Mohon tunggu...
Herawati Suryanegara
Herawati Suryanegara Mohon Tunggu... Buruh - Penyuka Langit, penyuka senja.

aku... ya ...aku!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Label “Bodoh” untuk Siapa...?

7 Desember 2013   00:02 Diperbarui: 6 Desember 2016   19:50 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh R. Herawati Suryanegara

Perenungan, label “Bodoh “ sering kita dengar , ditujukan untuk anak yang memiliki nilai-nilai rendah atau tidak naik kelas. Harus diakui, mau tak mau label “bodoh” untuk anak-anak benar-benar berlaku dan sering kita dengar dalam dunia pendidikan kita. Meski pada dasarnya secara teori manapun, tak ada yang membenarkan adanya labelisasi “bodoh” untuk seorang anak didik.

Anak “bodoh”  yang memiliki nilai kurang atau tidak naik  kelas bisa terjadi karena beberapa faktor diantaranya :

1.Faktor yang disebabkan oleh siswa itu sendiri; malas belajar, suka membolos, tidak menyukai satu pelajaran  atau beberapa pelajaran.

2.Faktor guru,  tidak menutup kemungkinan siswa dianggap bodoh hingga tidak naik kelas berasal dari ketidakmampuan guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan atau mendorong para peserta didik untuk mendapatkan pengetahuannya sendiri, guru bisa juga  tidak memahami metode dan teknik mana yang tepat dalam mengajar. 

Sering kita temukan, guru yang memiliki kemampuan secara akademis baik dan berilmu tinggi tetapi siswa tidak mendapat apa-apa saat ia mengajar. Ada kemungkinan sang guru memaksakan metode dan teknik mengajar yang ia sukai namun tidak  mempertimbangkan apakah teknik dan metode yang digunakan itu tepat, sesuai dengan materi pelajaran dan karakter, serta tingkat perkembangan peserta didik di dalam kelas. Akibatnya, guru tampak  hanya asyik sendiri mengajar sementara  siswa tidak merasa terlibat dan tidak benar-benar ikut belajar.

3.Banyak guru tidak/kurang memahami bahwa suasana belajar yang menyenangkan dan rilex menentukan keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar. Bisa dibayangkan guru yang galak dan bermuka masam, membuat suasana tegang. Siswa dibuat tak berkutik bahkan mereka berharap agar pelajaran segera berakhir. Suasana belajar yang tegang dan penuh tekanan membuat potensi anak tidak berkembang. Rasa ingin tahu tentang pelajaran tersingkirkan oleh rasa takut berhadapan dengan gurunya sendiri. Bahkan saat mereka tidak memahami apa yang diajarkan,  untuk bertanya pun mereka takut. Anak-anak yang termasuk kategori pandai pun bisa kehilangan kepercayaan dirinya. 

4.Faktor keluarga, faktor yang sangat penting. Faktor keluarga yang menghambat siswa dalam belajar  dapat berupa :

-Pola asuh yang salah, di lain pihak sekolah menuntut kedisiplinan siswa dalam belajar sedangkan orang tua tampak santai-santai saja dan kurang perhatian. Banyak orang tua yang tidak perduli, apakah anaknya hari ini masuk sekolah atau tidak, apakah anaknya berangkat dari rumah benar-benar sampai ke sekolah atau tidak.

-Masalah ekonomi. Kendala yang sudah tak asing di sekolah. Sangat banyak  orang tua dari ekonomi lemah  kurang bisa memberikan fasilitas untuk belajar dirumah dan memenuhi kebutuhan siswa  lainnya mis. ongkos untuk pergi sekolah, tak ada uang untuk membeli buku, padahal sang anak sangat suka membaca buku,dll.  Jangan lupa juga faktor keterpenuhan gizi anak. Gizi anak yang buruk mempengaruhi konsentrasi belajar anak. Sebaliknya pada sisi lain, keluarga yang memiliki ekonomi berlebihan, selalu berusaha memenuhi kebutuhan anaknya namun melepaskan tanggung jawab masalah pendidikan seluruhnya kepada sekolah. Mereka menganggap,  dengan telah memenuhi kebutuhan materi sang anak maka sampai disitulah tanggungjawab mereka. 

5.Faktor lingkungan sekitar. Banyak nilai baik yang diterapkan di sekolah ternyata kontradiktif dan tidak mendapat dukungan dari sekitar termasuk masyarakat luas. Kurangnya tokoh untuk dijadikan panutan, banyak contoh buruk bertebaran disekitar mereka, misalnya ; korupsi, penyimpangan seksual, narkoba dll.

6.Faktor yang berasal dari sistem pendidikan  yang mengutamakan keterampilan kognitif saja. Siswa dianggap tidak bodoh bila menguasai aspek kognitif dan ilmu-ilmu eksak,ini juga menjadi masalah pokok. Keterampilan sikap dan keterampilan sosial masih dianggap tidak sepenting keterampilan kognitif.

Siswa yang tidak  mampu menguasai pelajaran yang bersifat kognitif dan eksak dianggap bodoh. Meski ia mahir menggambar, jago dalam bidang olah raga, menguasai mata pelajaran Bahasa dan Ilmu Sosial. Ia akan  tetap dianggap siswa bodoh..!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun