Perkembangan internet yang semakin maju menyebabkan terjadinya kemajuan di berbagai bidang. Data Reportal (2024) menyatakan bahwa penggunaan internet terus tumbuh dari waktu ke waktu, sebanyak 5,45 miliar orang di seluruh dunia menggunakan internet pada awal Juli 2024. Hal ini setara dengan 67,1 % dari total populasi di dunia dan menunjukkan bahwa pengguna internet saat ini telah menjadi "mayoritas super". Berkembangnya internet telah meningkatkan arus informasi secara signifikan dan memenuhi kebutuhan manusia akan informasi yang cepat dan mudah diakses.
Kemajuan internet juga berhasil memenuhi keinginan manusia yang selalu haus akan informasi. Terdapat berbagai macam pilihan media informasi yang tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Hasil survey dari Status Literasi Digital 2021 mengatakan bahwa terdapat 73% masyarakat yang mencari informasi melalui media sosial (Humaira, 2022). Hausnya manusia akan informasi membuat media korporasi dan media kelompok menjadi wadah untuk menampung dan memberikan informasi kepada manusia.
Media korporasi merupakan beberapa perusahaan media yang diintegrasikan dan dikelola sebagai satu perusahaan besar dengan fokus pada persaingan bisnis guna mencapai profit (keuntungan) (Diehl & Karmasin, 2013). Maka, informasi yang disajikan oleh media korporasi kurang berfokus pada kepentingan publik, melainkan dapat digeser guna memenuhi upaya memaksimalkan profit para pemilik kekuasaan. Sehingga, media kelompok hadir untuk menyuarakan kepentingan publik, kaum marjinal, minoritas dan isu sensitif. Tujuan utama media kelompok adalah menjaga sistem media yang demokratis dengan melibatkan individu yang sering diabaikan dari praktik media dan para pemangku kebijakan (Diehl & Karmasin, 2013).
Kehadiran media kelompok menjadi gerbang pembuka bagi mereka yang selama ini diredam oleh pemilik kepentingan untuk menyalurkan pendapat hingga keresahan yang dialami. Media kelompok berpotensi sebagai wadah untuk menampung dan mengaktifkan hak warga negara. Hal ini dikarenakan media kelompok hanya mencakup skala kecil dan merujuk kepada sekelompok orang dengan kepentingan serta ketertarikan yang sama (Sudibyo, 2004 dalam Eddyono, 2012). Sehingga, mereka yang merasa bahwa opininya tidak terwakili oleh media korporasi, beralih ke media kelompok untuk mencari ruang yang lebih inklusif dan relevan dengan mereka.
Media kelompok menciptakan komunitas dengan narasi dan sudut pandang yang lebih spesifik, sehingga terasa lebih "dekat" bagi orang-orang yang memiliki pandangan serupa. Salah satu contoh media kelompok di Indonesia adalah Konde.co, sebuah media kelompok yang berfokus pada isu sosial, terutama yang berkaitan dengan perempuan, minoritas, dan kelompok yang sering terpinggirkan. Secara aktif, Konde.co membahas masalah terkait kesetaraan gender, hak-hak perempuan, HAM, serta isu lain yang sering tidak mendapatkan cukup perhatian di media arus utama. Konde.co memberikan suara bagi kelompok yang sering kali kurang terwakili, sehingga menjadikannya platform yang penting dalam memperjuangkan perubahan sosial dan advokasi untuk kaum marjinal.
Rasa "dekat" atau "kedekatan" yang ditimbulkan oleh media kelompok, mengakibatkan orang yang terlibat di dalamnya cenderung akan terus terpapar pada informasi yang mendukung keyakinan mereka. Hal ini dapat menimbulkan efek "echo chamber" yang dikhawatirkan dapat menjadi "bumerang", sehingga bukan menciptakan kebebasan sepenuhnya, kendali masih tetap ada, dan bahkan berpotensi untuk menimbulkan masalah baru.
Sekilas Tentang "Echo Chamber"
opini, ataupun sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan dan pandangan yang sudah mereka miliki. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang cenderung berinteraksi dengan komunitas, media, atau platform yang memperkuat pandangan mereka, sambil mengabaikan dan menolak informasi yang berbeda atau berlawanan. Cara kerja "echo chamber" adalah sebuah pandangan atau opini tertentu diulang dan diperkuat oleh komunitas dengan menentang informasi yang bertentangan dan cenderung hanya mengakses sumber informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka (Paramita, 2024). Hal ini semakin didukung dan diperkuat dengan adanya algoritma yang dimiliki oleh media sosial.
Boutyline & Willer (2017 dalam Paramita, 2024) menyebutkan "echo chamber" atau "ruang gema" merupakan fenomena yang menggambarkan keadaan seseorang di mana dia mendengar suara sendiri secara terus menerus. Seseorang hanya terpapar pada informasi,