 orang pertahun. Karena berkunjung ke tempat pembangkit tenaga listrik solar ini, kita bisa bertamasya sejenak ke Aeroskobing melihat rumah-rumah kuno yang artistik nan warna-warni, souvenir kapal dalam gelas atau botol dari ukuran kecil hingga raksasa. Saya jadi merasa seperti Barbie dengan rumah-rumah tuanya yang cantik; biru, kuning, merah muda, ungu dan lainnya. I saw it once more. Sementara di Indonesia sendiri yang negeri tropis yang kaya akan solar, tak begitu terlihat banyak orang menggunakan tenaga matahari ini baik secara mandiri atau dari prakarsa pemerintah. Dengan kekuatan temperatur rata-rata 30 derajat setiap harinya, hanya dua orang tetangga saya yang memasang tabung dan panel kaca penampung sinar matahari di atap rumahnya. Desas-desus yang beredar dari tetangga ke tetangga, harga peralatannya juga tidak murah. Itupun hanya untuk pemanas air di kamar mandi, demi mendapatkan air hangat. Kami yang waktu itu berada dirumah dinas, memilih menggunakan tabung kecil gas untuk pemanas air hangat kamar mandi. Untung kini kami telah terbiasa memanfaatkan tenaga matahari itu semaksimal mungkin. Saya pernah membaca di internet bahwa PLTS juga akan dibangun di Kalimantan Barat pada tahun 2008. Posisi equator yang tepat garis khatulistiwa pastilah merupakan aset menguntungkan bagi Pontianak. Tetapi saya tidak tahu kelanjutan dari program pembangunannya. Apakah masyarakat puas dengan energi ini? Apakah ada kesalahan teknis yang muncul? Apakah tenaga teknis lokal, spare parts dan lampu hemat energinya memadai dan lain sebagainya? Tiga tahun sudah, I can't wait and I can't see. Pada bulan april lalu, harian Kompas memberitakan bahwa pada bulan April PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan membangun 124 pembangkit listrik tenaga surya pada tahun 2011 di daerah timur Indonesia seperti Papua yang belum terjamah kabel listrik PLN. Tetapi untuk proyek itu nyatanya pastilah tidak gampang dan butuh proses yang panjang mulai tender sampai sosialisasinya. Jika permintaan pasar banyak, pastilah harga PLTS murah dan meringankan rakyat. But anyway, let's wait and see. Seorang bujang dari Solo baru saja meninggalkan kos-kosan kami di Jerman. Katanya ia diutus menilik dan mempelajari sebuah pusat pembangkit solar di daerah utara. Ini hasil kerjasama badan Indonesia-Swiss untuk membuka kemungkinan usaha yang sama di tanah air (Jawa). Entah kapan akan direalisasikan. Yang ini juga wait and see. Saya rasa, masih jauh dari kenyataan adanya pembangkit listrik tenaga surya sebagai energi listrik alternatif selain dari PLN, apalagi menjadi pembangkit tenaga listrik massal ditanah air. Padahal secara nalar, cahaya matahari adalah 100% selalu milik Indonesia banget, juga sebuah kekuatan listrik yang ramah lingkungan, bersih dan dapat diperbarui sampai Tuhan berkehendak matahari tak lagi bersinar! Semoga kita sebagai masyarakat Indonesia lebih sadar dan pemerintah proaktif dalam menemukan solusi kekurangan energi listrik di tanah air (yang sering menyebabkan oglangan alias pemadaman ... hiyyy), juga sigap dalam penelitian dan pengembangan energi alternatif dari matahari ini. Yang terakhir juga wait and see. Hiks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun