[caption id="attachment_353085" align="aligncenter" width="295" caption="Warna-warni bajunya ... wow!"]
Saya sudah mulai dandan. Dibantu suami sama anak-anak yang perempuan. Saya sudah bilang ke pengantin lelaki, “Butuh setengah jam untuk rias dan pakai baju tari, tolong kasih tahu jam berapa saya ditanggap“ Suami mulai jepitin peniti di sana-sini. Anak-anak memegang perhiasan, senang sekali mereka dengan kerlap-kerlip warna emasnya. Saya pentas tepat sebelum pengantin menari Waltz. Eh, dansa ini kan tari barat banget yak? Sedangkan saya, kali itu lebih ke timur. Menari merak. Teman saya meminta saya membawakan tari Bali. Bisa sih, tapi pakaian saya tidak lengkap dan saya lebih nyaman menari Jawa. Saya ambil yang agak rancak mirip Bali. Lagian, merak adalah burung jenis jantan yang kalau memamerkan bulu-bulunya semakin menarik perhatian betinanya. Sama halnya dengan pengantin di hari pernikahan. Waaa, passs.
Sebelum menari, teman saya itu pidato. Halah, pakai pamer bagaimana ia bertemu saya dan apa yang dahulu saya kerjakan di Indonesia. Ini tidak ada dalam skenario, bung! Belum lagi, saya disuruh pidato menceritakan tentang tarian. Jiah, gak bilaaaang. Saya agak terbata-bata menjelaskannya dalam bahasa Jerman ngak-nguk. Ya, sudah. Ceritanya seadanya dan seperlunya saja.
Jreng-jreng-jrenggggg. Hoppala. Musik dipasang DJ. Kami sudah berkomunikasi tentang CD yang saya serahkan sebelumnya; tentang intro dan musik tari pas ON. DJ dari London itu hanya bisa bahasa Inggris, tidak bisa bahasa Jerman tidak pula bahasa Indonesia. Kalau bahasa Tarzan, mungkin sih. Ugh. Untung saja saya pernah belajar bahasa Inggris, Mister ....
Gerakan cring-cring awal saya mulai jadi magnet pada mata-mata bule yang hadir. Dari sekitar 100 orang, hanya 5 orang Asia; sepasang dari India, saya, seorang pria dari China dan wanita Jepang teman pengantin perempuan. Menjadi pusat perhatian di lantai yang temaram waktu itu, berusaha saya kuasai; tidak boleh pingsan. Haduhhh ... ibuk-ibuk nari, bukan gadis lagi! Tulang mau cepottt mretheli.
Kamera dan video mulai menangkap gerakan saya dalam menari. Saya sudah wanti-wanti ke suami untuk ambil gambar dan video. Biasanya lupa. “Jangan lupa, yo, Pak?!“ Ia memang tidak lupa tetapi dasar SD card sudah tua, gambar dikorupsi jadinya separoh-separoh. Nasib.
Oh, ya. Lambaian saya saat menari tak hanya mendekati pengantin yang duduk di lantai (dan sudah menukar baju pengantin dengan kaos panjang), melainkan ke segala penjuru. Seperti gasing tanpa rem yang pakem. Agar semua kebagian dan bisa mengamati lebih detil bagian baju atau gerakan tari merak. Jeng-jeng-jeeeeng. Lupa nggak lupa, nariiii.
Bagian akhir musik memberi tanda. Yahhhh ... dandannya lama, narinya cepat amaaaat.
Saya membungkukkan badan sembari tangan bersujud, sebagai ucapan terima kasih atas perhatian para tamu yang bajunya warna-warni itu. Sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh di ruangan villa tempat kawinan teman saya itu. Memang tidak ada teriakan “Zugabe“ atau “Lagi“ tetapi saya gembira bukan kepalang sudah meluluskan permintaan teman saya yang jadi raja sehari itu. Iya, dia cuma sehari jadi raja. Kalau sepanjang masa, bisa pusing dia. Semakin ke atas, anginnya kenceng. Jadi rakyat lebih enak.
[caption id="attachment_353089" align="aligncenter" width="362" caption="Sebelum pentas, poto dulu, Pak (dok: Bernd)"]
[caption id="attachment_353090" align="aligncenter" width="360" caption="Tari perut (pakai pedang) dari Turki (dok.Bernd)"]
[caption id="attachment_353091" align="aligncenter" width="320" caption="Duet Musik"]
[caption id="attachment_353109" align="aligncenter" width="318" caption="Penyanyi Afrika yang besar di Jerman"]
[caption id="attachment_353110" align="aligncenter" width="307" caption="Badut yang disuka anak-anak, kecebur kolam."]
Tak berapa lama, pasangan pengantin mengucapkan terima kasih dan memeluk saya.Beberapa tamu mendekati saya yang gayanya malu-malu kucingan. Mereka menyanjung tari ini. Si Mister UK berlutut di depan saya yang duduk di kursi pojok, kelelahan lompat-lompat jadi merak. Dia begitu berapi-api mengungkapkan kesan mendalam terhadap musik dan tari Merak. “Unbelievable, I’m a DJ. I’ve never heard such a music ... what do you call that again, please?“ Wah, bangganya, musik kita dikatakan luar biasaaaa. Helm, mana helm?
Pause. Kehebohan tari merak telah larut menit demi menit ... seiring gelapnya malam. Tak ada burung hantu, tidak juga hantu, meski villa ini sudah tua, mulai keriput dindingnya dan lubang di sana-sini.
Sebelum pulang, saya mantrai dia dapat anak kembar, begitu pesan saya dalam buku tamu bergambar dan buku resep (yang dipersembahkan para tamu untuk kedua mempelai). Acara pernikahan teman saya itu memang heboh. Tak hanya saya yang menari rupanya, ada hadiah kejutan tarian perut dari teman-teman Turki, kado lagu dari teman Afrika, ada lepas balon udara (di sana tertulis kartu pos yang bisa dialamatkan oleh penemu ke pengantin), badut, selfie photobox, ular-ular alias nasehat dari orang tua pengantin perempuan, band, permainan gitar dan jalan-jalan ke taman kota di mana tumbuh pohon palem dengan suburnya di antara warna-warni bunga. Oh ya, tiap tamu yang akan pulang dapat sekantong biji bunga yang sama yang ditanam pengantin di teras mereka. Ia berkelakar; salah satunya, bunga ganja! Haha! Teman saya itu memang pantas jadi warga yang multikulti. See you again, dear friend.
***
[caption id="attachment_353099" align="aligncenter" width="512" caption="Daripada panas ati, enak adem kaki."]
[caption id="attachment_353100" align="aligncenter" width="512" caption="Menulis resep masakan India untuk pengantin."]
[caption id="attachment_353097" align="aligncenter" width="507" caption="Melepas balon di usara ...."]
[caption id="attachment_353102" align="aligncenter" width="320" caption="Selamat berbahagia"]
Menari tarian tradisional Jawa di kawinan teman Jerman. Barangkali inilah warisan bangsa Indonesia yang menjadi harta yang tak pernah lekang oleh perbedaan jarak dan waktu yang saya kantongi. Jadi bangga bahwa bangsa kita ternyata tak hanya terkenal soal korupsi dan sampah saja di negeri orang. Terima kasih sekali pada Tuhan yang memberikan ketertarikan pada dunia seni, orang tua yang berdarah seni serta sekolah negeri yang merawat muridnya (saya) untuk belajar tentang ini.
Anak Kompasianer memiliki ketertarikan pada dunia tari khususnya tradisional? Semoga dipupuk dan berlanjut, didukung baik dan lurus oleh lingkungan. Tidak akan ada yang tahu bahwa pada suatu hari ... nasib seorang anak Indonesia harus meninggalkan tanah air tercinta dan memiliki kesempatan lebih luas mengenalkan Indonesia pada dunia internasional lewat tarian yang dipelajari sedari kecil. Ayo, ndhuk ... mari menari bersama ibuk. Dapat uang tak dapat uang, terus maju!(G76)
Ps:Dirgahayu Republik Indonesia. Garuda di dada ...