Membayar zakat sebelum Idul Fitri sudah biasa saya lakukan sejak kecil. Dahulu, sering dengan membayar beras yang sama dengan beras yang kami makan sehari-hari. Dua setengah kilogram. Dalam perkembangan sistem pembayaran di masjid atau sekolah tempat menerima zakat, saya membayar dengan sejumlah uang yang setara dengan beras 2,5 kg.
Cara membayarnya, menyerahkan beras lalu ditimbang lagi oleh panitia. Setelah beres, diberikan surat tanda terima di mana ada keterangan nama dan alamat saya, jumlah yang dizakatkan (selain zakat fitrah, ada juga zakat mal dan zakat lainnya). Di sana ada keterangan niat menzakatkan; Nawaitu an ukhrija zakaatal fitri ‚annafsii fardhan lillahi ta’aalaa atau sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, fardhu karena Allah ta’ala.
Hmmm , saya masih ingat betul ketika remaja sering membantu masjid untuk melayani mereka yang akan membayar zakat. Biasanya setelah sholat maghrib dan setelah sholat tarawih. Senang saja bahwa saya bermanfaat. Ramai-ramai bersama teman-teman kampung. Kenangan yang indah.
Dan ketika berada di Jerman, pastilah menjadi lain namanya juga negeri asing. Saya bingung mau disalurkan ke mana. Makanya, saya selalu meminta tolong ibu di Indonesia untuk membayarkannya. Sesekali, meminta bantuan teman. Lancaaaar.
Tahun ini, saya berniat untuk mengetahui bagaimana sebenarnya berzakat fitrah di Jerman. Jerman memang negeri yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk Katolik Roma, namun tak sedikit warga Turki muslim yang memenuhi populasinya lho.
Saya pun mendatangi sebuah masjid yang letaknya 15 menit dari rumah dengan mengendarai mobil. Masjid Fatii Camii itu terletak di pinggir jalan. Di lantai pertama ada perpustakaan, air mancur dengan bebatuan imitasi, di lantai atas baru tempat sholat dan sebuah menara yang tidak pernah membunyikan adzan karena memang di Jerman dilarang. Sedangkan di lantai bawah, saya tidak tahu apa isinya. Mungkin untuk instalasi listrik dan air.
Hari Sabtu kemarin, saya sudah datang bersama anak-anak tetapi orang yang bertugas sedang tidak ada di tempat, sayapun disarankan untuk kembali hari Minggu. “Pasti, pasti datang petugasnya. Sekitar jam 12-13 ya?“ begitu kata seorang lelaki yang sedang berada di halaman parkir masjid.
Hari Minggu saya pun datang pada jam itu.Pukul 12.30. Di halaman parkir sudah ada sekitar 20 orang laki-laki yang kebanyakan bapak-bapak, yang duduk menikmati siang. Mungkin saja, sebentar lagi sholat dhuhur berjamaah. Sudah waktunya. Mereka memandangi saya, saya anggukkan kepala dan mendekat seseorang yang agak lebih muda dan bertanya:
“Hallo, maaf, saya mau tanya soal zakat fitrah.“
“Oh, mari ikut saya.“Ia memasuki gedung masjid. Saya mengikutinya. Sejenak kemudian ia menjelaskan bahwa sang imam sudah pulang. Petugas lain sedang tidak ada di tempat. Saya pun menjelaskan bahwa kemarin saya sudah datang dan dianjurkan untuk datang lagi pada hari ini pada jam ini.
Si mas segera menelpon seseorang lewat HP. Ternyata itu petugasnya, yang katanya akan segera datang dalam waktu 10 menit. Saya menunggu di ruang perpustakaan yang lowong.
Seorang bapak-bapak datang menggantungkan jaketnya. Ia bertanya apa saya sedang puasa. Jika tidak ia mempersilakan saya untuk mengambil kopi atau soft drink sendiri di mesin yang ada di pojok.
Sepuluh menit berlalu, seorang bapak-bapak muda datang dan menanyakan apa betul saya mau zakat fitrah. Saya mengangguk. Ia mulai mencatat nama dan alamat serta besaran zakat yang akan disumbangkan. Entah mengapa ia menuliskan Spende, sedekah bukan Zakat Fitr? Tidak ada tulisan niatan berzakat seperti yang sering saya lihat di nota bukti pembayaran di masjid dekat rumah orang tua saya dahulu. Ah, yang penting niatnya tadi sudah diutarakan untuk zakat fitrah sebelum Idul Fitri.
[caption id="attachment_349970" align="aligncenter" width="512" caption="Zakat di masjid Spaichingen hari ini"][/caption]
[caption id="attachment_349971" align="aligncenter" width="497" caption="Ruang perpustakaan dengan ATM minuman"]
[caption id="attachment_349972" align="aligncenter" width="512" caption="Jadwal sholat lima waktu dan imsak"]
[caption id="attachment_349973" align="aligncenter" width="359" caption="Info madding ada soal Gaza."]
Sembari menulis, ia tanya-tanya asal saya apa dari Filipina, keluarga berapa dan seterusnya. Saya menjelaskannya. Heee ... wajah saya seperti orang Filipina atau orang Turki tidak bisa membedakan orang Asia ya? Hehe. Ini tak ubahnya orang Asia yang kadang sukar membedakan mana orang Eropa yang dari Jerman, Turki, Rusia atau Italia misalnya .... Malu bertanya tak usah tanya.
Sebelum pulang, saya bertanya soal sholat Idul Fitri. Dia mengatakan bahwa ini khusus untuk pria saja. Alasannya; selain tempatnya tidak muat, perempuan tidak wajib untuk datang. Sholat akan dimulai pukul 06.30 waktu Jerman selatan dan pesta lebaran bersama dirayakan setelahnya.
Si bapak berkata, “Pasti di Indonesia itu lebih ketat agamanya dibanding Turki.“ Saya menggeleng. Di tanah air banyak hidup agama lain selain Islam. Dan sholat lebaran biasanya digelar untuk semua pria dan wanita. Tidak ada pengecualian seperti di masjid ini. Ia tak bereaksi. Diam. Saya memang sudah sering mendengar cerita dari teman-teman yang mengenal masjid itu bahwa sholat Idul Fitri perempuan, ya, di rumah saja.
Demikian pengalaman saya membayar zakat fitrah untuk pertama kali di Jerman. Bagaimana dengan pengalaman pertama kompasianer di tempat tinggal? Selamat hari raya Idul Fitri, maaf lahir batin. Semoga pertemuan dengan keluarga, kerabat, teman dan handai tolan membawa berkah dan yang sedang dalam perjalanan diberi keselamatan dan kesabaran di jalan raya. Amien.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H