Nanggap, atau meminta, mengadakan tampilan pada suatu perhelatan khusus seperti pada acara perkawinan, sunatan atau peringatan lain adalah hal yang wajar dilakukan oleh masyarakat Jawa. Banyak orang tua yang menanggap wayang kulit saat anaknya khitanan, pemda nanggap jaran kepang, gambyong atau ledhek untuk pesta rakyat dan masih banyak lagi. Saya juga pernah ditanggap untuk menari di pesta perkawinan orang Jawa, pentas tujuhbelasan di Indonesia atau acara ulang tahun di Jerman misalnya. Ini biasa.
Yang tidak biasa adalah ketika saya ditanggap menari di pesta perkawinan orang Jerman baru-baru ini. Tentu saja bukan hil yang mustahal karena yang menikah adalah teman lama yang dari dulu tak ojok-ojoki untuk menikah tetapi bersikukuh tetap tidak mau dan sekarang ... sudah sadar, kebelet “Saya mau menikah ...“ Begitu cetusnya sembari mengepulkan asap di udara. Alhamdulillah, Dul!
Ditanggap pengantin Jerman? Bagaimana ceritanya?
Begini. Saat liburan sekolah, saya diajak suami untuk ikut meeting di luar kota. Karena anak-anak tidak ada yang menjaga, sekalian dibawa. Ketika suami rapat, saya dan anak-anak adakan acara keliling kota. Saya hubungi seorang teman yang tinggal di kota itu. Kami memang kenal sudah 13 tahun lamanya. Meskipun pertemuan kami tidak intensif, kami berhubungan baik, lewat dunia maya misalnya. Dia pernah mengunjungi kami di Jerman selatan dan kami pun akhirnya mengunjunginya di Jerman Utara. Ya, gara-garameeting suami itu.
Dia membawa kami keliling kota gratis dengan becak Vietnamnya yang lucu dan kencang larinya itu. Hiya-hiyaaaa ... begitu suara anak perempuan saya kegirangan ketika kaki teman saya yang santun itu hampir mbledhos menggenjot becak untuk kami berempat. Dia di depan di sepedanya, kami perempuan, bertiga, di keretanya pada bagian belakang. Untuk ukuran wanita Jerman, kami ini sama dengan berat badan satu orang. Haha. Makanya tidak heran, dia mau-mau saja krenggosan jadi tukang becak dadakan. Kalau tukang becaknya orang Indonesia itu biasa, ini buleeee ....
Malamnya, bukan kakinya saja yang mbledhos tapi ban bagian belakang yang benar-benar mbledhos. DORRR ... Kami jadi pusat perhatian di kota. Berpasang-pasang mata mulai menguliti kami berempat. Saya merasa bersalah sekali. Jadi, ketika usai rapat, suami usul makan malam dengannya (bersama pacarnya juga) di restoran Indonesia “Haus of Java“, saya mengangguk. “Buat ongkos narik becak sama ganti ban yang meletus.“ Batin saya.
Benarlah. Kami berenam makan di sana. Sebelum pulang, teman saya itu bilang bahwa kami diundang untuk datang di pesta perkawinannya. Saya sangat gembira, apalagi anak-anak. Mereka boleh jadi Blumen Mädchen, pengapit pengantin dengan gaun putih yang mekrok kayak kembang. Huyyyyy. Elok nian nanti, yaaa.
Hari berganti hari. Sebelum saya berangkat liburan ke Hungaria, ia mengirim pesan singkat bahwa akan sangat indah kalau saya benar datang ke pesta pernikahannya dan menari untuknya. Mengapa tidak??? Ketika dulu pertama kali ia menceritakan rencana pernikahan, saya sudah mau keceplosan usul kalau saya boleh menari tapi saya urungkan sebab saya pikir tidak pas lah, menyalahi adat orang barat. Bersyukur bahwa ternyata, ia menghilangkan kekhawatiran saya bahwa budaya barat dan timur tidak bisa bersatu. Kalau mau, bisa. Contohnya, nikahan modern orang Jerman dengan sajian tarian Indonesia.
[caption id="attachment_353057" align="aligncenter" width="512" caption="Akhirnya menikah"][/caption]
[caption id="attachment_353058" align="aligncenter" width="512" caption="Hujan bunga dan doa"]
[caption id="attachment_353059" align="aligncenter" width="318" caption="Mengikat janji setia "]
[caption id="attachment_353060" align="aligncenter" width="320" caption="Sudah resmi menikah, tak perlu hotel Mama"]
[caption id="attachment_353078" align="aligncenter" width="320" caption="Terima kasih, temans."]
[caption id="attachment_353080" align="aligncenter" width="320" caption="Toples cinta"]
[caption id="attachment_353081" align="aligncenter" width="486" caption="Raja dan ratu, cukup sehari saja."]
Rasanya menari Jawa di pesta pernikahan Jerman
Menari di atas panggung sudah bukan hal yang asing lagi bagi saya. Deg degan itu pasti. Kalau tidak berdetak, mati dong, ya? Argh, tetap ada perasaan beda; ketika menari saat umuran 5 tahun atau saat anak saya umurnya sudah 5 tahun. Hehe.
PD saja lagi. Kalau malu, hidup gak seru, ahhh.
[caption id="attachment_353082" align="aligncenter" width="512" caption="Para gadis siap tebar bunga"]
[caption id="attachment_353083" align="aligncenter" width="512" caption="Ada jus yang bisa memabukkan"]