Mohon tunggu...
Gabryella Sianturi
Gabryella Sianturi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

Penulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

All You Can Eat: Sebuah Konsep Restoran yang Melahirkan Manusia Buas

15 Juli 2020   16:06 Diperbarui: 5 Agustus 2020   02:28 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisnis restoran semakin hari kian menjamur. Restoran-restoran kini tak lagi hanya mengandalkan rasanya saja, tetapi juga menciptakan keunikannya sendiri baik dari segi variasi makanan, harga, dekorasi tempat dan pelayanan untuk menarik minat konsumen. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (2018), penyedia makanan dan minuman mengalami pertumbuhan yang meningkat sejak tahun 2017 yaitu sebesar 5,48% menjadi 6,05% di tahun 2018. Pertumbuhan juga terjadi di tahun 2019 sebesar 6,62% pada triwulan I tahun tersebut. Konsep restoran pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu full service dan self service. Restoran full service yaitu menujukkan bahwa konsumen dilayani dengan penuh perhatian, sementara self service yaitu konsumen melayani dirinya sendiri.

Salah satu restoran yang menggunakan konsep self service adalah restoran all you can eat. Konsep ini menerapkan kita membayar sejumlah uang tertentu, dan bebas makan apa saja hidangan yang disajikan. Kebanyakan restoran menerapkan batasan waktu seperti dua atau tiga jam bagi konsumen untuk melahap makanannya. Dengan harga dan waktu yang ditentukan, tak heran para konsumen sebisa mungkin memanfaatkan kesempatannya secara maksimal. Di sinilah manusia tiba-tiba berubah menjadi "buas" dengan melahap makanan yang tersedia, yang sebenarnya juga di luar kapasitas dirinya.

Konsep tersebut menjadi bukti bahwa manusia bisa sangat rakus dan tak ingin merugi. Seperti yang ditulis oleh David R. Just dan Brian Wansik pada 2011 dalam paper berjudul "The Flat-Rate Pricing Paradox: Vonflicting Effects on All-You-Can-Eat Buffet Pricing", dijelaskan bahwa tingkat konsumsi meningkat seiring dengan harga yang diterapkan oleh restoran. Dalam sampelnya yaitu restoran pizza all you can eat, ditemukan bahwa dengan harga murah konsumen cenderung akan merasa biasa saja dan berpikir bisa membeli kapan saja. Hal tersebut terlihat saat diadakannya diskon sebanyak 50%, yang mengakibatkan terjadi tingkat penuruan hingga 27,9%. Berbeda saat diharuskan membayar harga normal dengan konsep bisa makan dengan sepuasnya, konsumen cenderung mengonsumsi lebih banyak. Hal tersebut tentu tak lepas dari perasaan manusia yang tidak ingin merugi.

Di balik konsumen yang mencoba memaksimalkan waktu dengan isi perutnya, sebenarnya pelaku bisnis makanan tersebut juga memiliki strategi-strategi agar tetap mendapatkan keuntungan yang banyak. Manusia-manusia yang diciptakan menjadi "buas" tersebut tanpa sadar telah dicengkram oleh pelaku bisnis. Seperti yang dikatakan Marion Nestle, "Kita membutuhkan makanan untuk hidup. Tetapi tujuan perusahaan makanan bukan untuk mempromosikan kehidupan, kesehatan, atau kebahagiaan kita; tapi tujuan mereka adalah untuk menghasilkan uang bagi eksekutif dan pemegang saham".

Dilansir dari tirto.id dalam artikelnya yang berjudul "Rakus dan Pelit pada Maid Menu ala Resto All You Can Eat", konsep all you can eat telah muncul pada abad 18, pelopornya adalah Swedia yang punya kultur Swedish Smorgasbord. Pada awalnya sistem tersebut diperuntukkan bagi pejalan yang kelaparan. Dengan sejumlah biaya tertentu, pejalan dapat menyantap makanan Swedia secara berurutan dimulai dari roti, mentega, ikan asin, telur, sayur mayur, irisan daging, salad dan diakhiri dengan makanan penutup dan kopi. Kemudian pada 1939, sistem tersebut masuk ke Amerika melalui pameran di New York. Kebanyakan restoran all you can eat di Vegas buka selama 24 jam dan hal tersebut mengakomodir penjudi yang tak kenal waktu.

Di Indonesia, konsep tersebut sudah ada sejak dulu namun dengan cara bayar apa yang dimakan. Konsep itu dapat kita temui di semua warung Tegal atau rumah makan Padang. Lalu pada satu dekade terakhir, konsep all you can eat yang membayar satu harga lalu makan sepuasnya berkembang pesat di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Jenis makanan yang ditawarkan bisnis ini pun beragam, mulai dari dimsum, sushi, aneka pasta, dan daging-daging segar. Publikasi dari maraknya konsep restoran ini pun sangat luas, hal itu sering kita temui dalam iklan yang kerap muncul di berbagai macam platform media. Tak hanya itu, food vlogger dengan 2,4 juta subscriber seperti Farida Nurhan pun ikut melanggengkan bisnis all you can eat ini. Hal itu terlihat dari konten-konten youtubenya saat melahap daging dan seafood secara membabi buta di beberapa resotoran all you can eat.

Pelaku bisnis all you can eat  membujuk konsumen untuk datang terus-menerus demi menyantap makanan dengan sepuasnya lewat harga yang sudah ditentukan mulai dari Rp.90.000 - 500.000. Mindset tak ingin merugi yang dibagun para konsumen pun semakin mendorong iklim konsumerisme terhadap makanan, belum lagi jika ada restoran yang menawarkan harga murah. Dalam mendistribusikan bisnisnya, pelaku bisnis juga memiliki strategi agar tetap meraup keuntungan, yang mungkin tidak kita sadari adanya.

Pertama, sistem batas waktu makan. Pada umumnya restoran ini memberikan batas waktu selama 90-120 menit pada konsumennya. Waktu tersebut diberikan guna membatasi konsumen dari kemungkinan makan berlebih. Padahal di balik itu, juga agar pengunjung tidak mengantre terlalu lama sehingga konsumen dapat berganti lebih cepat.

Kedua, godaan side dish, sayuran dan dessert. Cara lain pemilik modal menambah keuntungan adalah dengan membuat siasat hidangan side dish. Ketika pemilik restoran menyajikan daging-daging secukupnya, yang memang pada akhirnya akan diisi ulang bila habis, mereka mengeluarkan side dish. Padahal, side dish mengandung makanan yang tinggi karbo dan cenderung membuat kenyang. Pada akhirnya, saat menyantap daging, kita enggan mengambilnya lagi karena terlanjur kenyang.

Ketiga, manusia memilki kapasitas makan. Dilansir dari tirto.id dalam artikel yang berjulul "Seberapa Kuat Manusia Normal Makan dalam sekali Duduk?", rata-rata kemampuan perut manusia hanya bisa menampung 1 kilogram makanan dan 1,5 liter cairan. Pemilik restoran mengambil potensi makan konsumen dengan mematok kapasitas makan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun