Mohon tunggu...
Fajar Setiawan Roekminto
Fajar Setiawan Roekminto Mohon Tunggu... profesional -

Konsultan "Republik Tikus"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebenaran Ala Mbak Jum (Sebuah Dialog bagi Pemimpin)

8 Februari 2014   09:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:02 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh sangat baik bila seseorang sungguh-sungguh benar 55 persen, dan tak perlu hal itu dipertengkarkan. Dan jika 60 persen benar, itu luar biasa dan merupakan kebahagiaan besar. Maka biarlah dia bersyukur kepada Tuhan. Tetapi apakah yang harus dikatakan tentang 75 persen benar? Seorang arif akan mengatakan, ini mencurigakan. Lalu, bagaimanakah pula dengan 100 persen, dia seorang fanatik, seorang penjahat dan sebangsa bajingan yang paling busuk. (Ucapan seorang Yahudi tua Galisia. Dikutip dari buku Yang Terpasung (Judul Asli: The Captive Mind), karya Czeslaw Milosz, hal.x. Yayasan Obor Indonesia 1986).

Suatu hari saya kedatangan sahabat lama bernama Mastiskustus, seekor tikus yang selama ini belajar di republik manusia. Dia datang dengan membawa sebuah buku berjudul Yang Terpasung. Saya sendiri sebenarnya sudah memiliki dan membaca buku itu, namun demi menghormati seorang sahabat saya menerima buku tersebut dan pura-pura membacanya. “Jangan pura-pura membaca, aku tahu kamu sudah lama membaca buku itu. Aku datang kesini ingin meminta pendapatmu mengenai buku itu dan relevansinya dengan kondisi republik manusia,” kata Mastiskustus sedikit membentak. “Ya,ya. Maaf, saya pikir kamu belum tahu aku sudah membaca buku ini,” saya menjawab sambil tergagap. Saya kemudian membuat kopi serta menghidangkan pisang goreng pemberian tetangga sebelah, seorang perawan tua yang lumayan montok dan cantik tapi judesnya setengah mati. Anehnya dia selalu ramah pada saya dan pisang goreng inilah buktinya, hingga saya tidak perlu repot membelikan makanan untuk sahabat tikus saya yang doyan makan ini. Sambil menyeruput kopi, ditengah hujan rintik-rintik, saya mulai bercerita mengenai buku itu.

Yang Terpasung, judul buku itu, merupakan sebuah buku yang bercerita mengenai nyeri dan kepedihan mendalam para intelektual dan seniman ketika berada pada proses penyesuaian terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur. Buku itu berisi penceritaan nilai-nilai yang ditulis oleh empat penulis imajiner yang dipaksa untuk merasionalkan Stalinisme. Buku itu seharusnya menjadi sebuah bacaan wajib bagi mereka yang ingin memahami secara lebih mendalam cara berpikir para intelektual dan seniman, khususnya ketika harus menerima tekanan yang sangat berat dari penguasa serta keharusan meninggalkan idealisme dan hati nurani. Buku itu saya beli tanggal 13 Juni 1989, seharga tiga ribu rupiah dalam sebuah pameran buku di kampus. Waktu itu internet belum menjamur seperti sekarang ini sehingga saya mengalami kesulitan ketika harus mencari biografi penulisnya, Czeslaw Milosz. Dengan status sebagai mahasiswa Made In Panama alias Mahasiswa Dengan Insentif Pas-pasan dan Amat Merana, saya hanya dapat mengandalkan buku-buku di perpustakaan untuk mencari informasi mengenai Czeslaw Milosz,” kata saya membuka pembicaraan.

Saya berhenti sebentar untuk kemudian melanjutkan, “Selama beberapa hari akhirnya sosok Czeslaw Milosz ketemu juga.Czeslaw Miłosz ternyata seorang penyair, eseis, novelis dan penerjemah dari Polandia yang lahir pada tahun 1911. Karya-karyanya banyak mengurai kondisi dan situasi sejarah yang mempengaruhi moral manusia. Meski ia telah memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat lewat proses naturalisasi pada tahun 1970, sebagian besar karyanya masih ditulis dalam bahasa Polandia. Yang Terpasung sendiri berjudul asli Zniewolony Umysł dan ditulis pada tahun 1953.”

”Apa yang terjadi setelah kamu membaca buku itu?, tanya Mastiskustus sambil mengunyah pisang goreng keduanya. Sambil menarik nafas yang dalam saya berkata, “Beberapa saat setelah membaca buku Yang Terpasung, pikiran saya selalu terbelenggu oleh pertanyaan mengapa Milosz mengutip ucapan seorang Yahudi tua dari Galisia dalam bukunya. Sampai lulus kuliah saya tetap tidak dapat menemukan jawabannya. Menjadi menarik ketika jawaban itu ternyata muncul perlahan lahan ketika menjadi bagian dari dunia nyata seiring dengan perjalanan kehidupan menjadi laki-laki dewasa. Saya tidak akan menceritakan mengenai Czeslaw Miłosz dan kehidupannya, apalagi menulis referensi mengenai karya-karyanya karena saya sering minder untuk menulis sesuatu yang berat dan ilmiah dalam sebuah komunitas yang serba pragmatis, akrab dengan seremonial, berpenampilan peitis dan sok intelek seperti lingkungan saya.” Mastiskustus terkekeh mendengar alasan ini.

“Begini,” kata saya sambil menyalakan sebatang rokok. “Apa yang akan saya ceritakan ini mengenai seorang perempuan setengah tua sedikit gendut namun ramah bernama Mbak Jum, pemilik kantin sebelah gedung fakultas tempat saya menimba ilmu dulu. Kantin itu merupakan tempat biasa saya menghabiskan sarapan pagi. Saya tidak tahu persis nama lengkapnya apakah itu Mbak Jumani, Jumini, Jumilah dan Jum Jum lainnya. Hanya karena para senior memanggil dia Mbak Jum maka praktis saya dan teman-teman seangkatan ikut juga memanggilnya begitu. Bertahun-tahun saya berjalan menuju kedewasaan sebagai seorang mahasiswa, sampai akhirnya menemukan banyak hal yang berkaitan dengan kebenaran melalui Mbak Jum. Sebuah pelajaran berharga yang tidak tertulis dalam buku-buku teks kuliah atau saya dapatkan dari dosen-dosen yang bergelar master, doktor dan bahkan seorang profesor sekalipun. Melalui Mbak Jum saya tahu bahwa kebenaran ternyata bukan sebuah kata yang yang dapat didefinisikan dengan sangat terperinci seperti rumus-rumus fisika atau kimia, namun selalu bergerak dalam ruang dan waktu serta terus mengikuti setiap pemikiran. Kebenaran adalah permata yang luar biasa mahal meskipun ditutupi seonggok sampah dengan ratusan belatung yang mengerumuninya. Mbak Jum juga berkata bahwa dengan membaca, berdialog, mengamati dan bertindak maka seseorang akan memahami kebenaran. Setelah lulus kuliah saya bekerja menjadi seorang pengajar dan dalam satu kesempatan bertemu dengan seseorang (yang katanya) intelektual jebolan universitas ternama di Amerika Serikat. Orang (yang katanya) intelektual ini waktu itu memarahi saya layaknya seorang pengemis yang menghiba uang recehan di depan rumah. Dengan pongah orang (yang katanya) intelektual itu menceramahi saya dan kemudian menjelaskan secara panjang lebar konsep-konsep kebenaran yang barangkali ia dapatkan saat belajar di Amerika. Terus terang saya tidak marah bahkan terkekeh dalam hati, bukan karena mengejek atau bermaksud merendahkan kadar intelektualitasnya tetapi terkekeh karena sedih. Sedih karena orang (yang katanya) intelektual itu ternyata hanya berbicara mengenai kebenaran seperti yang selalu dikatakan oleh Mbak Jum. Perbedaan ceramah kebenaran antara orang (yang katanya) intelektual itu dan Mbak Jum barangkali terletak pada struktur kalimat yang diucapkan serta diksi yang dipilih. Mbak Jum tentu tidak menceramahi saya dengan sisipan istilah-istilah bahasa Inggris karena Mbak Jum hanya orang kampung yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Meskipun sama-sama perempuan, Mbak Jum jauh lebih ramah dari orang (yang katanya) intelektual itu karena sesekali Mbak Jum tersenyum dan terlihat jelas gigi emasnya yang kuning berkilau.

Tiba-tiba Mastiskustus menghentikan ocehan saya dan berkata, “Sejak ribuan tahun para filsuf berkutat dengan pertanyaan, “Apakah kebenaran itu?” Saya kemudian menjawab, “Mbak Jum mungkin tidak pernah belajar dari Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf dunia lainnya, tapi apa yang dikatakan para filsuf itu ternyata sudah mengejawantah dalam kehidupan Mbak Jum. Itu sebabnya berkali-kali dia katakan bahwa kebenaran itu akan muncul dengan sendirinya dan tidak perlu digembar-gemborkan dengan mengatakan bahwa dirinya benar. Mbak Jum setidaknya memahami apa yang dimaksud dengan kebenaran. Baginya kebenaran tidak pernah lahir dari orang yang memikirkan dirinya sendiri dan mereka yang angkuh serta alergi terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain. Kebenaran tidak pernah ada dari orang yang memuja kedagingan, begitu kira-kira pesan Mbak Jum pada saya. Sampai saat ini saya sering memikirkan kata-kata Mbak Jum khususnya ketika dia bercerita mengenai pahit getir perjalanan hidupnya, mulai dari tidak memiliki apa-apa hingga dia bisa menabung sedikit uang di Bank, menyekolahkan anak dan membeli beberapa gigi emas yang barangkali untuk investasi. Meski tidak sama persis kata-katanya, satu kali Mbak Jum pernah bicara dalam bahasa Jawa yang kira-kira artinya, tidak akan ada kebenaran apabila masyarakat di tanah Jawa (maksudnya Indonesia) melupakan sejarah dan tegel (tega) terhadap sesamanya. Sejujurnya, apa yang dikatakan oleh Mbak Jum memang benar karena kita dapat melihat dengan mata telanjang bagaimana bangsa tikus, termasuk seluruh komunitas dan organisasi yang ada didalamnya telah mewarisi penyakit amnesia, semangat pengkhianatan dan kemunafikan.”

”Mengapa bangsamu dijajah hingga tiga setengah abad?”, tanya Mastiskustus dengan naif. Dengan sedikit kesal saya menjawab, “Apabila kita membaca sejarah bangsa ini maka kita akan tahu mengapa hal ini terjadi. Terdapat satu komunitas yang terus menerus berjuang sementara di sisi yang lain berbaris komunitas yang sedang asyik menikmati rejeki hasil pengkhianatan. Menjadi pertanyaan juga dalam benak kita benarkah para pahlawan yang selama ini kita agung-agungkan karena dianggap telah berjuang demi bangsa dan negara ternyata tidak lebih dari seorang pecundang? Menjadi tidak jelas apakah Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan kepada Belanda karena nasionalisme yang ia miliki atau karena kemarahan pribadi? Bukankah peperangan itu sendiri lebih disebabkan karena Diponegoro marah atas pencaplokan tanahnya. Lagi-lagi lewat pengkhianatan beberapa Bupati yang bersekutu dengan Belanda akhirnya Diponegoro ditangkap. Lucunya, dengan enteng kita mengatakan semuanya akibat politik divide et impera. Selalu orang lain yang disalahkan dan bukan mengapa kita bisa diadu domba. Bukankah hal ini juga terjadi pada saat ini?”

Mastiskustus tampak serius dan kemudian berkata, “Aku pernah belajar sejarah bangsamu. Saat aku belajar sejarah bangsa kalian, kenapa aku tidak pernah diberi kesempatan bertanya mengapa Belanda mempraktikan devide et impera pada bangsamu?” Saya terdiam, dan berkata dalam hati, “Cerdas juga tikus ini.” Saya akhirnya menjawab, “Belanda tentu tidak bodoh, ahli-ahli antropologi terbaik yang ada di seluruh Negeri Belanda tentunya telah dipekerjakan untuk meneliti watak khas orang Indonesia sebelum Pemerintah Belanda mengimplementasikan sebuah kebijakan. Karena jasa antropolog Belanda juga maka kita masih bisa melihat beberapa tempat yang indah di Indonesia. Entah apa jadinya pulau Bali kalau para antropolog tidak menyarankan pelarangan zending (penyebaran agama Kristen) di Bali. Saat ini mungkin Bali hanya akan menjadi pulau biasa yang tidak memiliki keunikan budaya sama sekali. Selain warisan budaya pekhianatan dan kemunafikan, warisan lain yang tidak kalah menakutkannya adalah kegigihan untuk terus mempertahankan tradisi lisan. Sebuah tradisi yang masyarakatnya lebih suka menonton daripada membaca dan lebih suka berbicara daripada menulis. Ciri utama masyarakat semacam ini terlihat dari perilaku dan aktivitas yang dilakukan serta dari cara mereka berpikir. Tidak mengherankan apabila masyarakat seperti ini suka sekali mengadakan upacara-upacara seremonial, memelototi tontonan yang berbau setan, gosip, dan kekerasan. Selain itu, masyarakat seperti ini tidak suka berdialog dan menerima kritik karena keduanya dianggap sebagai ancaman. Namun jangan salah sangka, masyarakat dengan tradisi oral paling jago dalam membuat skenario, contohnya skenario peristiwa tahun 1965, 1998, pat gulipat uang APBN, proyek-proyek mercuar yang didanai pemerintah dan lain sebagainya. Dengan demikian jangan heran bila rakyat Indonesia juga jago dalam membuat skenario.”

Saya kemudian melanjutkan cerita, “Saya jadi teringat kejadian enam tahun lalu ketika seorang teman yang menjadi anggota polisi bercerita bahwa ia baru saja menangkap seorang salesman yang menyampaikan laporan palsu. Salesman itu melaporkan bahwa dia baru saja dirampok saat sedang menuju kantor dari perjalanan keluar kota. Dengan bukti-bukti yang mencurigakan, termasuk kerusakan mobil dan bercak darah dibaju si salesman, teman saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa laporan itu palsu alias direkayasa. Benar saja, setelah didesak akhirnya si salesman mengaku telah menghabiskan uang tagihan untuk bermain judi hingga dia perlu membuat skenario perampokan. Repotnya banyak pemimpin yang lahir dari tradisi semacam ini. Model pemimpin dengan warisan tradisi ini adalah mereka yang hanya mampu melaksanakan kegiatan teknis dan bukan melahirkan kebijakan strategis yang bersifat visioner dan kemudian mengimplementasikannya. Ambil contoh kebijakan pembagian uang seratus ribu rupiah per bulan bagi keluarga miskin yang pernah dijalankan oleh pemerintahan republik bangsaku. Sebuah kebijakan aneh dan sama sekali tidak bermutu karena persoalan mendasar yang dihadapi bangsa justru tidak pernah dipecahkan.”

Saya berhenti sebentar menarik nafas dalam-dalam. Hujan masih saja turun dengan deras, dan Mastiskustus masih terus memandangi saya sambil menunggu ocehan selanjutnya. Namun tiba-tiba dia bertanya, “Lantas, apakah pantas seorang pemimpin seperti itu berbicara mengenai kebenaran?” “Menurutmu?,” tanya saya. Dia terdiam seolah mempersilahkan saya menjawabnya sendiri. Ketika saya sedang membayangkan Mbak Jum dan kebenaran yang ia yakini, Mastiskustus yang masih setia duduk di hadapansaya kemudian berdiri dan berbisik pelan, “Kamu memang pandir!” Saya kaget setengah mati, rupanya Mastiskustus yang selama ini saya anggap sebagai teman malah menuduh saya pandir. Dia rupanya tahu apa yang sedang saya bayangkan dan mencibir karena dia rupanya sudah merasa 100 persen benar jauh lebih banyak dari kebenaran yang saya miliki yakni hanya 60 persen. Dasar tikus! *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun