Penulis R. Herawati Suryanegara
Perdebatan seru antar guru-guru saat penentuan kenaikan kelas memang selalu menarik perhatian. Meski istilah tidak naik kelas telah berganti dengan kalimat “tidak Tuntas” namun pada kenyataannya seorang siswa bila tidak dapat menuntaskan minimal 4 pelajaran di sekolah sesuai dengan KKM/Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditetapkan sekolah , maka siswa tersebut tidak akan naik kelas seperti kawan-kawannya yang lain. Ia akan mendapatkan dirinya menjadi sekelas dengan siswa yang dulu ia panggil adik-adik kelasnya. Apakah ini tidak akan membuat down ?
Bagi penulis, hal tersebut sangat tidak adil karena bukan rahasia umum , sekolah sering menetapkan KKM / Kriteria Ketuntasan Minimal yang cukup tinggi . hal ini terjadi selain bisa untuk menjaga nama baik sekolah juga untuk membantu nilai agar mencukupi bagi penghitungan nilai kelulusan di akhir jenjang pendidikan. Dengan demikian kita telah memaksa siswa-siswi kita untuk mencapai nilai tersebut.
Adanya KKM tidak hanya membuat sekolah standar kampung untuk melakukan berbagai siasat, tetapi sekolah-sekolah di perkotaan dari cerita teman-teman sesama guru, ya sama saja. Agar anak didik naik kelas semua maka terjadilah pengkatrolan nilai raport oleh guru agar sesuai atau melebihi KKM yang telah ditetapkan. Dengan demikian diharapkan nantinya semua anak didik di sekolah tersebut dinyatakan tuntas/naik kelas semua. Padahal mana ada sih, sekolah yang isinya siswa yang pintar-pintar semua ?
Kita ambil contoh, seorang siswa yang tidak mendapatkan nilai yang baik mis.dalam 4 mata pelajaran , matematika, IPA, B. Inggris, dan IPS harus tinggal kelas karena dianggap belum tuntas. Ini sangat merugikan. Bagaimana bila anak tersebut memiliki kelebihan dalam bidang mata pelajaran lainnya yang jumlahnya lebih dari 4 mata pelajaran? Apakah kelebihan dalam bidang lain tidak menjadi pertimbangan?
Jangankan siswa, guru saja kalau berada pada posisi mereka belum tentu bisa tuntas menguasai 12 mata pelajaran di sekolah dengan baik !
Kasus seperti ini sering mengundang perdebatan yang seru. Beberapa guru menyetujui untuk menambah nilai siswa yang kurang . Sebagian guru lainnya bertahan dengan nilai asli perolehan siswa tersebut. Perbedaan pendapat yang wajar terjadi karena masing-masing memiliki argumen sendiri. Guru bidang studi yang tidak mau menambahkan nilai, beragumen bahwa hal tersebut adalah sebagai konsekwensi bagi siwa tersebut. Alasan yang jujur dan logis bila tidak mau bercermin diri dan mengukur, apakah sebagai guru sudah maksimal melaksanakan tugasnya?
Sistem pendidikan nasional kita yang menyebabkan adanya " tidak naik kelas" menurut penulis, inilah sumber yang menggiring para guru mengatrol nilai raport. Banyak guru yang tidak rela siswanya tidak naik kelas dengan melihat fakta, begitu banyak remaja putus sekolah yang menjadi sampah masyarakat : menjadi preman kecil , menjadi jablay dll.
Tidak naik kelas, bagi pelajar yang memiliki keluarga dengan keuangan yang cukup dan orang tua yang berpendidikan, bisa ditindak lanjuti dengan memindahkan anaknya ke sekolah lain. Hal ini berbeda bila terjadi pada siswa dengan ekonomi yang pas-pasan dengan orang tua yang kurang berpendidikan. Umumnya mereka Drop Out dan menerima nasib begitu saja. Hal ini tentu sangat disayangkan.
Pada dasarnya melalui tulisan ini, penulis mengharapkan kedepan akan ada kebijakan adanya tidak naik kelas. Kelemahan seorang siswa dalam sebuah mata pelajaran atau bahkan beberapa mata pelajaran bukanlah ciri ketida adaanya potensi dalam mata pelajaran lain yang sangat mungkin bila digali dengan baik justru dapat menjadi bekal bagi kehidupanya di kemudian hari.
Adanya istilah tidak naik kelas kesannya seolah - olah sekolah itu hanya untuk anak-anak yang baik dan pintar. Padahal sekolah justru harus mau ikut mendidik dan bertanggung jawab terhadap anak yang nakal, dalam artian kenakalan remaja biasa dituntun menjadi lebih baik. Anak yang kurang pintar menjadi pintar. Bila sekolah hanya untuk anak - anak yang baik dan pintar saja, lantas dimana yang lainnya harus sekolah...?
Bila tetap dipaksakan adanya sistem tinggal kelas, Penulis berharapan semua siswa harus naik kelas kecuali ia melakukan tindakan asusila atau melanggar aturan hukum. Bagaimana cara agar anak-anak yang tertinggal dalam mata pelajaran tertentu akan mendapatkan kelas yang berbeda dengan anak-anak yang memiliki nilai baik. Beberapa negara telah melaksanakan kebijakan pendidikan dengan tidak mengel, tidak naik kelas. Contoh, Finlandia dan Malaysia.
Harapan lainnya adalah “hapus KKM” kembali kesistem dahulu. Untuk menakar keberhasilan siswa, cukup dengan menggunakan nilai rata-rata kelas sebagai pembanding. KKM telah menjadi salah satu sebab yang mendorong guru untuk memanipulasi nilai secara berjama’ah.