Masih dalam suasana tahun baru 2017, seorang  pria ditangkap oleh Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri di Malaysia. Dia menjadi tersangka pelaku perdagangan warga negara Indonesia di negeri jiran tersebut.
Kasus perdagangan orang memang bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Sampai tahun 2016, telah ada 199 pelaku TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) dihukum oleh pemerintah, 5.668 Warga Negara Indonesia menjadi korban perdagangan orang di luar negeri, serta 441 korban TPPO telah disediakan tempat perlindungan sementara dan pelayanan untuk pemulihan yang semuanya dari pemerintah.
Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran bekerja di luar negeri, apalagi jika diimingi dengan gaji yang lumayan. Dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang kurang memadai, tentunya hal ini menjadi kesempatan luar biasa. Biasanya, anak-anak perempuan di desa menjadi sasaran empuk bagi pelaku TPPO untuk melancarkan aksinya.
Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), TPPO merupakan kejahatan yang sangat serius terhadap kemanusiaan, suatu bentuk perbudakan modern yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi. TPPO tidak saja melibatkan mafia yang bisa jadi orang terdekat korban sampai mafia internasional sehingga TPPO dikategorikan sebagai kejahatan transnasional.
TPPO atau human trafficking dapat diartikan sebagai kegiatan ilegal yang meperdagangkan manusia dengan tujuan reproduksi perbudakan, eksploitasi seksual komersial, kerja paksa atau bentuk perbudakan modern lainnya.
Kasus perdagangan manusia kini masih marak terjadi dengan berbungkuskan berbagai modus. Mirisnya, masih saja banyak masyarakat yang tertipu. Alih – alih mendapat pekerjaan layak dengan gaji besar, mereka justru menjadi korban yang nasibnya memprihatinkan.
Ada berbagai faktor yang menjadi  penyebab terjadinya perdagangan manusia, selain karena kebutuhan juga karena minimnya pengetahuan masyarakat mengenai hal ini. Banyak warga yang bahkan tidak tahu bahwa perjanjian yang mereka setujui akan membawa malapetaa bagi hidup mereka. Dengan dalih membantu memperbaiki nasib, para pelaku memakai cara cerdik untuk menipu korbannya demi keuntungan pribadi.
Melawan Kejahatan
Merosotnya nilai – nilai etika, moralitas dan spiritual semakin mendorong meluasnya tindak kejahatan termasuk perdagangan manusia. Anak – anak lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia internet dan membuka situs yang tidak seharusnya mereka buka. Oleh karena globalisasi, mereka tidak lagi hidup di zaman di mana budi pekerti ditanamkan sejak bangku sekolah dasar.
Kebutuhan para remaja pun semakin kompleks. Tidak heran jika ada saja anak muda yang tega menjual temannya sendiri demi keuntungan pribadi.
Belum lagi ditambah dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi. Hal ini bisa menjadikan sebuah ‘motivasi’ bagi anak maupun anggota keluarga lain untuk rela menjual dirinya demi kehidupan yang lebih baik. Akibatnya, bukan malah menjadi lebih baik tapi justru semakin menambah beban keluarga saat mereka menjadi korban TPPO dan dinyatakan hilang atau bahkan meninggal.