“Ya, ampun, Buuuuk, gunungmu. Kok, kayak di film Simpson, jangan-jangan nanti kamu seperti Marge, sampai ketiduran setelah menyetrika.“ Suami saya memandangi Arbeit Zimmer, tempat cuci, kering dan setrika (termasuk menulis malah).
“Iya, Pak, nanti kalau anak-anak sudah libur, tak kebut.“ Saya janji akan menuntaskannya. Dan benar, sejakhari Minggu malam, saya sudah menyelesaikan paling tidak 7 buah keranjang sampai Senin malam, kemarin. Sembari menemani anak-anak menonton TV.
“Kalau begitu, anak-anak tidak usah pakai baju saja, Buk, kan sekarang Jerman tidak sedingin dulu. Tak ada white Christmas, malah matahari yang nongol. Atau pakai baju tanpa setrikaan“ Idih, papa! Ya, hari ini, hangaaaaat. Matahari tampak ceria memandangi anak-anak yang mengapuri aspal jalanan dengan warna-warni kapur tulis.
“Tidak boleh, pak. Nanti sakit. Kalau anak sakit, ibunya sakit. Nggak mau.“ Saya geleng kepala dan menaikkan nada untuk meminta anak-anak yang ada di pekarangan, memakai jaket, meski yang lebih tipis.
Yup. Senang sekali bahwa saya berhasil menyelesaikan tumpukan cucian yang sempat tertunda dan tertunda terus. Biasanya, setrika sejam sehari, cepat selesai. Kalau tidak dikerjakan, ya gitu. Penundaan, karena saya sejak dua minggu lalu sedang ngebut mengubah suara jadi tulisan naskah buku biografi seorang atlet dunia yang tinggal sekampung. Berharap segera kelar. Pffff. Hobi vs rutinitas.
[caption id="attachment_385385" align="aligncenter" width="512" caption="Sambil temani anak nonton TV, setrika 5 keranjang kelar"][/caption]
Mengapa saya ngebut setrika? Bisa kan dicicil sehari sejam? Alasannya, dulu ada pesan dari mertua yang saya ingat selalu; “Keine Wäsche aufhängen!“ Alias, “Jangan mencuci, menjemur atau mengeringkan pakaian pada malam tahun baru.“ Sebelum atau sesudahnya tidak mengapa. Dalam artian, pekerjaan cucian harus sudah selesai sebelum malam tahun baru. Kalau diterjang, kena bad luck di tahun baru, lho ...Dikutuk cuciannya gak bakal putus sampai tahun berikutnya. Waduuuh, ngeri yoooo. Jangan-jangan saya mandi cucian, tak bisa ketemu.
Makna yang tersirat lainnya adalah, dilarang untuk bekerja. Malam tahun baru adalah saat yang tidak boleh dilewatkan untuk dinikmati bersama keluarga atau orang tercinta untuk introspeksi diri dan memikirkan rencana baru di tahun berikutnya. Tentu saja ini lebih mudah dikerjakan daripada soal cucian tadi, karena bisa malasan dan happy-happy kan? Siapa coba yang tidak mau istirahat?
Begitulah. Saya kira hanya orang Jawa khususnya atau orang Indonesia pada umumnya yang percaya mitos. Salah. Ternyata, Jerman kaya akan mitos yang masih hidup hingga kini di dalam masyarakat. Salah satunya tentang kepercayaan untuk tidak mencuci, mengeringkan atau menjemur pakaian pada malam tahun baru alias Silvester.
Jadi, tak heran kalau saya senang ping satus melihat cucian saya sudah rapi hari ini (sembari mata melirik tempat cucian, oiii ... masih ada yang harus dikerjakan nanti malam pukul 22.00 (karena listrik lebih murah) oleh mesin cuci dan mesin pengering ... lalu menyetrika lagi barang 1-2 keranjang). Kok, banyak ya? Padahal kami hanya berlima, dua hari sekali pakaian baru dicuci, kecuali jeans yang masih bersih bisa dipakai seminggu). Apakah ini penampakan?
Tukang setrika Jerman ada yang pasang tarif 10€ sejam atau satu hem sekian euro, tapi saya memilih mengerjakan sendiri, duitnya enak ditabung untuk liburan. Cihui.
***
OK. Bagaimana dengan cucian Kompasianer? Entah biasa dikerjakan pembantu atau sendiri, tetap harus diselesaikan, ya? Malam tahun baru segera hadir. Sambut tahun baru dengan keranjang kosong tanpa cucian. Semoga tidak menumpuk seperti di tempat saya pada minggu lalu. Hadohhh, tobat-tobaaaat. Selamat sore. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H