Sastra sering menjadi subyek yang dicemooh sekaligus ditakuti. Pada masa Orde Baru, rezim Suharto sangat sering melakukan pelarangan dan penarikan buku-buku karya sastra yang dianggap mendiskreditkan pemerintah. Tidak mengherankan apabila pada masa itu mustahil bagi orang awam membaca dengan bebas karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan para penulis ‘kiri’ lain. Karya-karya sastra yang dilarang tersebut (menurut penguasa pada waktu itu) itu ditengarai mengajarkan ideologi komunis dan Marxisme. Semua kegiatan berkesusastraan yang dianggap tidak sejalan dengan selera, sikap dan ideologi penguasa kemudian “dipasifkan” secara sistematis dengan cara “dimarjinalkan, dilarang, dibredel, dihantam, dilibas, dihancurkan, dipenjarakan, di-PKI-kan dan kalau perlu dihabisi.”
Di banyak negara, khususnya Uni Sovyet pada masa pra glasnot dan beberapa negara komunis lainnya, pelarangan serupa juga terjadi pada karya-karya sastra yang ditulis oleh mereka yang berseberangan dengan kepentingan dan kebijakan pemerintah. Namun demikian pasca kematian Stalin, Uni Sovyet melahirkan penulis yang dianugerahi Nobel pada tahun 1958, Boris Pasternak. Pada awalnya karya Pasternak berjudul Doctor Zhivago dapat dengan leluasa dibaca namun kemudian dilarang karena ia mengkritik pemerintah dengan tajam. Pada era Nikita Khrushchev, sedikit lunak terhadap para sastrawan dibandingkan dengan Stalin. Lahir pada masa pemerintahannya Odin den’ Ivana Denisovicha (1962) dan A Day in the Life of Ivan Denisovich(1963) karya Aleksandr Solzhenitsyn.
Kebebasan yang diberikan oleh Khrushchev memang tidak seluas yang diberikan Pemerintah Rusia pada saat ini. Kapan dan berapa lama sebuah karya sastra boleh beredar sepenuhnya tergantung keinginan pemerintah. Bisa saja sebuah karya sastra yang pada awalnya dapat dinikmati masyarakat luas tapi selang beberapa waktu kemudian hilang dari peredaran karena pemerintah berubah pikiran hingga akhirnya muncul samizdat (self-publishing). Para sastrawan menerbitkan sendiri karya-karya mereka dan didistribusikan dikalangan terbatas baik di dalam maupun di luar negeri. Model penerbitan ini juga pernah dilakukan oleh aktivis mahasiswa dan pro demokrasi pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lain yang dimusuhi oleh Suharto.
Selain penguasa politik, banyak juga tokoh agama yang melakukan pelarangan dan pencekalan terhadap karya-karya sastra yang dianggap dapat merusak akidah agama. Salah satu karya yang pernah membuat Ayatollah RuhollahKhomeini murka adalah The Satanic Verses karya Salman Rusdie. Ada juga kegeraman Gereja Katolik Roma, Protestan, aliran-aliran dan sekte Kristen tradisional pada pengarang Dan Brown yang menulis The Da Vinci Code. Meskipun sikap para pemimpin gereja itu tidak seekstrim Khomeini, namun tetap saja The Da Vinci Code dianggap telah menodai ajaran agama Kristen. Harus diakui bahwa karya-karya sastra tidak jarang dianggap menghina golongan tertentu, agama dan pemerintah hingga akhirnya penguasa memberikan stigma “meresahkan masyarakat, menggoncang iman” dan “mengganggu stabilitas”.
Contoh-contoh di atas menunjukan dengan jelas bahwa karya sastra tidak berhenti pada teks yang mati tetapi “dihidupkan” sehingga mempunyai potensi luar biasa besar untuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia. Apakah sebenarnya sastra dan bagaimana cara kerjanya? Uniknya, jawaban atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan baru lagi. Hal ini disebabkan karenasampai detik ini sastra tidak pernah mampu mendefinisikan dirinya sendiri dengan pemahaman yang dapat memuaskan setiap orang.
Setiap kali muncul definisi sastra, maka pada saat yang hampir bersamaan lahir definisi yang menyanggah dan menyangsikan definisi sastra yang muncul terdahulu. Keragaman dalam konstelasi kesejarahan dan kompleksitas kebudayaan berdampak pula pada terbentuknya keragaman pemahaman dan definisi sastra. Namun demikian sastra tetap memiliki ciri-ciri umum yang “seolah-olah” sudah disepakati bersama bahwa “karya sastra” bersifat fiktif dan memiliki genre yakni puisi, prosa dan drama. Kesamaan konsep ini tidak bersifat kebetulan karena selain pada dasarnya manusia memiliki kemiripan, fakta juga membuktikan bahwa sudah sejak lama terjadi interaksi antarbudaya. Bentuk interaksi itu terlihat dalam Jalur Sutera yang digambarkan secara puitis dalam lirik pertama puisi Eternal Longing: Four Lyrics from Dunhuang.Dunhuang merupakan salah satu tempat di provinsi Gansu (saat ini) yang merupakan kota utama Jalur Sutera selama berabad-abad. Tempat itu menjadi pertemuan antara kebudayaan Cina dan Asia Tengah sekaligus pusat agama Budha dengan biara yang terkenal bernama “Gua Seribu Budha” (The Caves of the Thousand Buddhas) (Mair: 1994). Dengan adanya interaksi tersebut maka dimungkinkan adanya penerjemahan karya-karya sastra dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sekaligus menjadi bentuk nyata kesamaan konsep sastra tersebut termasuk tiga hal mendasar diskursus sastra. Pertama, semesta (baik itu semesta pembaca maupun penulis) karena sastra tidak pernah lahir dari kekosongan sehingga baik penulis dan pembaca sama-sama memiliki semesta meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Kedua, karya sastra itu sendiri yang diekspresikan dalam bentuk bahasa dan yang terakhir adalah kenyataan bahwa obyek sastra itu sendiri adalah manusia yang melahirkan pertemuan antara dunia “realitas” sastra yang fiktif dan dunia realitas kemanusiaan. Dalam kenyataannya pandangan ini pun masih belum sepenuhnya diterima, sebagai contoh adalah, apakah Saga bangsa Islandia masuk dalam kategori fakta atau fiksi dan kalau itu fiksi apakah bisa masuk dalam periodesasi kesusastraan Inggris?
Bagaimana dengan sastra Indonesia? Dalam bahasa Indonesia kata sastra sering kali diartikan secara luas, yang mencakup baik itu tradisi oral maupun sastra tulis. Terdapat sedikit perbedaan antara definisi sastra dalam konteks Indonesia dan Barat (Inggris dan Amerika). Sastra dalam bahasa Inggris, literature yang berasal dari bahasa Perancis,littérature, dan kata inipun berasal dari bahasa Latin, litteratura. Literature selalu berbentuk tulis dan memiliki pengarang sedangkan sastra lisan dalam bahasa Inggris masuk dalam kategori oral tradition. Berbeda dengan sastra di Indonesia yang relatif baru, kira-kira satu abad yang lalu (Pradopo:1997), terjadi celah antara bahasa tulis dan ekspresi lisan dan hal ini sangat berpengaruh terhadap pemahaman sastra. Kata sastra (susastra) dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, dengan akar katasás-, yang berarti “mengarahkan”, “memberi petunjuk” atau “mengajar” serta akhiran –tra yang berarti alat. Kata susastra, seperti yang sering diucapkan orang memiliki awalan su-, berarti baik. Dengan demikian susastra berarti “alat yang baik dalam memberikan arah/mengajarkan atau memberi petunjuk.” Memang definisi antara sastra Inggris dan sastra Indonesia berbeda, realitas mengenai kompleksitas definisi sastra ini dipahamai oleh Terry Eagleton (1996) dengan memberikan uraian secara hati-hati dan komprehensif, mulai dari karya sastra sebagai tulisan yang bersifat imajinatif, perbedaan antara fakta dan fiksi, pemahaman sastra pada abad ke-17 di Inggris sampai totalitas sistem teks yang diusung oleh kaum Formalisme Rusia.
Lantas apa hubungan sastra dan ideologi serta apa definisi ideologi itu sendiri? Kata ideologi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Destutt de Tracy(1755-1836), seorang filsof aristokrat Perancis. Dalam bukunya Eléments d'idéologie dia mengatakan bahwa ideologi adalah, “....a sience of ideas, their truth or error, working through a critical theory of the actual process of the mind.” (Duncan Mitchell: 1968). Secara kategorikal ideologi menjelajahi wilayah keyakinan, nilai-nilai dan konsep ideal mengenai pemahaman cara kerja dunia serta bagaimana manusia merespon orang lain dan lingkungannya, membedakan mana yang baik dan benar serta merumuskan sesuatu yang ideal dalam kehidupan. Dalam konteks disiplin ilmu,ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra. Dalam kamus A Glossary of Literary Term (1999) yang ditulis oleh M.H Abram, tidak terdapat lema “ideologi” dan hanya menjadi bagian dari penjelasan definisi istilah sastra. Wacana ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan kekuasaan. Dalam gagasan Marx dan Engels, ideologi tidak merujuk pada seperangkat keyakinan melainkan lebih sebagai kriteria normatif
Pertemuan antara sastra dan ideologi terjadi pada saat ilmu lain masuk dalam analisis sastra dan konsekuensinya banyak istilah nonsastra yang diadopsi, salah satunya adalah kata ideologi. Mereka yang tidak memiliki pengetahuan mengenai teori dan kritik sastra akan bias bila melakukan analisis karya sastra. Misalnya, apakah novel berjudul 1984 karya George Orwell merupakan sebuah alegori, sekedar ekspresi atau ramalan George Orwell akan datangnya sebuah negara totaliter? Novel itu ditulis pada saat Perang Dunia Ke-2 baru saja selesai, suatu masa ketika dunia dipenuhi para pemimpin diktator yang memiliki kemiripan untuk dijadikan representasi Big Brother seperti misalnya Adolf Hitler, Mao Tse-tung, Francisco Franco dan Benito Mussolini. Mungkinkah 1984 merupakan gambaran negara yang dipimpin atas salah satu diktator tersebut? Apakah Orwell membawa ideologi tertentu dalam 1984? Diskusi yang tidak menyertakan teori dan kritik sastra dalam membahas novel tersebut justru akan melenyapkan esensi karya sastra itu sendiri hingga pada akhirnya Orwell tidak dilihat sebagai seorang pengarang melainkan sebagai politisi atau bahkan ahli politik, padahal dalam kenyataannya tidak demikian.Sastra harus dipahami secara terintegrasi yakni karya sastra itu sendiri (termasuk didalamnya semesta pembaca dan penulis), sejarah sastra,teori sastra dan kritik sastra sedangkan ideologi mengacu pada cara berpikir orang dan kelompok tertentu. Seorang sastrawan yang mengekspresikan semestanya dalam karya sastra, maka yang dituangkan dalam teks itu adalah apa yang dia ingin katakan, termasuk ideologi yang dia anut dan dengan sendirinya karya sastra itu sendiri sudah berideologi, setidaknya ideologi pengarang. Namun demikian tidak berarti sastrawan menulis karena tujuan propaganda ideologi karena jika itu terjadi maka pada saat itu juga esensi sastra menjadi hilang karena sastra harus bersifal polivalensi secara politik sehingga sastra tidak direduksi menjadi propaganda.
Karya sastra adalah sebuah ruang yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas” kemanusiaan penulis. Ruang itu sendiri bukan alat dan akan berubah menjadi alat ketika terjadi pemaknaan sedangkan pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan penulis melainkan pembaca, entah itu pembaca secara individu, kelompok maupun penguasa. Sebagai sebuah wadag atas gagasan-gagasan yang memang harus dikomunikasikan dan dibagikan pada manusia yang lain, ideologi membutuhkan sebuah media dalam melakukan proses komunikasi ini, sastra salah satunya dan dari sinilah kemudian ruang berubah menjadi alat karena sastra dipahami sebagai praksis dan bukan ontologis sebagaimana terjadi pada sastra yang beraliran Marxisme, yang secara tradisi berbicara mengenai bagaimana kebudayaan tersusun hingga mampu membawa kelompok tertentu memiliki kontrol yang maksimal dengan potensi konflik minimal. Ideologi ini sendiri tidak bermaksud untuk menekan kelompok lain (meskipun potensi itu ada) melainkan lebih kepada persoalan bagaimana institusi yang dominan dalam masyarakat mampu bekerja melalui nilai-nilai, konsepsi dunia dan sistem simbol dalam rangka melegitimasi kekuasaan. Dalam gagasan Marx ideologi adalah suprastruktur (superstructure) sedangkan sistem sosioekonomi yang berjalan pararel adalah base dan sastra merupakan bagian dari suprastruktur.
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ideologi dalam sastra seyogyanya memiliki makna bagi kepentingan sastra Indonesia dengan tujuan akhir menempatkan manusia Indonesia sebagai obyek sekaligus subyek sastra dalam rangka memaknai zaman. Sebagai contoh, bagaimana ideologi diajarkan dalam sastra dan bagaimana menghadapi beragam pemikiran dalam dunia global yang bergerak dengan begitu cepat. Pengalaman dan kesejarahan sosial, politik dan sastra bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lain, sehingga pengajaran dan pemaknaan sastra juga harus berbeda termasuk bagaimana relasi sastra dan ideologi. Misalnya, pengalaman Amerika yang kesusastraannnya dimulai dari buku harian serta oleh orang Eropa, tidak bisa dijadikan acuan begitu saja karena banyak perbedaan mendasar yang terjadi dalam kesejarahan sastra kedua bangsa. Tradisi sastra Amerika sangat kuat dengan gagasan puritanisme dan bahkan pemikiran teolog Martin Luther g mempengaruhi agama dan lembaga-lembaga masyarakat dalam demokrasi di Amerika, satu hal yang tidak terjadi di Indonesia. Di Indonesia ideologi dicomot begitu saja dan dipakai untuk kepentingan pragmatis dengan memperalat sastra, misalnya aliran realisme sosial ala Maxim Gorky yang sempat menghuni tubuh Lekra dan menghantui lawan-lawan ideologinya. Jagad sastra memang selalu menarik, meriah dan “edan” apabila dikaitkan dengan ideologi hingga terjadi polemik terus menerus. Dengan cara semacam ini sastra menjadi berkembang,, hanya saja warna dan kualitas polemik itu tidak terlepas dari watak dan ideologi bangsa yang membentuknya, dan memang begitulah realitas yang terjadi dalam sastra. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H