[caption id="attachment_325724" align="aligncenter" width="563" caption="(gambar: poskantor.com)"][/caption]
DPR akhirnya mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD.
Apa mau dikata, Demokrasi di negeri ini serapuh kayu lapuk. Sejak Jokowi menang kira-kira sebulan yang lalu, arus politik diluar partai pendukung pemenang pilpres sepertinya dipenuhi kepanikan untuk menciptakan perubahan secepat mungkin dan sedrastik mungkin, dengan tujuan untuk menjegal dan menghalangi bukan saja akses jokowi terhadap kekuasaan tapi juga supaya tidak muncul lagi Jokowi-Jokowi lain dimasa depan.
Namun satu hal yang perlu diingat dan disadari dalam demokrasi adalah kenyataan bahwa tidak ada yang permanen.
Suara rakyat bisa ditekan tapi tidak akan bisa dibendung selamanya. SBY masih bisa menolak menandatangani UU yang disahkan oleh DPR. Rakyat masih bisa menuntut melalui Mahkamah Konstitusi. Kalaupun kedua langkah diatas tidak terjadi ataupun gagal, maka masih banyak cara-cara lain.
Namun kenyataan diatas tetap tidak mengurangkan rasa perih dan pedih bagi saya, yang hanya berusia 8 tahun saat reformasi bergulir namun telah merasakan nikmatnya pemilihan secara langsung dan munculnya pemimpin-pemimpin yang orientasinya lebih pada kepentingan rakyat daripada partai pengusungnya. Mereka ini orang-orang tanpa koneksi dan bukan penjilat fungsionaris partai, yang sedihnya baru mulai muncul beberapa tahun belakangan setelah rakyat mulai memahami kekuatan yang mereka miliki dan figur pemimpin yang mereka cari. Mereka-mereka ini, boleh jadi akan langsung punah apabila UU Pilkada yang disahkan malam ini berjalan tanpa halangan dalam beberapa tahun kedepan.
Dengan begitu saja, suara kita dirampas. Kenyataannya mereka yang dulu bersujud syukur akan matinya Orde Baru justru menjadi bagian dari orang-orang yang malam ini bersyukur karena telah merampas suara rakyat.
Mungkin karena uang, mungkin karena mentalitas ternak yang hanya ingin makan rumput dan digembala sampai akhirnya disembelih, mungkin juga karena angan-angan kekuasaan.
Tapi untuk saya, mereka yang malam ini memilih mengembalikan Pilkada lewat DPRD melakukannya karena mereka takut pada suara Rakyat. Kemenangan Jokowi menggetarkan mereka yang sudah nyaman duduk di kursi senayan. Hanya dengan menjalani proses “kaderisasi” partai, lip service sana-sini dan menemui konstituen beberapa bulan sekali, mereka pikir mereka sudah bisa jadi pemimpin. Ya, pemimpin Partai dulu, setelah itu, mungkin jadi Presiden. Sebuah keniscayaan yang bukan lagi suatu kepastian setelah Jokowi, Risma, Ahok, yang masing-masing relatif bukan siapa-siapa, telah menjadi lebih populer dan berkuasa dimata rakyat daripada mereka.
Setelah malam ini, maka keniscayaan itu kembali menjadi absolut. Seorang ketua umum Partai kini hampir pasti jadi gubernur, seorang fungsionaris partai yang tak pernah bekerja untuk rakyat kini bisa dengan mudah menjadi Walikota. Namun satu hal yang luput dari pertimbangan mereka adalah ini kemenangan yang too little, too late sifatnya. Atau setidaknya, itu yang saya percayai. Rakyat sudah cukup sadar akan hak mereka, dan pemimpin-pemimpin yang lahir dari aspirasi rakyat kini telah cukup banyak. Secara tidak sadar mereka yang malam ini mendukung kembalinya pilkada lewat DPRD telah memperlihatkan lapuknya demokrasi kita, dan merekalah penyebabnya. Perlahan tapi pasti, seperti kayu yang dihempas ombak suara rakyat, mereka akan mati. Tersingkir, jadi debu. Atau setidaknya itu harapan saya, seorang rakyat yang merasa begitu tertusuk menyaksikan demokrasi mati di malam jumat, dibunuh oleh anaknya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H