Photo.Doc. Bobby Anderson.
Menyimak artikel teman tentang Papua di sebuah blog dimana saya ikut juga menulis, rasanya hati ini miris sekali. Kali ini Penulis tidak meninjau tentang pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan rakyat Papua semakin mati kutu tetapi Penulis ingin mengangakt masalah ketidak sejahteraan dan kemiskinan mereka dari akar masalahnya, yaitu masalah pendidikan.
Tak ada yang memungkiri, Papua adalah daerah kaya bahkan bisa jadi merupakan daerah terkaya yang dimiliki bangsa ini. Namun kehidupan masyarakat Papua tidaklah sesejahtera yang kita bayangkan dalam “keharusannya”. Kekayaan alam mineral dan emas yang melimpah tidak membuat mereka beranjak dari kemiskinan dan keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena kurangnya SDM terdidik yang dimiliki Papua.
Hal yang entahlah kita harus terkejut atau tidak dengan menyimak data bahwa di kabupaten Yahukimo, hanya terdapat 18 persen anak yang menyelesaikan pendidikan SD dan sebagian besar lulusan sekolah menengah atas di pegunungan masih buta huruf..! Bagi penulis ,rasional juga bila UNCEN (universitas Cendrawasih ) menolak calon mahasiswa dari beberapa sekolah yang disinyalir lulusannya memang tidak dapat membaca, menulis atau mengerjakan matematika dasar. Rasional yang memerlukan jalan keluar tentunya.
Miris sekali, terbayang bagaimana mereka bisa menguasai teknologi canggih untuk mengelola kekayaan yang mereka miliki bila membaca dan menulis saja sebagai pengetahuan yang paling dasar, tidak mereka kuasai.
Bagaimana dengan para guru ..?
Dokumen resmi di Papua menyatakan bahwa , provinsi tersebut memiliki satu guru untuk 23 anak. Data ini menunjukan adanya lebih dari kecukupan guru bahkan bila dibandingkan dengan porsi perbandingan guru di daerah lain yang bahkan kebanyakan kekurangan guru. Gedung sekolah pun banyak dibangun dan dianggap mencukupi. Sayangnya jumlah guru tersebut hanya berupa data diatas kertas karena para guru tidak pernah hadir di tempat kerja . Ketidakhadiran mereka bahkan bisa sampai satu semester bahkan lebih. Sementara pemerintah tetap menggaji mereka dengan baik dan mereka hidup nyaman di kota dengan meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja.
Hasil penelitian Bobby dan kawan-kawan mengenai ketidak hadiran guru ,diantaranya adalah :
1. Adanya ketidaknyamanan para guru yang ditempatkan karena warga setempat biasanya memandang rendah para guru yang berasal dari suku atau kerabat yang berbeda.
2. Ketidak hadiran guru tidak berdampak pada sanksi. UU no 14 th 2005 menyatakan guru yang mangkir setidaknya satu bulan, dapat diberhentikan.
3. Para guru tidak menerima gajinya ditempat.hal ini mengakibatkan mereka harus menempuh jarak satu jam penerbangan atau lima hari berjalan kaki dari tempatnya bertugas bila gaji dibayar di ibukota kabupaten.
4. Gaji tidak cukup
5. Perumahan yang tidak layak.
Apapun alasan yang dikemukakan , penulis merasa guru sebagai unjung tombak pendidikan bila memang sudah tidak sanggup dengan konsekuensi penempatan bertugas lebih baik mengundurkan diri dan pemerintah daerah hendaknya merekrut guru dengan rasional yaitu memperhatikan keterjangkauan antara domisili guru dan tempat tugas. Kita ketahui , kondisi daerah Papua berbeda dengan daerah perkotaan atau daerah lainnya dimana transportasi mudah didapat. Dengan demikian pemerintah tidak menghamburkan uangnya untuk menggaji guru yang tidak mau bekerja. Jangan sampai pendidikan dijadikan komoditi pencarian dukungan politik sehingga ketegasan dalam penertiban guru terkendala. Ambilah honorer guru dari daerah setempat yang memang mau bekerja dan membangun daerahnya . Bila perlu dan mendesak tak perlu S1 . asal bisa mengajarkan mereka baca tulis dan berhitung, jadilah. Itu memang bisa dianggap radikal, tetapi hal yang lebih percuma lagi bila pemerintah mengangkat guru yang berpendidikan S1 tetapi tidak mau bekerja dan hanya mau menerima gaji buta.
Bisa kita bayangkan, bagaimana anak-anak Papua ini dapat memperoleh pengetahuan di sekolah bila kelas tanpa guru ? Pada observasinya, Bobby menyatakan bahwa siswa hanya akan hadir bila ada guru hadir secara fisik di dalam kelas.
Harapan pada Mendikbud, segeralah blusukan ke Papua agar pak Mendikbud benar-benar tahu bagaimana pendidikan disana terlaksana bukan dari laporan-laporan yang belum tentu benar. Hal ini juga dapat menjadi bahan buat Mendikbud dalam membuat kurikulum yang benar-benar kontekstual. Agar pendidikan yang diperoleh mereka nantinya benar-penar berupa pengetahuan yang berguna dan sesuai dengan kehidupan nyata mereka. Catatan juga buat Pak Mendikbud yang mungkin tidak tahu, bahwa saat Ujian Nasional berlangsung, guru disana menuliskan jawabannya di papan tulis atau para guru mengisi sendiri lembar jawaban murid-muridnya. Semua terjadi karena proses belajar mengajar tidak berjalan semestinya.
Bila dibiarkan terus begini, maka tak perlu heran bila SDM di Papua tidak dapat diandalkan untuk mengelola kekayaan alam mereka. Kebodohan akan membuat mereka miskin karena kekayaan mereka akan terus menerus di rampok orang-orang pintar yang berasal dari negara asing maupun sesama pribumi. Mereka menjadi tikus mati di lumbung padi.
Ayooo… bangkit Papua.. agar anda menjadi tuan di rumah sendiri.
Special Thanks to Bobby Anderson
Sumber
https://www.academia.edu/6612667/Meneropong_Sistem_Pendidikan_di_Papua_Bagian_Satu_
http://www.academia.edu/7462762/Meneropong_Sistem_Pendidikan_di_Papua_Bagian_Dua_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H