Mohon tunggu...
Halimatus Sa'diyyah
Halimatus Sa'diyyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa S1 di UIN MALIKI MALANG

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya, Islam, dan Takdir

2 Desember 2013   21:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak aku lahir cahaya Islam telah terpancar dalam diri ini, karena ayah dan ibuku juga beragama Islam. Kalau boleh dikata Islamku adalah Islam turunan, seperti kebanyakan orang-orang di Indonesia. Aku dan dua saudaraku hidup dalam lingkungan yang Islami. Betapa tidak, sebelum masuk di Universitas Islam Malang (UIN) aku pernah memperoleh didikan dari orang tuaku mengaji Al-Quran, bahkan ketika aku sudah bisa membaca, orang tuaku menyekolahkan aku di madrasah diniyah yang ada di desaku. Akupun dapat mengajak teman-teman mengaji bersama di sebuah pondok, lambat tapi pasti teman-temanku semakin banyak yang ingin untuk memperoleh ilmu agama tersebut. Memang jarak rumah dan teman-temanku dengan pondok tidak begitu jauh, apalagi bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi agar cepat, kami biasanya naik sepeda bersama-sama. Meskipun aku telah mengaji di pondok, setiap hari aku harus mengaji di rumah bersama adik-adikku tidak ketinggalan para tetangga sebayaku.

Perjalanan hidupku diawali ketika Allah SWT meniupkan ruh ke janin yang adadalam rahim ibu. Saat itulah aku mulai bergerak-gerak untuk menyambut suara-suara Islam, ada nada sholawat, dzikir, sholat, dan bacaan-bacaan Al-Quranul Karim. Setiap hembusan nafas dan detak jantung berisikan kalam-kalam Ilahi, tentu orang tuaku berharap anak yang dalam kandungan nanti dapat terlahir dengan selamat dan memiliki ruh Islam yang terus berkobar dalam setiap aliran darah. Seperti kebanyakan umat Islam Indonesia, akupun “ditingkepi” dengan dibacakan Al-Quran serta bacaan sholawat nabi disaksikan oleh tetangga kanan-kiri. Tak terasa aku sudah berada di rahim ibu selama sembilan bulan, sehingga sudah waktunya aku harus melihat dunia luar. Dengan izin Allah SWT. aku dapat lahir di mayapada dengan menangis di tanah kelahiran ibuku yang ada di desa.

Suara adzan dan iqomah pun dibisikkan di telinga, sebagai pertanda agar yang pertama kali didengar adalah ruhul Islam. Kegembiraan itu terpancar di mata orang tuaku, perasaan haru dan gembira bercampur jadi satu sehingga yang dilihat adalah tetesan-tetesan air mata bahagia. Kegembiraan itu juga ada di para tetangga, terbukti dengan kedatangan mereka satu persatu ke rumah sebagai tanda suka cita. Akupun hidup berpindah-pindah, dari desa ke kota atau dari kota ke desa. Mengingat orang tua ayahku ada di kota dan orang tuaku ibuku ada di desa, tapi hal itu tidak menyurutkan hatiku untuk selalu gembira dalam hidup.

Selama sekitar satu tahun aku terus mengalami proses seperti itu, pergi ke desa pulang ke kota. Namun syukur Alhamdulillah, aku sekarang sudah menempati rumah “mewah” (mepet sawah) di Perumahan Made Lamongan. Kehidupanku di tempat baru penuh dengan suara-suara Islam, karena di tempat ini ada juga pengajian-pengajian, bacaan barjanji, gema yasin dan tahlil, bahkan dalam setiap Peringatan Hari Besar Islam hampir selalu diisi dengan khatmil qur’an, di sinilah aku selalu dibawa oleh orang tua untuk memperoleh siraman-siraman Islam.

Seperti kebanyakan orang, akupun disekolahkan oleh orang tua di Taman Kanak-Kanak, 2 tahun kemudian masuk di Sekolah Dasar di samping aku juga mengaji di pondok yang dekat dengan rumahku. Di pondok inilah aku memperoleh pendidikan agama yang lebih dan ternyata memberi semangat kepada teman-teman sebayaku untuk ikut pula menimba ilmu di tempat itu, sehingga begitu senang dan ramai bisa berangkat bersama-sama. Namun, belum sempat aku menimba ilmu lebih banyak lagi, aku dihadapkan oleh sekolahku yang baru. Betapa tidak, karena sekolah tersebut memulangkan para siswanya sekitar jam 13.30 siang dan akupun belum sempat untuk mandi atau istirahat yang cukup sehingga aku sering terlambat sampai di Madrasah Diniyah ini, dan perlahan-lahan aku berhenti untuk mengaji. Meskipun begitu, aku tetap memperoleh ilmu dari orang tuaku. Tiga tahun aku jalani bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan kemudian aku masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Lamongan. Selama tiga tahun pula aku berada di sekolah itu, di mana ayahku menjadi guru di sana dan pada tahun pelajaran 2011/2012 aku mulai menginjakkan kakiku di bumi Universitas Islam Negeri Malang.

Di tahun itu, akupun ikut tes yang diselenggarakan oleh PTAIN dan Alhamdulillah diterima. Betapa senang dan bahagianya hati orang tuaku ketika aku diterima di universitas ini, karena orang tuaku pernah mendengar dan melihat kemegahan UIN dengan ma’had dan pendidikan yang ada di dalamnya. Terasa ruh-ruh Islam berada di dalamnya, sehingga dengan mantap dan pasti akupun menyenanginya. Apalagi setelah tahu sendiri dan aku pernah berada dalam lingkungan ma’had serta kampus tersebut. Di ma’had aku dididik harus dapat bangun malam, jamaah shalat, subaghuh lughah, ta’lim afkar/Qur’an dan diharapkan dapat tashih ayat-ayat Al-Qur’an di ustadz/ah. Di kampus pun aku mendapatkan pelajaran bahasa Arab, pendidikan tentang Islam, dan sebagainya. Berbagai ilmu dan pencitraan Islam terpancar kuat di lembaga ini, aku yang dulu tidak mengerti ini sekarang mulai mengerti ini. Aku yang dulu mengerti itu sekarang aku lebih tahu itu, dan seterusnya yang tidak mampu kutulis satu persatu. Hampir tiga semester aku berada di Fakultas Syari’ah dan aku berharap agar ilmu yang kuperoleh dapat bermanfaat dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat. Amin….

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun