Bule. Kata ini biasa dipakai sebagai sebutan orang asing yang ada di Indonesia. Saya harus hati-hati menulis kata ini karena di Jerman ini tulisannya agak sama, maknanya lain. Di Jerman, (der) Bulle artinya polisi. Bahasa slang.
Meski sudah berada di Jerman, saya tetap memanggil orang asing sebagai bule meskipun sebenarnya saya inilah justru yang bule (Ausländerin, orang asing di Jerman). Lidah saya sudah terbiasa mengucapkan untuk orang lain bukan untuk diri sendiri. Maaaap.
Gembira. Bule-bule Jerman bersama keluarga mereka berhasil saya ajak untuk merayakan hari kemerdekaan RI yang ke-69 (nomor cantik) yang segera menyumpah presiden RI ke-7 (nomor cantik lagi!).
[caption id="attachment_354990" align="aligncenter" width="420" caption="Merayakan HUT RI ke-69 di Jerman"][/caption]
Perayaan hari kemerdekaan RI di daerah kami dipusatkan di Frankfurt, 3 jam dari rumah. Kami sudah kelelahan menyetir mobil ribuan km dari berlibur. Apa daya? Kami merayakan tujuhbelasan di rumah pada hari Senin, 18 Agustus 2014 saja. Sengaja terlambat karena hari-hari sebelumnya kami semua, teman dan tetangga sedang dalam suasana liburan pergi ke luar negeri (di luar Jerman). Rencana awalnya, saya mengundang beberapa keluarga dengan anak-anak mereka untuk datang mengikuti lomba-lomba khas tujuhbelasan. Ternyata diiyakan ibu-ibu. Mbak Kris usul sekalian makan malam dengan grillen, bakar daging ayam sama sosis biar ramai. Ya, sudah, jadi. Saya sekalian bikin tumpengnya sebagai gong sahnya tujuhbelasan seperti di kampung dahulu. Saya minta mbak Ci untuk membawa buah dan lumpia, sedangkan mbak Di membawa apa yang ada di rumahnya, sebagai pencuci mulut.
Tepat pukul 17.00 seperti yang saya minta, mereka hadir di rumah kami. Hari memang mendung dan berangin. Jerman sedang salah musim di musim panas, seperti musim gugur. Dingiiiin. Biasanya orang bisa bermain layang-layang di musim gugur, pada musim panas sudah bisa! Masyaallah. Bumi sedang demo?
OK. Sebelum makan, acara lomba dulu biar anak-anak tidak rewel. Lomba tak hanya untuk anak-anak tapi juga orang dewasa. Lucu, seru, meski sederhana. Mulanya lomba untuk anak paling kecil; lomba mengambil bola di dalam keranjang. Saya ajarkan mereka tata cara lomba. Karena anak-anak itu masih umuran 2-4 tahun, gerak saya seperti pantomim. Setiap anak langsung dihadiahi permen loli oleh mbak Kris. Horeeee ...
[caption id="attachment_354979" align="aligncenter" width="368" caption="Lomba untuk anak balita"]
[caption id="attachment_354980" align="aligncenter" width="369" caption="Lomba mengambil bola dalam keranjang."]
[caption id="attachment_354982" align="aligncenter" width="369" caption="Lomba balap karung plastik"]
[caption id="attachment_354983" align="aligncenter" width="369" caption="Lomba memoles bibir dengan lipstik"]
Kemudian lomba disambung untuk anak yang lebih besar. Mereka ini umuran 5-8 tahun. Mengumpulkan bola dari keranjang ke dalam ember dan baju mereka. Begitu waktu habis, mereka berlarian, aaaaargh bola berjatuhan. Bola dihitung, yang terbanyak yang menang.
Bapak-bapak kebagian memasukkan pensil ke dalam botol. Saya pasang pensil yang ditalikan dengan benang wol di ikat pinggang bagian belakang. Botol bekas bir dan soda sudah siap untuk dicoba. Hoppalaaaa ... bisa! Suami saya menang. Waaaah pinter mencari lubangnya, pak! Sip.
[caption id="attachment_354984" align="aligncenter" width="351" caption="Lomba memasukkan bolpen dalam botol"]
[caption id="attachment_354985" align="aligncenter" width="346" caption="Lomba tendang bola "]
[caption id="attachment_354986" align="aligncenter" width="342" caption="Botolnya goyang terus"]
Bapak-bapak protes karena ibu-ibu tidak mau ikut lomba. Akhirnya, ya sudah, ibu-ibu ikut lomba balap (menggigit) sendok berisi bola karena mencari kelerengnya tidak ketemu. Siapa yang menelannya, ya? Heran, kalau tidak dicari nongol, kalau sedang butuh tidak adaaaaa. Huuuuh. Dan pemenangnya? Sayaaaaa, Gana ... hahaha ... orangnya galak sih, jadi kalau soal gigit-menggigit nomor satu. Horeeeee ... dapat permen!
Sebentar ... Bapak-bapak yang tiba-tiba menghilang di kebun belakang, kami kumpulkan lagi. “Ayo, pakkk ... lomba lagiiii ... “ Iya, tadinya mau lomba tendang bola pakai terong. Terongnya keburu sudah dimasak sehari sebelum lomba. Tinggal satu saja. Kurang dua. Saya menemukan ide, menggantinya dengan sebotol air ukuran 500 ml yang ditalikan dengan kain karena berat (bukan benang). Nah, lomba tendang bola tenis ini lucu karena botol goyang-goyang terus. Semua jadi tahu kalau salah satu peserta yang tingginya hampir 2 meter itu membutuhkan dua kain sementara yang lain hanya satu kain, untuk menalikan gandulan di ikat pinggang. Hahaha ... pemenangnya yang punya gandulan terpanjang, lho.
[caption id="attachment_354987" align="aligncenter" width="332" caption="Lomba gigit sendok"]
[caption id="attachment_354989" align="aligncenter" width="345" caption="Endingnya, makan tumpeng"]
Balap karung (plastik) adalah lomba terakhir. Tiga anak sudah siap. Harusnya empat anak, tapianak ragil saya mundur, takut jatuh dan bonyok. Akhirnya, pemenangnya adalah anak sayaaaa (yang nomor dua) ... kayak kelinci, lompatnya cepat sekali. Hadiahnya sekotak coklat, masing-masing dapat.
Tuh, seru ya? Setidaknya, acara sederhana ini bisa meramaikan suasana tujuhbelasan di kampung kami di Jerman, mereda rasa kangen menikmati pernak-pernik kemerdekaan RI dan mengenalkan tradisi bangsa kepada anak-anak dan para bule Jerman. Bagaimana dengan peringatan tujuhbelasan di kampung kompasianer? Pasti lebih seru, ya? Meski di Jerman perayaannya sepi, setidaknya kami sudah bersuka ria dalam beberapa jam saja. Kampung sedikit heboh. Gempa sesaat. Untung bukan hari Minggu, gaduh bisa dilaporkan polisi oleh tetangga karena dianggap terlalu berisik mengganggu kenyamanan.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H