Daripada seorang fana, terdapat sengketa yang tidak kian berakhir, pertempuran abadi menjemput Hati dan Benak. Konfrontasi sederhana, tetapi begitu manusia. Sungguh Ia begitu terampil, menciptakan dunia mandiri daripada lubuk fana. Ketika ciptaan-Nya terjatuh, Ia menugaskan Hati dan Benak untuk membangkitkan-nya.Â
Ia adalah seorang buruh sederhana, pakaiannya yang kusut, berbolong, serta dipenuhi dengan debu semen menjadi senjata ampuhnya. Berkulit sawo matang dari kerasnya sinar matahari, seolah-olah tangannya tidak kasar layaknya sebuah amplas. Ia nampak sama, tetapi sungguh berbeda. Ketika ia selesai menjadi seorang buruh, tempat itu menjadi lokasi favoritnya.Â
Berjalan sejenak dengan sandal jepit, ia kembali bersandar pada bangku kayu di tepi sungai. Memandang indahnya langit sore ditengah kota Metropolitan tiada tara. Seakan ia menunggu seseorang untuk datang dan beristirahat pada bahu keras miliknya. Namun, penampilan kumuh itu meyakinkan para fana untuk tidak duduk bersama. Tetapi tak apa, ia sudah terbiasa.Â
Ia terdiam, memandang keruhnya sungai Jakarta. "Riak air payau itu begitu indah.", kata Benak pikirannya.Â
"Ya, Benak. Kau benar, riak itu begitu indah." balas Hati.
"Hati, aku ingin bertanya sesuatu kepada-mu."
"Mengapa Benak?"
"Apakah ini hidup yang kita inginkan?
"Hidup apa?" tanya Hati dengan pelan.
"Hidup yang begitu repetitif, berulang-ulang, setiap hari kita bangun pada pukul tujuh pagi, bekerja selama sembilan jam, mengangkat sak semen kesana-kemari, untuk apa? Untuk apa hidup menjadi seperti ini? Mana kesenangan yang dijanjikan oleh-Nya?" tanya Benak dengan amarah.
"Akan ada waktunya Nak."
"Sudah berapa lama hati? Sudah berapa lama kita duduk disini, terdiam tak bersuara! Tidak-kah kau lihat disana? Mereka memandang kita layaknya seorang hewan yang telah binasa. Seorang yang telah kehilangan akalnya!" lanjut Benak.
Dibalik konfrontasi yang begitu fenomenal, tatapan ia kosong, memandang riak air hijau yang tak jelas, memperhatikan sampah botol plastik yang terombang-ambing dari gelombang air. Entah apa yang berada di pikiran seorang buruh, tersandar dengan tatapan kosong, serta senyuman kecil.
"Lalu?"
"Lalu? Aku lelah Hati, sungguh lelah, mencoba mengangkat derajat yang tiada arti bagi manusia."
"Kehadiran kita di dunia telah menjadi sebuah pengangkat derajat bagi diri ini Benak." balas Hati dengan nada menenangkan.
"Menenangkan siapa? Kita diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar, lebih besar apa? Karung semen?"tanya Benak dengan meremehkan.
"Benak, aku dan kamu diciptakan untuk menjalankan peran sebagai pengambil keputusan, seorang yang penting diantara segala dunia fana yang tak jelas ini. Memang benar, kehadiran kita terkesan tiada makna, tetapi bagi diri seseorang kita adalah sebuah adiwarna. Seorang yang tidak tergantikan."Â
Ketika Hati berkata demikian, Benak menjadi tenang. Ia terdiam dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Hati.
Suara yang tiada makna, tetapi sesungguhnya mereka adalah jati diri seorang fana. Pada akhirnya, sebuah pertanyaan diberikan. Diantara dunia yang begitu absurd dan kehadiran benak yang kritis tiada tara, apakah hati seorang penenang sejati?Â