Perang adalah suatu istilah terhormat bagi goondaisme (banditisme) yang dipraktikkan dalam skala massa atau nasional. Mahatma Gandhi dalam bagian empat buku Non-Violence in Peace and War.
Mahatma Gandhi benar, dan ia mengatakan hal itu tentu dalam konteks perang melawan kolonialisme Inggris. Sama seperti perang di seluruh muka bumi ini, tidak pernah ada yang membawa pada kebaikan atau paling tidak perubahan ke arah yang lebih baik. Perang selalu membawa malapetaka, kengerian, duka, tangis dan penderitaan yang berkepanjangan. Apapun alasan yang dikemukakan dan demi tujuan apapun perang tidak akan pernah bersifat konstruktif justru sebaliknya ia amatlah destruktif. Perang selalu dan pasti membawa dampak psikologis yang mendalam dan meluas pada banyak orang hingga luka dan trauma akibat peperangan itu sulit untuk disembuhkan bahkan untuk jangka waktu yang cukup lama.
Saat ini di bangsa kita memang tidak sedang terjadi perang. Rasanya juga aneh apabila ada perang di negeri cinta damai seperti bangsa kita. Apakah sebenarnya arti kata perang? Makna leksikal perang memang beragam, permusuhan antar dua negara (bangsa, agama, suku dsb), pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan (tentara, laskar) dan cara mengungkapkan permusuhan. Apapun definisi itu, perang selalu menghadirkan dampak yang luar biasa baik secara psikis maupun psikologis. Itu artinya perang selalu menghadirkan orang pada kehidupan yang penuh dengan kecemasan, kekuatiran dan kehilangan rasa percaya diri. Meskipun tidak sedang terjadi perang di republik ini, faktanya atmosfer peperangan sedang berlangsung. Pembicaraan antar kolega, di dunia maya, media massa, dalam rapat – rapat partai dan pemerintahan selalu mengetengahkan tema - tema peperangan. Pihak yang satu merasa lebih benar dari yang lain, partai A merasa lebih hebat dalam semua bidang dari partai B karena sederet prestasi yang diklaimnya. Kementerian A merasa lebih jago dari kementerian lain dan menteri A lebih superior dari menteri lain dan merasa lebih berjasa bagi bangsa ini dibanding lainnya. Sadar – atau tidak, begitulah yang disebut atmosfir peperangan.
Halaman besar dalam mungil hati para penguasa bangsa ini kerap dihiasi oleh gambar - gambar ketidaksenangan bahkan kebencian pada pihak lain. Semuanya dibungkus dengan idiom – idiom cinta damai dan demokrasi dengan menyitir ayat – ayat suci. Hal itu telah membombardir pemikiran kita hingga tanpa sadar telah terbentuk sebuah opini kolektif bahwa kebencian, permusuhan adalah sesuatu yang jamak. Sikap – sikap yang menjadi embrio peperangan frontal. Realitas tersebut diperparah dengan apatisme dan ajakan – ajakan untuk mendukung satu kelompok tertentu serta menyalahkan kelompok lain. Tidak asing ditelinga terdengarsuara – suara dalam nuansa teologis yang mengajak kita untuk memperbaharui dan memajukan bangsa, namun ironisnya disaat yang sama kita telah melakukan sesuatu yang membuat bangsa ini menjadi keropos dan tidak berdaya sama sekali. Berkumandang ajakan untuk berperang, baik itu melawan kejahatan, kemaksiatan, terorisme, ketidakadilan, koruptor, narkoba, dan masih banyak hal lagi. Namun demikian secara sadar, kita menikmati dan membiarkan saja apa yang akan kitalawan itu, sepertinya perlawanan yang dikumandangkan tidak lain adalah perlawanan terhadap kita sendiri.
Nafsu berperang itu ternyata tidak hanya berhenti pada wacana yang bersifat retoris tapi sudah menjadi sebuah praksis, karena dalam alam bawah sadar kita, telah mengkristal sebuah budaya peperangan yang rasanya sangat kontradiktif dengan ucapan – ucapan kita yang terdengar saleh. Kita ternyata suka dan menikmati pekerjaan menjadi bidan yang melahirkan atmosfir peperangan, misalnya melalui ucapan – ucapan, sikap dan tindakan yang menimbulkan permusuhan. Ketika kita sangat membenci militer beserta seluruh perilaku dan tindakannya maka disaat yang bersamaan kita sedang mengenakan seragam peperangan ala militer lengkap dengan atributnya yang memberi kesan kita akan berangkat untuk berperang. Lihatlah seragam satgas – satgas ormas yang ada di republik ini.
Baju seragam yang kita kenakan telah membungkus tubuh dan tentu semangat berperang. Dengan demikian telah terbentuk opini bahwa apa yang ada diluar uniform adalah musuh yang harus dihancurkan. Bukan hal yang sulit untuk ditemukan dalam lingkup kerja di pemerintahan bangsa ini bagaimana pimpinan kementerian dan/lembaga melakukan mutasi SDM ke tempat lain dan kemudian memilih SDM yang disukai tanpa memperhatikan dan melewati prosedur yang berlaku hanya karena memakai baju seragam yang sama, entah itu “baju” bernama suku, agama, ras, ideologi maupun kepercayaan.Baju uniform telah berubah menjadi semacam simbol pemersatu bagi tindakan melawanuniform yang lain. Uniform adalah sebuah legalitas.
Ada perasaan saling curiga mencurigai, adanya ketakutan jangan – jangan kolega kita adalah musuh atau mata – mata, teman kita adalah pengkhianat,yang bukan saudara adalah ancaman. Ruang - ruang hati telah tertutup. Benteng – benteng dibangun diantara kita dengan maksud untuk menghindari agar orang laintidak masuk “wilayah” kita, yang pada gilirannya tidak ada lagi rasa aman aman dan nyaman ketika berada di lingkungan kerja pemerintahan bangsa ini.Kita harus selalu mempersenjatai diri agar selalu siap kalau ada “musuh” yang tiba – tiba menyerang, entah dari dalam maupun luar komunitas yang kita bangun.
Situasi yang terus menerus atau bahkan dibiarkan semacam ini akan terakumulasi dan akan menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Perdamaian, kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama hanya akan berhenti dan bergaung pada saat berada di rumah ibadah. Sebuah lingkungan damai, aman, tenang dan terbebas dari atmosfir peperangan dan kekerasan hanya akan tercipta apabila seluruh rakyat bangsa ini mempunyai kerinduan untuk menuju kearah itu dengan satu kesadaran bahwa setiap manusia tidak pernah ada yang dilahirkan dan terus menerus menjadi super dan hebat. Tentu sebagian dari kita berharap bangsa ini tidak menjadi negeri yang vandaliskarena ketika saya akan pulang ke rumah pada suatu malam setelah terjadi tawuran antar ormas di daerah tempat saya tinggal, saya ditanya oleh seseorang yang sedang asyik menyantap soto di depan rumah. “Kapan perang yang sesungguhnya terjadi di republik ini?”. Saya tidak menjawab karena takut akan sorot matanya yang tajam. Giginya gemeretak menahan amarah. Dalam remang lampu jalan saya melihat tulisan “toleransi dan damai” di ikat kepala merah yang ia kenakan. Dua buah samurai berada persis di sampingnya dan astaga, orang itu adalah tokoh yang selama ini bicara tentang kedamaian, kebersamaan dan toleransi. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H