Mohon tunggu...
Herawati Suryanegara
Herawati Suryanegara Mohon Tunggu... Buruh - Penyuka Langit, penyuka senja.

aku... ya ...aku!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penggalan Kisah : Saat Remaja Kehilangan Tawa

27 Juni 2014   06:29 Diperbarui: 6 Desember 2016   19:20 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.

Butir air mata berjatuhan dari gadis remaja itu. Wajahnya cukup manis, kulitnya bersih dan rambutnya panjang,agak kriting. Bulu matanya tampak sangat panjang dan lentik . Ia memiliki mata yang indah .Ku biarkan gadis itu mencurahkan  kegundahannya. Siang ini terasa begitu menggerahkan, keringatku pun menetes deras.

Kurasa mata ini mulai berkaca,  hanyut dengan cerita yang Nani sampaikan. Aku paham , ia dalam kesulitan dan keputusasaan maka kubiarkan ia terus bercerita.

“lalu,  berapa bulan sekarang usia kandunganmu ?” tanyaku setenang mungkin sambil menatap perutnya yang mulai menyembul jelas dibalik seragam putih birunya

“ kata bu bidan 6 bulan,bu..” jawabnya pelan dan terdengar  memelas

Hmm… bagus juga anak ini mau memeriksakan kandungan. Terbayang, ia pergi seorang diri  memeriksakan kandungan. Ibunya telah 8 tahun bekerja sebagai TKW di Saudi Arabia dan tak pernah terdengar kabar beritanya. Sebelum melakukan wawancara, aku sempatkan memeriksa filenya. Ku lihat pada akte kelahirannya , tertera nama  ayahnya  berbau warga negara asing dimana ibunya menjadi TKW. Ayah yang tak pernah ia lihat. Nani memang tinggal hanya berdua dengan sang nenek yang sudah renta .

“baik, sekarang apa rencana yang ada dibenakmu ..?”

“saya ingin menikah dan tetap bisa mengikuti Ujian nasional “  Nani menjawab dan menatapku penuh harap.

Duh.. hatiku menjadi kacau. Pembicaraan dengan sesama  guru pada hari kemarin menghasilkan keputusan yang tak akan membuatnya senang. Nani tak diizinkan untuk mengikuti Ujian nasional meski pemerintah sendiri sudah kukatakan pada mereka, membolehkan siswa hamil untuk tetap bisa mengikuti ujian.  Dengan berat hati kukatakan apa yang telah menjadi keputusan sekolah untuknya. Nani  ternyata mau mengerti .

“ sekarang, ibu mau tanya.. siapa pria yang telah menghamilimu?”  kurasa ini hal penting kutanyakan tanpa tekanan. Ku tunggu beberapa saat  dan Nani tampak menghela nafas dalam-dalam. Ia terdiam dan tertunduk lama.

“ok, saya tak akan memaksamu mengatakannya kali ini atau mungkin  kamu memang tak ingin ibu tahu lebih banyak. Satu hal yang harus kamu ingat, semua peristiwa ini bukan akhir dari segalanya. Saran ibu, jaga kesehatanmu dan juga  jabang bayimu. Sekarang mari kita bersiap untuk pulang..”  ujarku sambil mulai memasukan beberapa helai catatan dari atas meja kedalam tasku. Namun Nani tiba-tiba meraih tanganku, lalu memeluk erat  dan menangis hingga tergucang bahunya.

Semilir angin dari celah jendela sama sekali tidak membuatku merasa sejuk.Kuncup bunga rupanya benar-benar tak jadi mekar, ia terkulai dan jatuh diatas tanah .  Bagaimanapun ke 4 pemuda yang telah menidurinya harus ikut bertanggung jawab atas Nani.

Saat musyawarah aku diundang untuk hadir. Dari empat pemuda, hanya dua yang hadir. Yang lainnya diwakili oleh keluarganya masing-masing. Apa mau dikata, mereka saling lempar tanggung jawab .  Keluarga Nani diwakili oleh kakak dari pihak ibunya. Musyawarah berakhir dengan   sebuah kesepakatan ,  masing-masing pemuda itu harus mengganti rugi masing-masing 2jt rupiah untuk biaya pernikahan Nani dan  Nani akan  mencari  lelaki lain untuk menikahinya.

Tiga bulan kemudian, kudengar kabar Nani telah melahirkan seorang putra lelaki di Jakarta. Perkawinannya bubar setelah Nani melahirkan. Entah perkawinan macam apa yang ia tempuh. Aku tahu, ia malu untuk kembali kekampung dan malu bertemu denganku.

Kutatap  bangku kosong tempat dimana biasa ia duduk dengan tangan bersidekap. Ada nyeri terasa,  aku  rindu dan rasanya  ingin  memeluk gadis itu.. Duh..!


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun