Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Jika Anak Sudah Besar, Jangan Jadi Onak

21 Juni 2014   04:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:56 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1403272622833293826

Adalah seorang raja yang memiliki dua orang putra. Meski dilahirkan dari ibu yang sama, keduanya memiliki perangai yang berbeda. Anak sulung; sangat pemalas, culas dan seorang pembohong. Anak bungsu; suka bekerja keras, baik hati dan jujur. Namanya orang tua, pastilah tidak membedakan anak-anak yang dimilikinya. Agak kesal itu pasti, namun, tetap saja baginda raja dan ratu membesarkan mereka tanpa pandang bulu. Kasih sayang tertumpah setiap detik jantung berdenyut, hingga nafas tak lagi berhembus.

***

Hari demi hari, mereka tumbuh dewasa. Suatu hari, Baginda mengijinkan mereka untuk hidup mandiri. Masing-masing mendapatkan daerah kekuasaan. Satunya di barat dan satunya lagi di wilayah timur.Setiap anak mendapatkan luas area, jumlah orang dan perangkat yang sama. Keduanya pun memulai hidup baru, sendiri, tanpa orang tua.

Pada bulan pertama, putra sulung sudah mengeluh. Ia mengirimkan seorang pelayan untuk mengirim surat berbentuk gulungan kertas itu kepada Baginda Raja. Isinya? Putra sulung menuliskan bahwa ia butuh lebih banyak orang, biji-bijian dan kuda untuk menggarap lahannya. Sedangkan lahan raja yang ada di daerah utara, juga dimintanya, sebagai tambahan wilayah kekuasaannya. Tak banyak kata yang muncul dari mulut Baginda. Ia hanya mengangguk dan meluluskan permintaan sang putra. Pada hari itu juga, apa yang diminta terkirim. Surat pengalihan kekuasaan wilayah utara, ditandatangani sudah.

[caption id="attachment_343952" align="aligncenter" width="287" caption="Negeri gemah ripah loh jinawi, butuh pemimpin sejati (dok.G76)"][/caption]

Lalu, apa yang dilakukan putra bungsu pada bulan pertama? Segerobak penuh hasil bumi yang diolahnya bersama para pekerjanya, dikirim kepada Baginda. Melimpah, melimpaaah sekali. Upeti dari anak bungsu itu, akhirnya dihibahkan kepada rakyat. Baginda raja dan ratu sudah merasa lebih dari cukup. Sebagai balasan, dikirimlah emas permata dalam sebuah peti kayu berukir kepada si anak yang berbakti itu, satu minggu kemudian.

Berita tentang pemberian harta kepada adik bungsu, terdengar oleh kakak sulung.

„Kurang ajar. Ayahku pilih kasih. Sudah mau-maunya aku menggarap tanah pemberiannya yang kering kerontang sampai susah payah dan tak membuahkan hasil, eee ... malah adikku dapat harta karun. Sialan!“ Saking geramnya, ia kepalkan kedua tangan sepuluh kali. Bahkan sempat meludah di karpet warna merah yang terhampar di depannya. Ia menuliskan lagi sebuah surat di atas sebuah daun lontar, pesan singkat dan padat untuk ayahandanya. Tintanya, warna merah, semerah mukanya yang marah terbakar emosi! Pelayan mengirimnya, secepat kilatan cahaya.

Baginda tertunduk usai membaca pesan. Ia prihatin dengan watak anaknya yang kurang baik itu. Tidak juga berubah! Namun, ia tetap meluluskan permintaan sang anak yang tertera dalam surat; kepingan emas dan permata yang jumlahnya sepuluh kali lebih banyak dari yang telah diterima sang adik. Ada maksud tertentu, demi menguji kasih sayangnya kepada anak pertamanya itu. Apakah anak tertuanya itu bisa memaknai pemberian?

Desas-desus tentang pemberian harta berlebih kepada kakak sulung terdengar sampai telinga adik bungsu. Pangeran ini tidak iri, tak juga dengki. Tak berapa lama, sang adik justru mengembalikan emas dan permata yang dikirim Baginda raja kepadanya. Bahkan menambahnya dengan 10 kali lebih banyak dari yang sudah diterimanya dahulu. Ia menghadap sendiri, bersimpuh di depan kursi keramat warna emas. Bertubi-tubi ia ciumi tangan kedua orang tuanya ... seolah-olah tahu, bagaimana galaunya perasaan mereka selama ini.

“Ayah, sepertinya, anakmu ini tidak butuh emas dan permata. Sudah cukup tanah garapan, para pembantu dan hasil bumi yang kami dapatkan untuk hidup. Aku pikir, terlalu banyak yang ayah berikan padaku. Ayah dan rakyat lebih membutuhkannya. Terimalah kembali ... Dan tambahannya adalah untuk mengembalikan apa ang ayah berikan kepada kakak sulung.“

“Oh, anakku. Betapa luhur budimu. Sebagai orang tua, tak mungkin aku memilih semua anakku sepertimu. Aku tidak bisa mendikte Tuhan tentang bagaimana anak-anak yang dilahirkan dari rahim istriku, ibumu. Aku mantab. Aku pikir, engkaulah yang pantas menggantikanku, duduk di singgasana dan memimpin rakyat ini.“

“Maaf, ayah ... jangan cari perkara. Ini seperti mengadu domba antara kakak sulung dan aku. Anakmu ini, bukan bermaksud menyakiti hati ayah. Hanya saja, kakak sulung lebih tua, dia yang seharusnya mengambil alih tahta.“

“Tidak anakku, memimpin sebuah kerajaan, tak hanya soal mampu mengolah lahan dan rakyat yang ada disekitar, tetapi juga bagaimana dia bisa mengambil keputusan penting dan tetap melestarikan budi pekerti luhur. Anak yang demikian adalah anak yang memperlihatkan didikan orang tua yang berhasil. Engkau adalah contoh anak yang mampu menjunjung tinggi nama orang tua, hormat dan patuh pada kami. Ini dasar yang sangat penting dimiliki seorang pemimpin. Ia tak hanya harus dihormati tapi juga harus bisa menghormati orang lain.“

Sorak-sorai rakyat yang mendengar seruan raja di balai istana, membahana. Mereka mengelu-elukan nama si pangeran. Ya. Sudah tiba saatnya memiliki pemimpin baru yang tepat. Pemimpin yang tak sekedar memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga rakyat sekitar dan yang utama ... orang tua yang menjadi perantara untuk lahir dan besar di dunia. Tanpa mereka, apalah arti seorang anak?

Hari itu juga, bunyi genderang ditabuh berkali-kali. Rakyat berkumpul di depan istana. Dari balkon, mahkota Baginda raja diletakkan di kepala anak bungsu. Rakyat bertepuk tangan dan menari, mengikuti musik yang dimainkan para pemusik istana kerajaan. Penobatan dadakan memang diselenggarakan dengan sederhana, tapi penuh acara ritual. Tak perlu menunggu hari berganti. Tidak perlu. Karena pemimpin sejati sudah ketemu.(G76)

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun