Di tahun 1943 saat pulang libur Panjang dari kampung saya untuk kembali ke tempat saya mengajar di sebuah kota kecil, kira-kira 40 km dari kampung saya. Usia saya saat itu 22 tahun. Sejak usia 10 tahun, sekitar Juni 1931, saya dan kakak perempuan saya yang lebih tua 3 tahun dari saya, dikirim oleh orang tua kami ke sekolah perempuan, setingkat dengan SD-SMP saat ini. Sekolah kami berbasis asrama yang dikelola oleh Suster Belanda. Setelah 4 tahun bersekolah, saya dipilih untuk meneruskan sekolah guru selama 3 tahun. Di usia 17 tahun saya sudah menjadi guru dan  saya adalah guru perempuan pertama yang berasal dari di wilayah kami, sekarang disebut sebagai Kabupaten.
 Saat pulang liburan panjang tahun 1943 itu, sekitar Bulan Juli, pagi-pagi setelah matahari terbit, saya diantar oleh pengantar keluarga kami dengan menggunakan kuda. Biasanya, perjalan dari kampung ke kota sekitar 6 -8 jam, karena kuda ditarik oleh pengantar dan yang diantar duduk pada punggung kuda.
Di tengah perjalanan kami, tiba-tiba sebuah truk berhenti di samping kami. Ada 2 orang tentara Jepang (laki-laki) di dalam truk itu. Mereka meminta kami berhenti, lalu salah seorang diantara mereka bicara dalam Bahasa Melayu  yang patah-patah, ia bertanya, kami mau ke mana, lalu saya menjawab bahwa kami mau ke kota M, lalu si tentara Jepang itu membalas bahwa mereka juga mau ke kota itu, sebaiknya ikut saja dengan truk mereka.
Awalnya Saya tidak mau, tetapi karena mereka terus memaksa, dan sedikit mengancam pengantar saya, akhirnya saya bersedia untuk ikut. Sebelum naik ke truk, saya pesan kepada pengantar saya (dalam bahasa daerah kami) untuk ikuti terus truk sampai ke kota tujuan saya, jangan tinggalkan saya sendiri.
Jika sampai di kota tersebut, segera ke asrama mencari saya, dan jika saya belum tiba, lapor kepada suster kepala asrama dan suster kepala sekolah. Lalu saya sampaikan kepada dua tentara itu, bahwa pengantar saya akan membawa barang bawaan saya ke kota tujuan saya, jadi dia akan menunggang kuda mengikuti truk dan mereka setuju. Saat naik ke bak truk, meski saya cemas, tetapi saya tetap berprasangka baik, karena dari pengalaman di kota tempat saya mengajar, saya mengenal baik Sonco dan ia berperilaku sangat baik  kepada kami.Â
Truk kami terus berjalan, dan pengantar berkuda sudah tidak kelihatan lagi. Kira-kira satu jam lebih perjalanan, kami mampir pada sebuah pasanggarahan untuk minum kelapa muda. Kedua tentara itu menawari saya kelapa muda, tapi tidak berbicara hal lain, sepatah katapun, mereka hanya sesekali memandang saya.
Lalu perjalanan kami dilanjutkan lagi, sampai kira-kira kurang dari 15 km dari kota tujuan kami, truk tersebut tiba-tiba berbelok arah, ke kota lain, ke arah sebuah kota pelabuhan. Saya mulai ketakutan, menangis dan berdoa sepanjang jalan, sambil terus memandang ke kiri dan kanan jalan, kalau-kalau ada orang yang bisa saya berteriak untuk meminta tolong. Dalam hati, saya berencana, jika tidak ada yang dapat menolong saya, maka jurus terakhir saya adalah mengatakan pada mereka bahwa saya adalah Nona Sensei (guru), karena saya tahu bahwa Orang Jepang sangat menghormati guru.
Melintaslah kami di satu desa kecil, saya melihat ada seorang bapak duduk sendirian di depan rumah. Tanpa berpikir panjang, saya langsung berteriak minta tolong sambil melambaikan tangan. Dan saya lihat bapak itu berdiri dan mengambil kudanya dan mengikuti truk kami. Hati saya sedikit tenang karena tahu bahwa akan ada pertolongan, meski bapak yang naik kuda tersebut tidak kelihatan lagi, karena truk yang saya tumpangi berlari kencang.
Kemudian tibalah truk kami di sebuah jembatan penghubung antar kota. Jembatan pada  umumnya di pulau kami waktu itu, tidak dapat dilewati oleh kendaraan besar dan berat jika tanpa menggunakan papan, sehingga setiap truk/kendaraan jaman itu selalu membawa papan sebagai alas pada dasar jembatan yang akan dilewati, sebagai penyanggah beban berat.
Truk kami berhenti, lalu 2 tentara tersebut meminta saya turun untuk membantu mereka memasang  papan pada jembatan. Saya turun, lalu menarik papan dari bak truk, tapi saya tidak cukup kuat dan jari saya terluka. Mereka berdua memandang saya dengan pandangan heran, lalu salah seorang bertanya, pekerjaanmu apa, saya lalu menjawab bahwa saya adalah Nona Sensei. Raut wajah mereka seketika berubah, terlihat sangat terkejut  dan gugup. Dalam hati, saya tahu bahwa saya akan selamat.
Saat papan sudah terpasang, mereka tidak meminta saya naik ke truk, tanpa berkata- kata, bahkan tidak sedikitpun menoleh kepada saya, mereka langsung menghidupkan truk dan jalan melewati jembatan tersebut tanpa menarik kembali papan tersebut. Dan saya ditinggal begitu saja, berdiri sendiri, tertegun, lemas dengan semua rasa bercampur aduk di tepian jembatan yang sangat sepi itu dan tidak tahu harus ke mana.