[caption caption="gambar : http://pepnews.id/wp-content/uploads/2016/09/Ahok-Anies.jpg"][/caption]
Membandingkan Ahok dengan Anies tak akan habis-habisnya. Anies diposisi orang terpelajar dan santun, sedangkan Ahok diposisikan orang yang kasar dan tak tahu sopan santun. Masih banyak lagi bila diruntut sepak terjang kedua Cagub DKI itu. Sederet keburukan Ahok bisa dipajang, dan sederet kebaikan Ahok bisa dipamerkan. Demikian juga Anies, sederet kebaikan dan keburukannya bisa disantap publik.
Persoalannya sekarang, saat keduanya sudah masuk final pilkada DKI ; 'head-to-head' untuk Mendapatkan kursi DKI 1, siapa yang lebih baik?
Sering diberitakan bahwa masyarakat DKI dianggap lebih rasional dalam politik. Mereka tak mudah terpengaruh pada isu-isu sektarian. Urusan keyakinan dipisahkan dari pemerintahan. Pada putaran pertama sudah dibuktikan oleh warga pemilih Jakarta.
Sebelum pemilihan Ahok didemo jutaan orang terkait politisasi pilkada dengan isu penistaan agama. Pendemonya kebanyakan justru orang luar Jakarta. Lalu, apakah Ahok gagal di Pilkada DKI? Terbukti suaranya terbanyak dan bisa masuk ke putaran kedua.
Kalau dipikir, dengan gelombang demo yang sebegitu besar dan tidak hanya sekali terjadi, harusnya Ahok tumbang di putaran pertama oleh isu dan labeling penista agama. Nyataya tidak. Sebanyak 43 persen warga DKI masih berpikir jernih untuk tidak mudah dibodohi pakai isu agama. Ahok telah bekerja banyak untuk DKI. Dia tidak tawarkan pemilihnya masuk surga, melainkan hidup tertib untuk bisa bekerja dan meraih kehidupan sejahtera.
Memasuki putaran kedua, isu 'agama dan surga' kembali didengungkan pihak Anies. Dia yang dulunya 'nasionalis' kini lebih banyak sowan di kelompok "penyedia tiket ke surga". Lucunya, sambil 'ngendon' di sana, Anies berkoar bahwa Ahok telah mengkotak-kotakkan kehidupan warga Jakarta. Koar seperti ini bukan hanya aneh, tapi juga munafik dan memalukan untuk seorang Anies yang konon berpikiran luas.
Ketika 'kampanye' kelompok Anies di sejumlah masjid yang melarang men-sholat kan pemilih pemimpin kafir-yang notabene ditujukan ke pemilih Ahok-justru Anies diam-diam menikmatinya. Sampailah karena kejadian nyata terjadi yang bikin dia malu hati, barulah dia "bermaklumat" kepada kelompok pendukungnya.
Peristiwa spanduk pelarangan dan 'orang mati' yang tak diperlakukan sebagaimana mestinya oleh sebagian warga DKI telah mencoreng rasionalitas warga DKI dalam berpolitik. Pencorengnya adalah kelompok Anies. Ini lebih memalukan dan parah dari demo jutaan orang karena menyangkut 'ritual kematian' sebuah hal yang suci.
Banyak pemimpin dicap buruk di negeri ini. Salah satunya mungkin Ahok oleh sebagian orang yang membencinya. Para politikus dan pemimpin itu sering berkata kasar, tidak santun, melakukan korupsi, main perempuan, dan lain sebagainya. Namun sifatnya masih di "kenakalan" duniawi. Tapi calon pemimpin seperti Anies telah melakukan "beyond politicking" yang salah kaprah. Kalau politikus nakal duniawi tadi bisa dikenakan hukum positif, lalu nakalnya Anies bagaimana?
Hukum positif sulit menangkapnya karena berlindung dibalik 'tuhan'. Manusia (warga) takut Tuhan, dan dengan Beyond Piliticking-nya, anis menjadikan tuhan sumber ketakutan, termasuk meniadakan hukum positif. Sementara yang dia ingin rebut dari cara berpolitiknya ada hal duniawi. Cara seperti ini sangat buruk.