Don’t judge a book by its cover, jangan hanya membayangkan isi buku darimemandang sampulnya, sudah sering saya dengar. Namun setelah beberapa kali menerbitkan buku (entah sendiri atau antologi), saya jadi beranggapan bahwa kalimat itu akan saya ubah menjadi I am pleased to judge a book by its cover. Ini juga berdasarkan pengalaman marketing on line, memasarkan buku di jejaring sosial yang saya miliki. Hal ini diperkuat dengan kedatangan paket kiriman dari kompasianer ganteng di Palembang. Siapa lagi kalau bukan si dokter ngocol, dr. Posma B. Siahaan, Sp.PD. Dua buah buku itu membuat saya mengangguk-angguk dan tak sabar membaca isinya. Menambah koleksi buku pak dokter yang pertama, berwarna biru. Terima kasih, dok.
[caption id="attachment_340596" align="aligncenter" width="423" caption="Sampul buku yang menarik, penting! (dok.pribadi)"][/caption]
***
Beberapa kali saya sempat chat dengan pak dokter. Senang rasanya bahwa jarak dan waktu antara Indonesia-Jerman tak menghalangi saya untuk bertemu dengan dokter berputra tiga ini. Dokter ini mengaku menulis di Kompasiana karena iseng lalu meningkat menjadi mencari teman ... dan seterusnya, sampai membuat buku!
Banyak inspirasi yang saya ambil dari beliau. Dokter suami dokter gigi ini, memiliki pembawaan humoris. Apa yang disampaikannya menjadi santai dan enak dibaca. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dokter Posma memang senang menulis pengalaman praktek medis, humor dan cerpen. Ternyata bisa serius lho, dengan mengusung tema politik. Saya ingat betul bahwa beliau mengatakan HL artikel medis kurang seksi dibandingkan saat pernah HL cerpen. Semoga suatu hari HL humor! Apa kata dunia????
Satu inspirasi terakhir pasca pengiriman paket buku hasil karya beliau adalah; buatlah cover bukumu lebih menarik! Mengapa tidak? Buku pertama terbitan CTI milik pak dokter ini adalah “Mengintip kasus medis di balik ruang praktek dokter 1.“Dikatakan beliau sebagai “Kumpulan artikel agar Anda mengetahui apa yang harus Anda lakukan jika Anda atau orang-orang yang Anda cinta mengalami masalah medis serupa.“ Saya sudah baca tuntas. Isinya bagus. Meskipun menurut beliau dan saya (atau beberapa pembaca lainnya), covernya formal. Warnanya biru dengan lis hitam. Siap grak, gitu! Untung saja, wajah manis pak dokter lengkap dengan jas putihnya ini membuat siapapun tetap tergoda untuk membacanya. Buku ini ditandatangani ekstra untuk saya sebelum mendarat di Jerman. Tebalnya182 halaman.
Dokter Posma memiliki keinginan bahwa setahun sekali bikin buku. Wow. Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter dan suami dari ibu Drg. Rumiris Lore Hanna Purba, dan ayah dari Matius, Markus dan Lukas Siahaan, masih memiliki hobi bermanfaat yaitu menulis di Kompasiana. Dan selalu dalam buku-buku beliau itu menampilkan beberapa komentar kompasianer. Promosi yang hebat, bukan? Meskipun promosi perusahaan yang mendukung pembuatan buku ini sampai proses cetak selalu ada dalam ucapan terima kasih.
Nah, untuk buku kedua (tebal160 halaman) yang berwarna oranye, warnanya sudah mulai bagus. Pulas cerah oranye agak kekuningan. Wah, jadi ingat buku “38 WIB“ saya! Judulnya “Mengintip Kasus Medis di Balik Ruang Praktek Dokter 2.“ Buku terbitan Dian Rakyat dengan kata pengantar dari Prof.Dr. Haryono Suyono (mantan Menko Kesra dan Taskin RI)itu, sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa penulis yang juga dokter ini sangat memperhatikan sampul bukunya. Supaya menarik minat pembaca dan pembaca bisa jadi dimasuki aura positif gambar atau warna yang bagus. Satu hal yang menarik dari buku kedua ini adalah; 5% keuntungan buku ini akan disumbangkan kepada Yayasan Kanker Indonesia. Saya masih ingat perbincangan dokter Posma dengan mbak Christie Damayanti, yang juga sudah terlebih dahulu memiliki ide ini. Menyumbangkan sebagian royalti buku untuk sebuah yayasan (kalau tidak salah stroke). Nah, ini inspirasi bagi kompasianer yang akan menerbitkan buku bukan. Sekalian berbagi, mencari keuntungan juga beramal. Selamat! Bekal yang bagus.
Buku ketiga dokter Posma “Diary Dokter“ memiliki halaman lebih tebal, 240 halaman. Ada yang menarik dari sampul warna pink, yakni adanya gambar kartun dokter Posma dengan seorang nenek yang minta dicoblos pantatnya dengan jarum suntik (bukan foto penulis seperti yang sudah-sudah). Buku terbitan Belafit ini memang dibalut dengan warna yang banyak disukai wanita. Jambon lembut. Bahkan sampulnya dibuat agak timbul di beberapa bagian. Sebelum buku ini dibaca, saya elus-elus. Apalagi kalau matanya merem, waduh! Lagi-lagi sebuah peningkatan ide yang lebih baik dari buku sebelumnya.
Di dalam keterangan buku, tertulis co writer adalah Aulia Gurdi. Kalau benar ini adalah kompasianer di Jakarta itu, saya menafsirkan sudah ada sharing and connecting (motto Kompasiana) yang diterapkan oleh dokter Posma. Selain berbagi kisah praktek medis, juga bekerja sama dengan sesama kompasianer. Bukankah itu indah? Indahnya persahabatan maya.
Saya heran, mengapa dalam buku ini tidak ada kata pengantar seperti buku terdahulu. Lupa tanyaaaa. Waktu mau tanya, baru ingat, saat itu Indonesia sudah larut malam. Malu bertanya tidak usah tanya.
Tambahan inspirasi dalam buku ketiga ini tidak hanya terdapat pada sampul buku yang digarap oleh @tukangrafis. Isi buku yang seperti biasa, selalu bermanfaat untuk diambil sarinya ini, juga memanjakan penyuka gambar karikatur di setiap halamannya! Karikatur? Iya, sejak kecil saya sering membaca sebuah koran lokal yang banyak menampilkan karikatur. Kenangan ini kembali timbul dengan membuka halaman-halaman buku dokter Posma tergres ini.
Lihat saja bagaimana gambar seorang ayah yang sedang sikat gigi menganjurkan kepada anaknya untuk sikat gigi supaya giginya tidak rusak. Saran ini dikaitkan dengan praktek dokter Riris (istri dokter Posma) yang menangani masalah 5 pasien tamatan SMA yang mau masuk jadi tentara (halaman 11). Kalau mau diterima, giginya harus sehat. Kalau harus tambal dalam semalam, mana mungkin? Lebih baik mencegah daripada mengobati. Sikat gigi! Eh, si anak malah ngelantur. Menolak, maunya jadi dokter seperti ayah. Toh, gigi Markus sudah ompong. Tidak masalah dengan gigi berlubang, karies dan sebangsanya. Semoga kelak, benar jadi pilot, ya, nak!
Gambar karikatur lucu lainnya yang menarik, ada di halaman 123. Judul artikel “Mama saya hari ini boleh pulang, ya, dok?“ ini selain lucu juga bermanfaat mengingatkan kita untuk hati-hati membawa anak-anak di bawah umur atau yang sedang sakit, saat besuk ke rumah sakit. Salah-salah malah ketularan. Saya tahu betul, repot kalau punya anak sakit .... Nah, kejadian dokter Posma menemukan anak di ruang satpam ini menjadikan kita tahu, alasan apa saja yang menyebabkan anak-anak di bawah usia 12 tahun dilarang masuk ke ruang perawatan. Sekalipun dibawa ke rumah sakit, sebaiknya memang dititipkan satpam RS. Lebih baik lagi dititipkan orang lain di rumah atau tetangga.
Selain gambar karikatur, masih ada gambar asli dari pasien. Misalnya mata melotot penderita tiroid. Ngeri. Aduuuuh ... saya pernah mengalami ini. Disedot cairannya, diberi obat penyeimbang hormon, mengkonsumsi garam beryodium dan ... operasi! Benjolan itu memang tidak besar, tapi mengganggu penampilan. Apalagi saya waktu itu masih gadis. Tindakan medis dilakukan dengan alasan kosmetika.
Tata letak tulisan juga sudah berbeda dengan buku pertama dan kedua. Buku ketiga, lay out lebih bagus. Persamaannya adalah, ketiga buku kompasianer ini, sama. Duapuluh tiga centi. Kalau ditata di rak, tinggi dan lebarnnya sama. Rapi.
[caption id="attachment_340597" align="aligncenter" width="320" caption="Ketiga buku kompasianer Palembang, Posma Siahaan"]
***
Seru, ya? Isinya? Sesuai dengan sampul buku yang menantang orang untuk mengintip dokter Posma pas lagi praktek. Hahaha (nanti bisa trimbilen, mata berbintil)! Banyak cerita lucuuuu ... Jadi tunggu apalagi? Dapatkan buku beliau di toko buku kesayangan kompasianer. Kalau saya yang jauh di Jerman saja baca bukunya, apalagi yang dekat-dekat? Jangan kalah, ya?
Begitulah. Ternyata betul bahwa membuat buku tidak sekedar menuliskan isi hati dan pikiran saja. Sampul buku atau cover juga harus diperhatikan. Ini penting untuk mengajak orang untuk membeli, melihat dan membaca isinya. Menurut pengalaman saya yang menjual buku secara on line. Para pembeli yang lebih dari 300 an itu, tersebar tak hanya di Indonesia juga di luar negeri (USA, Malaysia, UEA, Belgia, Inggris dan Jerman). Mereka membelinya hanya dari melihat gambar scan cover saya di jejaring sosial. Maklum, tidak ada di toko buku. Indie.
OK. Sudah sampai mana editing naskah atau sampul buku kompasianer? Semoga artikel ini menginspirasi. Saya setuju dengan inspirasi dokter Posma, bikin sampul jangan sembarangan. (G76).
PS: Ditulis dengan persetujuan penulis, dokter Posma, pada suatu hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H