Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berbohong Tanda Tak Mampu

27 Juni 2014   23:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:33 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14038621491948952540

Hari masih pagi. Mawar sudah siap berangkat ke sekolah. Ia memang sudah bangun pagi-pagi sekali. Janjinya, nanti mau jalan kaki. Mama tak perlu mengantar ke sekolah dengan mobil. Ya. Mama masih terbaring di tempat tidur, capek dari menyusui bayi, adik Melati.Mama memang mengajarkan Mawar untuk tidur selalu lebih awal dan bangun lebih pagi. Kalau sudah, ganti baju, makan pagi, menyisir rambut dan menyikat gigi sendiri. Bekal untuk sekolah bisa diatur sendiri dan dimasukkan ke dalam ransel.

Untuk ukuran bocah umur 8 tahun, barangkali masih terlalu dini. Ajaibnya, Mawar terbiasa untuk melakukannya sendiri. Ia tidak pernah protes, bahkan senang bisa menjadi mandiri. Mawar paling senang membuat hati mama bahagia, anaknya sudah besar. Perasaan Mawar memang peka. Peka sekali.

Tepat pukul 06.00, mama turun dari tempat tidur.

“Ehhh, anak mama ... sudah bangun. Sudah cantik. Pintar kamu.“ Mama mengecup ubun-ubun Mawar. Ada dua pusar di sana, meskipun demikian, Mawar bukan anak nakal.

“Iya, kan mama yang ngajarin.“ Mawar mendekap mamanya yang masih bau. Mama usap rambut si anak. Mama segera mandi. Tak lama, hanya lima menit. Mama sudah selesai dan segera membantu memilin rambut Mawar yang panjang. Mawar meringis. Mama menyisir rambutnya terlalu keras.

“Jangan gerak-gerak.“ Mama masih menyisir rambut Mawar yang kemarin lupa dikeramas.

“Ma, hari ini, aku bawa bekal buah ceri. Aku tidak perlu bawa roti dan salami. Biasanya, aku selalu dapat dari Citra.“ Mawar memandangi mata mamanya yang lebih besar dari matanya.

“Lho, apa Citra tidak mau makan? Kasihan, nanti lapar.“ Kening mama berkerut.

“Dia tidak suka roti, Ma. Tapi mau bilang mamanya takut dimarahi. Mamanya kan galak. Jadi biasanya dibuang atau disembunyikan. Makanya, aku kasihan, makanan kok, dibuang-buang. Sayang, jadi aku makan sampai habis dan tak perlu bawa dari rumah.“ Mulut Mawar cemberut lalu tersenyum. Ia seolah-olah benar berempati dengan teman sekelasnya itu.

“Yaaa ... jangan. Kenapa Citra tidak jujur saja, ya? Bilang bahwa bekalnya diganti buah atau sayur seperti ketimun, wortel atau paprika. Atau kesukaannya yang lain, pasti ada .... Tapi roti, betul bikin kenyang, sih.“ Mama mengangguk-anggukkan kepala. Salah satu tangannya, mengambil karet. Ditalikan pada rambut yang sudah rapi.

“Sudah, Ma. Tapi mamanya maksa. Kalau aku nggak suka isi bekal, aku bilang ke mama, nggak perlu takut ... nggak perlu buang disampah dan bilang sudah dimakan. Bohong itu kebiasaan buruk.“ Mawar mematut diri di depan cermin. Sudah cakep. Siap berangkat. Sudah pukul 07.00. Harus segera berangkat, biar tidak telat. Butuh setengah jam untuk menuju sekolah yang ada di puncak.

[caption id="attachment_345170" align="aligncenter" width="512" caption="Roti atau kue bisa bikin perut kenyang (dok.Gana)"][/caption]

Matahari bersinar ceria. Cahaya yang sehat untuknya. Langkah kaki kecil si gadis akan segera meninggalkan rumah. Mama mengecup pipinya yang putih, dilumuri lotion biar tidak terbakar sinarnya. Mawar mencium tangan mama, tak ubahnya mama waktu kecil mencium tangan eyang kakung. Lambaian tangan mama, melepas kepergian Mawar yang berjaket tipis warna jambon.

Mama masih berdiri di depan pintu, menanti sampai bayangan permata hatinya menghilang di ujung gang. Ada senyum kecil di bibir mama. Senang sekali Mawar sudah banyak mengerti hal paling mendasar dalam kehidupan. Bohong itu tanda tak mampu. Tak mampu mengutarakan kebenaran atau menghadapi kenyataan yang akan hadir di depan mata. Siap tidak siap, kebohongan akan terbongkar. Mau tidak mau, kebohongan akan membawa nasibnya sendiri. Entah itu dalam sebuah lubang atau lingkaran setan.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun