Dimuat di Haluan Padang (Rabu, 05 Maret 2014 02:57)
Tidak berapa lama lagi, pesta demoÂkrasi akan diseÂlenggarakan. Pesta yang akan menentukan masa depan bangsa IndoÂnesia. Mendekati masa pemilu seperti ini, para calon berbonÂdong-bondong melakuÂkan berbagai bentuk kamÂpanye.
Bahkan, sekarang yang paling terkenal adalah kampanye gaya ala Jokowi. Yaitu gaya blusukannya ke tengah-tengah masyarakat menengah ke bawah. Inilah cara yang dianggap sebagian calon, sangat jitu untuk menarik simpati rakyat, agar dianggap pemimpin yang peduli dengan rakyat kecil.
Banyak gambar calon dan janji-janji untuk menyeÂjahterakan rakyat, terpasang tidak teratur di pinggir jalan raya maupun jalan pedesaan. Hampir di setiap pohon maupun tiang, terlihat foto calon pemimpin dengan gaya masing-masing serta janji akan memperjuangkan rakyat kecil.
Segala usaha dilakukan setiap calon untuk memeÂnangkan pemilu. Mereka mencoba menarik simpati masyarakat dengan foto serta janjinya. Namun, kini masyarakat yang punya pemikiran maju, akan mengabaikannya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak henti-hentinya mengimbau masyarakat, untuk ikut serta dalam pemungutan suara pada saat pemilu. Namun, tidak jarang masyarakat justru memilih untuk golput. Mereka yang berfikiran lebih maju melaÂkukan tindakan ini karena kepercayaan mereka sudah mulai tergerus akibat janji-janji calon, yang setelah mereka terpilih, ternyata tidak pernah ditepati. FenoÂmena golput ini marak terjadi di daerah-daerah pada saat pemilihan kepala daerah.
Hal seperti itu sedikit menggambarkan kondisi yang akan kita temui pada pemilu yang akan datang, bahwa fenomena golput masih akan terulang lagi. Masyarakat yang biasanya memilih untuk golput, akan cenderung lebih selektif dalam memilih pemimpin. Mereka akan memilih peÂmimÂpin yang visioner dan asketis. Kalau mereka menganggap pemimpin yang diidealkan tidak ada, mereka akan golput.
Mendekati pemilihan umum, perang politik mulai terlihat di ranah pemeÂrintahan. Kampanye yang mulai digencarkan, adu argumen yang menjatuhkan antar calon dan pemimpin, demi mendapatkan kekuaÂsaan lima tahun ke depan memimpin bangsa. IroÂnisnya, ketika saling salah menyalahkan pada masa kepemimpinan, berbagai tuduhan-tuduhan keluar dari mulut birokrat, hingga tersebar di media massa dan disaksikan semua rakyat. Itulah, sikap yang sangat memalukan di panggung perpolitikan dengan disakÂsikan seluruh masyaÂrakat Indonesia. Seakan-akan Indonesia tidak punya peÂmimpin yang ideal untuk menjadi panutan rakyat.
Pada saat masa transisi, antar calon pempin sering terjadi kritik menyoal kinerja pemerintah yang dianggap tidak becus. Muncul perÂnyataan-pernyaÂtaan pedas terhadap peÂmeÂÂrintahan serta kekeÂcewaan karena tidak maksimal dalam menÂjalanÂkan sistem. Kalau memang tidak puas dengan kiÂnerja pemeÂrinÂtah, meÂngapa tidak dari daÂhulu meÂlaÂkukan kriÂtikan terÂhaÂÂdap peÂngemÂban amanat rakyat terÂsebut, agar para pemegang pemeÂrintahan dapat memÂperbaiki kinerÂjanya pada masa itu?
Masa-masa seperti ini, banyak orang yang punya kepentingan politik, melaÂkukan intervensi dan proÂvokasi antar calon peÂmimÂpin, sehingga masyarakat yang akan memilih pun mengalami kegalauan menÂdalam, antaÂra memilih pemimpin yang seperti itu atau bahÂkan tidak memilih sama sekali alias golput. Memang saat-saat seperti ini rakyat dibuat dilema oleh para calon pemimpin. MereÂka harus bijak dan selektif daÂlam memilih agar dikeÂmuÂdian hari tidak ada kekeÂcewaan lagi oleh masyaÂrakat.
Pilih Pemimpin Visioner