Dari Pesta Indonesia “Indonesien Paradise der 1.000 Inseln II“ yang diadakan tanggal 9 Januari 2016 yang lalu di Resto Sternen, Seitingen, Landkreis Tuttlingen, negara bagian Württemberg, Jerman, saya jadi semakin tahu apa saja makanan besar dan kecil dari Indonesia, favorit penduduk. Penduduk di sini berarti tidak hanya penduduk lokal lho ya. Jerman kan multikulti sejak dulu kala. Bahkan semakin berwarna dengan kedatangan para pengungsi akhir-akhir ini. Ya, tamu yang mencicipi itu asli dari Jerman, Amerika, Polandia, Rusia, Swiss, Turki, Vietnam, Thailand dan tentu Indonesia sendiri. Mereka berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, mulai umur 3 bulan sampai 81 tahun. Dari 100 undangan yang hadir sekitar 90 orang saja.
Tadinya mau pesan di resto Asia dekat rumah tapi rasanya kok, nggak pas, milih masak sendiri. Makanan dimasak bareng-bareng tapi dilakukan di rumah masing-masing, bukan makanan restoran. Makanan rumahan yang resepnya tentu berdasarkan pengalaman dalam hidup keluarganya.
1. Tempe kemul aka mendoan
Mengapa dipilih menu tempe? Karena meski banyak direndahkan orang seperti julukan “mental tempe“ rupanya makanan berprotein nabati ini memang lezat dan bisa naik kelas. Ditambah, tempe saya pikir dari Indonesia tetapi justru Belanda punya pabrik raksasa untuk memperjualbelikan tempeh aka tempe, nih. Saya yakin ada negara lain yang melakukan hal serupa. Jepang misalnya? Arghhh, apa patennya punya Indonesia apa negara tetangga itu? Hallo Indonesia, bagaimana ini?
Ya, sudahlah. Dua minggu sebelum hari H, kami sudah memesan 10 blok tempe dari on line shopping. Pikir saya, akan dibuat kering tempe, sebagian lagi untuk mendoan. Setelah saya pikir waktunya kok kurang untuk memasak semua masakan, saya hubungi Dr. Helena Pfau. Teman baru saya yang juga baru pindah deket rumah. Tempo hari waktu bertandang, saya ditawari tempe kemul dari Wonosobo yang kalau di Semarang, saya kenal namanya Mendoan. Haha. Serupa tapi tak sama ya. Tempe kemul sudah saya kenal sejak tahun 1999 waktu ikut international workcamp di Dieng bareng teman-teman asing seperti si kolor ijo dari Slovenia dan si sleeping bag goyang dari Yunani, hahaha kenangan indah menanam 3000 pohon di Telagawarna.
2. Martabak
“Bikin martabak ya, buk?“ Pinta suami saya. Dia dan teman-temannya memang menggilai martabak buatan saya.
“Ihhh... kalau sempat ya, pak?“ Jam berjalan cepat sekali. Seperti mengejar setoran. Takuuuttt.
Sebenarnya martabak buatan saya agak berbeda dengan martabak telur di Semarang yang biasa dijual gerobakan. Martabak ala saya menggunakan kulit lumpia yang sudah jadi. Isinya 40 lembar, harganya 3,99€. Tapi karena biar cepat, saya menggunakan yang mini, adonan bikin sedikit saja.