Schauoffener Sonntag. Hari minggu semua toko dibuka di Tuttlingen. Ini tidak biasa, karena Jerman memang memiliki aturan bahwa semua toko tutup pada hari minggu. Kecuali toko 24 jam seperti toko pompa bensin, toko roti dan toko daging (hanya sekian jam).
Dan pada hari minggu, 6 April 2014, kami bergabung bersama ratusan orang yang sudah memenuhi alun-alun. Sebagian besar sibuk belanja, sebagian lagi menyebar di jalanan. Menikmati hari minggu. Hmm ... tak biasanya keluar rumah di tempat umum begini. Tidak juga umum menikmati sengatan matahari pada musim semi. Pokoknya hari itu istimewa.
Mata kami langsung menangkap antrian panjang. Gerbong berwujud manusia itu ternyata sedang menunggu pop-corn. Yuhuu ... gratis. Kami pun ikutan. Nyam-nyam. Kurang manis, barangkali karena semua diserap si mbak penjaga yang manis kinyis-kinyis. Dipek kabeh. Giliran pop-corn nya anyep.
Menenteng tiga kantong warna abu berisi pop corn, kami menuju pusat alun-alun. Sebentar kemudian berhenti, berbincang dengan kawan yang kebetulan bersua. Dari Rusia, asal Thailand dan tentu ... warga lokal Jerman. Senangnyaaa ...
Lagi enak ngobrol, teman dari Jerman diacungi corong mikrofon. Oh, dari radio. Si reporter menanyakan, “Apa makna paskah dan apa pendapatnya tentang Osterhase, si kelinci paskah.“ Haduh ... teman suami saya itu menolak menjawab. “Keine Ahnung“, tidak tahu.
Tekat reporter tak berhenti begitu saja mendapat feed back dari warga yang ia wawancarai barusan, jawabannya begitu. Corong merah itu moncongnya mengarah pada suami saya. Oha ... saya kenal pria saya itu, ia paling senang diajak ngobrol apalagi direkam untuk radio. Hohooo ... langsung deh, deretan abjad meluncur dari bibirnya yang mirip punya bapaknya (mertua laki-laki saya) itu. “Horeeee, masuk radio“, begitu jeritan suami saya kepada kami. Halah ... tak mau kalah sama mantan pacarnya. Selamat-selamat. Setidaknya, ayah menjadi contoh yang baik buat anak-anak yang melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana harus bersikap dan beropini di depan publik.
[caption id="attachment_330857" align="aligncenter" width="417" caption="Semangat menjawab pertanyaan reporter radio"][/caption]
***
Yang ingin saya garis bawahi adalah reaksi orang ketika diwawancarai itu beragam. Reaksi pihak yang diwawancarai yakni gugup, menjawab sekenanya, tidak menjawab, bersemangat untuk menyampaikan opini atau bertindak brutal. Apakah Kompasianer pernah mengalami?
Saat gugup, barangkali karena memang kaget. Tidak ada persiapan mau jawab apa. Atau merasa tidak nyaman. Misalnya enak-enak santai tiba-tiba ditanya orang tak dikenal di tempat umum. Itulah sebabnya, banyak orang menyukai untuk membuat jadwal terlebih dulu sebelum diwawancarai. Untuk persiapan mental dan tentu tata kalimat yang akan dilontarkan. “Mau bertanya tentang apa nanti, ya?“
Ciri-ciri orang yang kadang gugup diwawancarai diantaranya mendehem, batuk-batuk buatan, mengerjapkan mata berulang-ulang, kaki dan tangan goyang-goyang, cengengesan, tengok kanan-kiri dan masih banyak lagi,
Menjawab sekenanya mungkin karena kepribadian orangnya yang cuek. Atau tidak tertarik dengan pertanyaan yang diberikan. Sebaiknya tetap menjawab dengan bahasa yang baik dan sopan.
Tidak menjawab? Barangkali memang sudah tahu jawabannya tapi enggan untuk berbagi atau mengemukakannya. Karena memang tidak tahu jawabannya. Atau parahnya, tidak mengerti pertanyaannya. Aduh, malu. Pernah seorang kameramen mengarahkan kamera kepada saya saat ada yang bertanya. Karena kosa kata bahasa asing yang kurang ... suasananya jadi hening karena saya tidak menjawab. Kok, tidak di cut ya? Haaa ... Malu waktu lihat video rekamannya. Sebenarnya untuk menghindari keheningan, bisa saja menanyakan kembali dengan; “Maksudnya?“ atau “Tolong diulangi lagi pertanyaannya?“ atau “Saya tidak mengerti maksud pertanyaan Anda“ atau “Maaf, saya tidak bisa menjawabnya“ atau "Nanti silahkan hubungi sekretaris atau juru bicara saya ..."
Bersemangat! Nah, ini sebuah talenta yang tidak semua orang punya. Untuk semangat menjawab pertanyaan media (audio, audiovisual maupun visual) tentu butuh kepercayaan diri. Jadi meski tahu jawabannya, suaranya tidak nglokor, meliuk-liuk karena grogi. Dan yang pasti berpengetahuan luas, mengetahui jawaban pasti dari pertanyaan tadi. Kadang, untuk audiovisual, ada reporter atau kameramen yang menyarankan agar yang diwawancarai untuk tidak memandang lensa kamera. Kata orang, kontak mata langsung antara penanya dan yang ditanyai harus eye to eye contact.
Beberapa kali dalam jumpa pers untuk pameran atau acara lain, saya paling senang dan semangat menjawab pertanyaan teman-teman pers. Karena biasanya yang tanya satu, dijawab, semua ikut menyimak dan mencatat gerak cepat lalu disusul pertanyaan lainnya. Begitu seterusnya. Tidak monoton. Bahkan banyak pertanyaan yang menggelitik.
Vandalisme biasa terjadi pada media audiovisual. Karena tidak mau kamera mengambil gambar orang yang diwawancarai. Biasanya banyak acara TV investigasi Jerman yang mengalami kebrutalan dari yang diwawancarai. Atau para artis yang merasa tidak nyaman privasi dilanggar. Saya lihat di acara-acara khusus.
Belajar diwawancarai (tertulis) juga ada di Kompasiana, lho. Usai posting, pertanyaan akan muncul dari lembar komentar kompasianer lain. Entah itu serius, sersan atau just kidding. Supaya tidak menimbulkan konflik, semoga pertanyaan dan jawabannya ... selaras. Salaman.
Salam angin (sedang kencang hari ini). Bagaimana dengan angin di tanah air? Sepoi-sepoi??) Selamat sore.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H