Kita sudah terbiasa membaca atau pun menyaksikan berita tentang penyelidikan kasus-kasus korupsi yang tidak kunjung tuntas. Kita menginginkan perubahan Indonesia menjadi negara bebas korupsi, tapi apa tindakan yang sudah kita lakukan sebagai generasi muda untuk mempercepat perubahan?
Pada saat ini terjadi hal menarik di jejaring sosial baik itu twitter ataupun facebook, para pengguna aktif jejaring sosial banyak yang menggunakan profile picture yang bertuliskan “SAVE KPK” sebagai bentuk empati terhadap KPK yang dinilai sebagai suatu lembaga paling disorot terkait penanganan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
Kita begitu mengebu-gebu menginginkan perubahan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, tanpa sadar sering sekali marah ketika melihat para koruptor yang memakan uang rakyat jutaan, ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Kita juga kesal ketika melihat tayangan televisi yang menayangkan tentang bagaimana susahnya KPK membongkar satu demi satu kasus korupsi besar, mulai mengutuk orang-orang yang menyudutkan, kemudian berkomentar tentang bagaimana bobroknya negeri ini dan susahnya menghilangkan budaya korupsi.
Kita juga sudah bosan melihat berita di televisi tentang maling ayam bisa dipenjara tiga bulan, babak belur dan masuk bui sedangkan koruptor bebas berkeliaran, sekalipun masuk penjara mereka diberi fasilitas barang-barang mewah.
Pernahkah terbersit dalam pikiran kita, jangan-jangan secara tidak sadar pernah menjadi seorang koruptor? Ada beberapa tindakan korupsi sehari-hari yang tanpa disadari sudah menjadi kebiasaan, khususnya generasi muda.
Pertama; Korupsi waktu. Disadari atau pun tidak, orang Indonesia paling senang mengorupsi waktu. Seharusnya kita berkaca kepada negara Asia yang sudah maju seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka sangat menghargai yang namanya waktu. Budaya menghargai waktu menyebabkan mereka akan malu datang terlambat dari janji waktu pertemuan yang telah ditentukan. Sebaliknya di Indonesia, terkadang berjanji mengadakan rapat jam sembilan, bisa molor menjadi jam sepuluh. Anehnya fenomena korupsi waktu biasanya dimaklumi dan dianggap biasa saja.
Kedua; Korupsi uang. Dalam hal ini memang tidak mengkorupsi uang negara seperti para koruptor kelas kakap. Tetapi kita melakukan korupsi kecil-kecilan. Ketika masih kecil, seorang anak diberi uang oleh orang tua untuk membeli belanjaan di warung kemudian tanpa sadar mengorupsi lima ratus atau seribu rupiah. Begitu juga ketika masa sekolah, siswa berbohong mengenai harga buku dan sisa uang buku dipakai untuk keperluan lainnya. Di tingkat mahasiswa lebih parah lagi, mahasiswa terkadang mengajukan permohonan beasiswa dengan cara yang tidak jujur seperti membuat surat keterangan tidak mampu padahal hidup berkecukupan atau memalsukan penghasilan orangtua. Kemudian setelah beasiswa cair, uang tersebut dibelanjakan untuk beli baju atau ganti hape dengan model terbaru. Padahal tanpa disadari, tindakan seperti ini sama saja dengan melakukan tindakan korupsi karena mengambil hak orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.
Ketiga; Korupsi ilmu. Hal ini terjadi dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, bentuk korupsi yang satu ini sudah lumrah terjadi. Misalnya, ketika siswa sekolah melaksanakan ujian masih sering mencontek dan meng-copy-paste tugas teman. Di tingkat mahasiswa masih sering melakukan tindakan plagiat, dan terkadang mengambil sumber referensi tanpa mencantumkan sumber. Apakah hal yang demikian tidak termasuk tindakan korupsi? Itu adalah tindakan korupsi. Jangan-jangan korupsi sudah menjadi budaya kita bangsa Indonesia.
Menurut teori pertukaran, dalam melakukan segala tindakan ada yang namaya reward (ganjaran) dan punishment (hukuman). Seseorang akan cenderung mengulangi suatu tindakan apabila ada reward tertentu yang didapatkan. Sebaliknya, seseorang akan cenderung tidak akan mengulangi melakukan suatu tindakan apabila mendapatkan punishment. Sehingga ketika seseorang melakukan tindakan korupsi (walaupun dalam skala kecil) tidak memperoleh sanksi (punishment) baik itu secara sanksi sosial ataupun secara hukum, maka tindakan korupsi akan kembali dilakukan karena tindakan tersebut mendatangkan keuntungan tertentu.
Mencegah tindakan korupsi akan bisa dilakukan dengan cara menanamkan budaya anti korupsi sejak dini. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.
Pertama; Mulai dari diri-sendiri. Menamkan budaya anti korupsi harus dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu. Bagaimana kita akan menasaheti orang lain dan menjadi pejuang anti korupsi jika diri sendiri belum bebas korupsi? Bagaimana kita akan berperang dan meneriakkan dengan lantang kata-kata anti korupsi atau save KPK sedang kita masih melakukan tindakan korupsi kecil-kecilan. Bagaimana mahasiswa bisa turun ke jalan melakukan demontrasi menuntut semua koruptor untuk dihukum seberat-beratnya sedang kita masih saja mencontek ketika ujian di dalam kelas.
Kedua; Mulai dari hal-hal yang kecil. Kita harus menanamkan budaya anti korupsi dari hal-hal kecil seperti tidak menyontek, tidak korupsi waktu dan berusaha untuk bertindak jujur dalam segala hal. Dengan demikian, kita mulai membiasakan diri dan terlatih sejak dini menanamkan budaya anti korupsi .
Ketiga; Mulai hari ini. Kita terlalu sibuk memikirkan negara yang tidak berubah, terlalu sibuk memikirkan negara yang tidak jua bersih dari korupsi. Jangan hanya sibuk berargumen dan memikirkan masalah korupsi, tapi bertindaklah. Lakukanlah perubahan sikap dimulai hari ini. (*)
Tulisan ini dimuat di Harian Singgalang, Sabtu/ 20 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H