Seorang tetangga baru saja mengecat rumahnya. Dari warna merah menyala dengan lis ungu, menjadi warna pelangi; hijau, kuning, oranye. Nano-nano.
[caption id="attachment_378427" align="aligncenter" width="640" caption="Rumah tetangga yang baru saja selesai dicat ulang dari merah."][/caption]
Jerman pasti berbeda dengan Indonesia misalnya. Warna rumah genjreng memang tidak mudah ditemui di sini. Yang ada paling banyak putih, salem, kadang abu-abu .... pokoknya warna kalem dan tenang begitu, deh. Begitu pula dengan warna baju atau mobil. Ada musimnya, ada mayoritasnya. Warna jreng biasa pada musim semi dan panas saja, dua musim lain akan bertolak belakang. Bayangin kan harus ganti empat musim dengan warna berbeda?
Saya mengerti ini karena budaya orang beda-beda, harus dihormati. Sebagai orang Indonesia saya suka warna. Sukaaaa sekali.Jadi saya tak ada masalah kalau rumah tetangga jadi nyulek mata atau warna rumah yang saya lewati bikin hati mak tratabbb, jlebbb!
Untuk mengetes apakah keturunan saya juga memiliki rasa yang sama dengan saya, saya tanya si ragil yang senang menggambar. Katanya, warna rumah tetangga itu bagus, sayangnya salah musim. Ini bagus untuk sajian mata pas summer, kalau winter begini kacau. Hedeh, bocah yang baru saja masuk ke usia 6 tahun itu membuat saya geleng-geleng kepala. Ia memang tidak biasa melihat warna rumah atau baju yang menyala seperti di tanah air.
Walahhh ... berarti si anak memang sudah beradaptasi, seperti orang Jerman (katanya buah tak jauh jatuhnya dari pohon, kok dia beda ya? Haha ... bukan anak tetangga lho yaaa).
Yup, tetangga kiri-kanan tetangga dengan rumah bercat pelangi tadi tak langsung mengerti ide warna itu. Ada khasak-khusuk terdengar; yang terlalu mencolok lah, yang tak pantas lah, yang kampungan lah, yang tak sopan lah .... Rumah juga rumahnya sendiri yak? Tapi mata tetap milik orang lain yang memandang, haha. Dahulu pemilik rumah itusudah digunjing tetangga pakai warna merah, sekarang ndableg pakai warna yang bahkan lebih berani.Piye iki? Saya yakin, warna yang dulu lolos dari Buß Geld alias denda, makanya tahun ini ... lagi, deh.
Oh, soal anak saya tadi, berarti dia asli turunannya bapaknya, yang kalau saya pakai baju oranye banget atau meraaaaahsekali suami bilang ke saya:
“Bukkk ... karnaval sudah lewatttt.“ Ihh jahat ya? Atau ...
“Mau pentas ke mana, Buk?“ Yaaaah nakal banget sih, pak. Nyanjung dikit napa ....
OK ... Selain tetangga tadi, sudah ada tetangga lain yang mengecat rumahnya warna oranye, hijau dan ada lagi yang kuning.Jadi ingat “Balonku ada lima.“ Rupa-rupa warnanya, tapi hati saya sangat tidak kacau. Terserah sajalah, saya penikmat saja. Kalau pemdanya tak rewel, biarkanlah. Gizi mata dengan aneka warna. Apalagi mata saya minus. Xixi.
[caption id="attachment_378428" align="aligncenter" width="512" caption="Rumah toschka, di perbatasan kampung kami."]
[caption id="attachment_378429" align="aligncenter" width="487" caption="Rumah kuning di gang bawah"]
[caption id="attachment_378430" align="aligncenter" width="461" caption="Rumah oranye di gang rumah kami."]
***
Itu tadidi daerah Baden-Württemberg, Jerman. Sekarang saya ajak Kompasianer membayangkan Dresden. Kalau tidak salah ingat, ada kompasianer yang tinggal di sana, siapa lagi kalau bukan mbak Key, kampretos yang baru saja mendapatkan penghargaan sebagai juara satu fotografi di kampusnya dan mendapat angpao yang lumayan dari pak rektor? Selamat ya, mbaaaaak.
Nah, di Dresden ini lebih serem lagi. Kalau di daerah saya hanya hukuman mental atau moral digosipin tetangga ... di Dresden ini ada aturan pemdanya, “Barang siapa yang mengecat rumah dengan warna terlalu menyolok, akan didenda 5000€ atau segera mengganti warna dengan warna normal seperti kebanyakan masyarakat dalam kurun waktu tertentu.“
Wehh 5000€ itu Rp 75.000.000 kan? Banyak ya, bukan daun tuh? Bayangkan kalau ini terjadi pada seorang pensiunan? Ya, seorang pensiunan di Dresden (negara bagian Sachsen) yang memulas rumahnya dengan warna biru-ru menyala, tampak sedang mengganti warna saat didatangi reporter Magazine dari sebuah channel TV Jerman.
Atau tetangga lain yang tak jauh darinya, seorang ibu yang memiliki rumah berwarna klenthing kuning. Kuniiiiing sekali. Mereka pasrah dan berjanji mengganti warnanya ketimbang bayar uang banyak. Eman-eman.
Ternyata oh ternyata, dari reportase acara Magazine terlihat; masih banyak rumah-rumah lain yang berwarna jreng dan memiliki nasib yang sama.
Anehnya, sebuah Grundschule atau sekolah dasar, memiliki warna jreng juga; oranye dan kuning. Boleeeeh. Alasannya? Pihak sekolah mendapat Genehmigung, surat ijin istimewa yang diturunkan oleh pemda sebelum pengecatan. Begitu pula sebuah rumah apartemen dengan warna benar-benar seperti pelangi.
Reporter tadi malam pun menanyakan pada para tetangga dari anak muda sampai orang tua. Sebagian besar menyatakan tak jadi masalah kalau pemilik rumah mewarnai rumahnya dengan warna mencolok. Bahkan ditambahkan ini bagus lantaran membuat hati berseri-seri dan tak selalu dingin dan mendung mukanya, seperti musim yang ada. Sama kan dengan saya? Belakangan, si reporter mendatangi pemda dan menanyakan peraturan denda bagi rumah yang dicat warna jreng. Si bapak kepala daerah yang ditemui mengatakan peraturan tetap peraturan, namun, ia akan ikut memikirkan opini dari masyarakat dan reporter Magazine bahwa ini harus diubah dengan tidak membebankan denda 5000€ atau kira-kira Rp 75.000.000,00 lagi. Surat peringatan formal dan tegas, dikirim lewat pos dengan surat resmi dari pemda.
Baiklah. Bagaimana pendapat kompasianer? Kalau saya, tetap orapopo dengan rumah jreng. Apa warna rumah Anda? Masih berani atau PD coba-coba warnai rumah jreng di Jerman? Silakan jadi bahan gosip tetangga atau ... Wani piro? Selamat siang. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H