Mohon tunggu...
Gacoor
Gacoor Mohon Tunggu... Buruh - Lelaki

Hari ini harus berhasil, besok harus dapat, lusa akan memetik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi Haji Bikin Repot

3 Oktober 2016   02:38 Diperbarui: 3 Oktober 2016   02:52 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mau berangkat haji,  semenjak renovasi Masjidil Haram pada tahun 2013 pemerintah Arab Saudi  mengeluarkan kebijakan pemotongan kuota haji sebesar 20% kepada setiap negara,  tak terkecuali Indonesia.  Kuota jemaah haji Indonesia sebelum pemotongan 20%  berjumlah  211.000 orang, terbagi dalam dua katagori,  194.000 jemaah haji reguler,  sisanya  17.000  haji khusus.  Setelah  kebijakan  pengurangan  20%  menjadi 168.800 orang terbagi dalam dua sesi,  155.200 jemaah haji  reguler,  sisanya 13.600 haji khusus.

Dengan  pengurangan kuota tersebut,  akibat  dari perbaikan  Masjidil Haram, banyak calon jemaah haji Indonesia yang harus menunggu puluhan tahun untuk bisa berangkat ketanah suci.  Begitu lamanya waktu tunggu untuk berhaji  tersebut,  berseliweran cara cara bagai mana bisa berangkat untuk tidak menunggu terlalu lama.  Apakah dari si calon itu sendiri mencari celah,  atau bisa jadi dari oknum intansi  terkait menawarkan celah untuk bisa  berangkat  dengan waktu sesuai tawaran.  Wallahualam.

Namun paktanya, tidak sedikit oknum ataupun agen perjalanan haji yang memanpaatkan situasi ini guna mencari keuntungan semata.  Tanpa sedikitpun mencari ibadah,  yang ada dibenaknya ... uang,  uang....untung.   Dimana kuota negara lain diolah dan dimanfaatkan untuk  mencari keuntungan semata, tanpa memikirkan dampak dan resiko yang begitu besar terhadap jemaah haji yang diberangkatkan.  Beruntung  negara tersebut begitu tinggi toleransinya, dan perjuangan yang gigih dari pemerintah, sehingga jemaah haji yang menggunakan paspor negara lain  terbebas dari sanksi hukum keimigrasian yang berlaku dinegara tersebut.  Dan yang lebih  bersyukur jemaah tersebut  pulang dengan selamat dalam lindungan Tuhan.  Maaf..... bila terjadi sesuatu kecelakaan ( maaf) terbayang, betapa sulit dan rumit  mengurus data  guna  keperluan  investigasi ataupun asuransi, karena  orang Indonesia datanya kok orang negara lain.  Rasa sedih  kecewa pastinya dirasakan juga bagi jemaah yang tertahan dinegara lain dan harus  kembali  sebelum  menginjak  tanah  suci.

Berhaji.... merupakan tahapan tertinggi bagi umat Islam yang memiliki kemampuan, baik financial, mental, dan jasmani. Dan sebahagian orang tentunya suatau kebanggan tersendiri pula begitu pulang diberi lebel pak haji ataupun bu hajah oleh tetangga dan kerabatnya. Tak jarang pula sebahagian orang bangga lebel hajinya  tertulis di depan namanya. Namun  tidak  jarang pula sebahagian orang yang berhaji begitu risih bila harus dikaitkan dengan lebel  pak atau ibu haji terhadap dirinya, bisa berangkat haji dan pulang dengan selamat sudah suatu nikmat syukur yang tak terhingga. Karena hanya Iman, ketaqwaan dan perbuatannya lebel haji tersemat sempurna tanpa harus disebut atau tertulis didepan namanya. Namun orang-orang menyebutnya atau menyematkan lebel haji tak lain suatu penghargaan buat yang bersangkutan. Bahwa orang tersebut telah melewati tahapan rukun Islam yang akhir, yang belum tentu orang bisa melewatinya, sekalipun dia mampu dan cukup dalam syarat haji. 

Bagi yang sudah menjalankan haji, katanya itu adalah suatu yang menyenangkan dan menggembirakan, dan hasrat untuk menginjak tanah suci kembali sangatlah tinggi. Namun dalam menjalankan berhaji, ada ada saja jemaah yang terkadang membuat orang geleng kepala, apakah ini tradsisi, kebiasaan atau memang dari pada susah nanti disana ( Tanah Suci ).  Yaitu tidak sedikit jemaah haji membawa perbekalan yang sebetulnya malah bikin repot dan bisa bikin suasah nantinya. Dari perbekalan yang membludak dengan isi yang terkadang aneh, panci, wajan, juga beras, walau tidak banyak, ulekan cabe sampai ada yang membawa jimat segala, sampai harus berurusan dengan aparat setempat. Bahkan ada yang membawa obat kuat berupa alkohol dari hasil permentasi beras ketan hitam yang dimasukan dalam botol. Begitu ditanya petugas haji, alasan membawa minuman ini untuk obat kuat supaya badan segar dan energik. Belum lagi lauk kering sampai sambal terasi hingga rice cooker agar bisa masak secara instan pada saat perut tidak bisa diajak kompromi diluar jam tertentu.  Nah... akhirnya tak jarang pula barang bawaan tersebut disita atau diamankan oleh awak pesawat atau petugas haji karena berlebih bobot dari yang seharusnya, atau bisa jadi takut membahayakan didalam pesawat. Bukankah ini mubajir dan buang buang percuma.  Tapi inilah uniknya jemaah haji kita, sesuatu yang menjadi kebiasaan berbekal kemanapun pergi, menjadi kahurusan juga pada saat berhaji, padahal itu sudah dihimbau dan dilarang, untuk  membawa perbekalan sesuai aturan dan yang diperlukan saja. Bukankah ini tradisi/kebiasaan yang bikin repot,..... 

Dan  yang  menghebohkan lagi,  tradisi yang selama ini berjalan.  Tradisi  antar  jemput haji, dari keluarga ataupun kerabat, tetangga.  Berpuluh  orang dengan  berbagai  tumpangan atau kendaraan.  Bahkan  ada  yang  seolah bedah  desa hanya sekedar mengantar sicalon haji yang hanya satu atau dua orang,  apalagi bila calon haji tersebut adalah tokoh masyarakat yang disegani.  Akibatnya... banyaknya para pengantar,  sudah diduga macet, semerawut,  bahkan  bisa mungkin terjadi  kisruh, karena para pengantar berebut ingin yang dahulu berada ditempat pada tempat yang tidak mencukupi menampung orang sebanyak itu, selain jemaah haji. 

Tradisi antar jemput haji sampai seperti bedah desa, dipertahankan  atau  memang  harus  seperti ini .......  tidak sedikit  kejadian  antar  penjemput akibat saling dorong berebut posisi menjadi ribut,  aparat  sendiri kewalahan untuk mengambil tindakan.   Sesungguhnya mungkin  si calon haji dibenaknya biasa saja, bahkan tidak mau diantar yang berlebihan seperti menunjukan kesombongannya,  tetapi dari sisi keluarga yang lain yang memaksa harus diantar sesuai tradisi yang sudah turun temurun.  Apakah jika memang ini tradisi yang harus di jalankan.... ?  

Betul....seorang  berangkat  haji tetap butuh dukungan moral, doa, itu sudah pasti. tetapi apakah harus dengan gaya bedah desa ...  Sungguh memang, seseorang yang  berangkat haji, adalah berperang,  perang dalam kemenangan bisa menjalankan rukun  Islam  yang tertinggi. Perang  melawan iman yang  tetap harus  dimenagkan ketika pulang berhaji. Perang terhadap kepasrahan dalam keikhlasan yang hakiki. Dan perang untuk tetap harus tawakal dalam iman dan perbuatan.  Dan  perang  apakah  bisa kembali dengan selamat atau harus menerima ajal,  meninggal  ditanah  suci.   Mungkin apakah  ini  salah satunya  yang menjadikan  tradisi antar jemput yang  berlebihan. 

Mungkin  masih  perlu waktu  panjang untuk  dapat  meminimalisir tradisi antar jemput ini. Siapa tahu  tahun  berikutnya,  keberangkatan haji lebih efisien dan bagi si calon haji tidak direpotkan,  dari keluarga si calon hajipun tidak perlu repot-repot.    Calon  haji tidak  perlu  diantar  jemput oleh keluarga,  panitia haji apakah dari agen perjalan ataupun intansi terkait yang akan mengantar jemput.  Calon  haji dan  keluarga cukup menunggu dirumah,  dan mungkin  akan lebih leluasa untuk melepas beban  dan  doa  kepada sicalon  haji,  sambil  menunggu  petugas  haji  yang  menjemput.  Dan segala perbekalan  yang  tidak  memenuhi  aturan  bisa langsung di tinggalkan.  Sehingga tidak  mubajir, bisa dimanpaatkan oleh  keluarganya. 

Semoga para jemaah  haji yang baru  pulang, mendapatkan  apa yang menjadi doanya... yaitu MABRUR

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun