Namun kita tahu apa yang terjadi. Agus mendapatkan 17% suara, dan saat itulah saya berpendapat bahwa Ahok, apabila kondisinya tidak berubah, sebenarnya sudah tamat.
Namun Ahok, bahkan dengan kondisi elektabilitas yang terkikis tajam dengan kehadiran Agus, masih bisa menang, apabila strategi yang dijalankan tepat. Strategi seorang kandidat dalam sebuah pemilu, menurut pendapat saya haruslah dibuat dan dirancang mengikuti karakter kandidat, dan bukan sebaliknya. Begitulah caranya Donald Trump, seseorang yang telah diolok-olok selama bertahun-tahun, bisa berhasil mengalahkan seorang operator politik senior dengan jaringan dan mesin yang menggurita seperti Hillary Clinton. Bahkan saat semua orang disekeliling Trump menyatakan dirinya menginjak kakinya sendiri dengan kalimat-kalimat yang tidak populer, rasis dan sebagainya, ia bisa menang, karena Trump, ingat siapa Trump sebenarnya. Tidak ada dusta diantara dirinya dan calon pemilihnya. Anda memilih Trump karena anda tahu apa yang anda pilih.
Tidak begitu dengan Ahok di Pilkada kali ini. Derasnya aliran kebencian dan arus masa yang ikut dalam demonstrasi-demonstrasi anti Ahok, sepertinya telah berhasil menanamkan rasa takut di elite-elite politik pendukung Ahok. Mereka telah terbawa dalam permainan strategi oposisi Ahok, yang misinya adalah menjadikan isu Ahok lebih dari isu DKI, tapi isu Nasional. Tiba-tiba, membela Ahok dan membebaskannya bicara dengan gayanya yang sebenarnya, ceplas-ceplos, berani dan lugas, sama saja dengan mengancam kesatuan NKRI. Ahok harus diatur, harus dibungkam.
Tiba-tiba, muncul seorang kandidat, terutama pada putaran satu ke putaran kedua kemarin, yang seakan masuk ke tubuh Ahok, namun ia jelas bukanlah Ahok. Ahok 2.0, saya menyebutnya. Kalau Ahok 1.0 berani menyatakan seseorang sebagai maling, Ahok 2.0 akan senyum dan bercanda, dan tidak lagi menunjuk langsung muka orang yang menurutnya bertanggung jawab. Kekalahan Ahok adalah nyata apabila calon pemilih mulai lupa bahwa ketegasan dan keberanian adalah karakteristik yang unik bagi Ahok, ditengah kepalsuan dan kebohongan politik di negeri ini. Itulah yang kita saksikan dengan perubahan karakter bicara Anies yang tadinya lemah lembut menjadi tegas dan berani. Tim Anies melihat penurunan agresifitas ahok dalam berbicara dan menilainya sebagai titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Anies. Perlahan, tingkat popularitas Ahok yang begitu tinggi, yang lalu terkikis oleh kehadiran Agus, kini semakin menukik tajam karena ketidakjelasan dari brand Ahok sendiri.
Mari kita buat lebih simpel. Bayangkan anda membeli sebotol kecap. Anda membeli kecap ini karena tiga alasan: pertama, kecap ini kecap nomor satu, menurut label di botolnya. Kedua, kecap ini yang paling manis, ketiga, kecap ini yang paling murah. Di pasaran, kecap ini punya market share nomor 1.
Lalu muncul kompetisi baru. Bayangkan anda tetap ingin mengkonsumsi kecap yang sebelumnya anda sukai. Tapi perlahan kecap ini, tanpa dorongan dari siapapun, mengubah dirinya sendiri. Tiba-tiba, dilabelnya tidak ada lagi label bahwa ia kecap nomor satu, karena ia takut dituntut ke pengadilan. Rasa manisnya berkurang, dan ketiga, kecap yang baru muncul ternyata lebih murah.
Apakah anda tetap memilih kecap yang anda sukai sebelumnya?
Saat seorang kandidat lupa mengapa pemilih mencintai dan memilihnya, saat itu juga ia berubah dari seorang kandidat menjadi semata politisi. Seorang yang reaktif, yang membiarkan strategi lawan mengatur tempo strateginya sendiri, dan membiarkan bola selamanya berada dikaki lawannya.
Namun kekalahan Ahok bukan hanya salah dirinya sendiri.
Secara tidak langsung, kubu oposisi Ahok dengan membawa isu penistaan agama yang sebenarnya tidak relevan dengan performanya sebagai gubernur, telah berhasil mencapai satu titik kritikal yang sangat fatal bagi semua kampanye politik: mereka berhasil menyandera bukan saja tim kampanye Ahok, tapi juga Jokowi, dan pemerintah pusat. Perhatikan kalimat-kalimat yang disuarakan oleh elite-elite pendukung Anies. Bahwa Ahok adalah ancaman bagi kesatuan NKRI. Kalimat yang terus disuarakan ke media ini ternyata tertanam ke tim Ahok sendiri, karena bahkan ketua umum PDIP Megawati pun mengatakan bahwa Ahok sebaiknya jangan banyak bicara. Bicara, dan mulut Ahok, bukan hanya tindakannya, justru adalah salah satu nilai jual utama Ahok sebagai seorang politisi. Itulah aset utama dari brand politik Basuki Tjahja Purnama.
Kealpaan salah satu nilai jual yang harusnya didorong ke permukaan oleh tim kampanye Ahok adalah kesalahan yang didorong oleh ketakutan psikologis orang-orang disekeliling Ahok akan arus balik oposisi terhadap dirinya. Sementara kandidat yang mereka tengah kampanyekan justru adalah seorang yang berani; seorang fighter. Tidak masuk akal. Dan hasilnya bisa disaksikan sendiri.