Mohon tunggu...
Gabriel Lionel Wito
Gabriel Lionel Wito Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

seorang pelajar Kolese Kanisius

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tujuan Hidup....

19 Mei 2024   14:55 Diperbarui: 20 Mei 2024   23:01 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apa yang penting dalam hidup ini? Mengapa kita hidup? Seberapa penting hidup kita bagi orang lain? Pertanyaan-pertanyaan reflektif sederhana yang seringkali kita dalami dikala konflik mengisi jiwa, ketika nalar bertumbuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak, mana yang harus kita lakukan dan mana yang kita biarkan. Dalam momen ini kita patut berterima kasih pada-Nya, kita diberikan akal dan budi yang kompeten. Pertanyaan yang kian tak terjawab oleh akal dan budi, apa kepentingan kita dan apa yang orang lain inginkan? Selalu saja, akal dan budi saling memandu untuk menyambut jawaban, tetapi selalu saja menemukan buntu. Selakunya seorang manusia, kita mencari kepentingan adalah makanan sehari-hari, menjelma menjadi seseorang yang memberikan dampak pada sesamanya, memahami apa yang diinginkan oleh orang lain. Tapi kita tak pernah paham, apa yang penting bagi diri ini maupun orang lain.

Pertanyaan ini kian tak terjawab, ditambah dengan percikan api dari kontroversi inseminasi buatan membuat pikiran ini tak terdiam. Layaknya sebuah bensin yang disemburkan pada api yang membara, membahas inseminasi buatan adalah sarana untuk menjawab pertanyaan ini. Kali ini perspektif ekstrim dikenakan, bagi beberapa orang inseminasi buatan adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan. Membuat seorang janin di laboratorium, bagi janin ada dua pilihan yang bergantung pada pembuat, entah bertumbuh di ovarium ataupun tabung. 

Berusaha untuk mendalami peran sebagai pasangan yang tak fertil, tak bisa melahirkan. Apa perspektif mereka? Untuk memperkecil aspek pendalaman peran, satu tema yang dijalankan "aku ingin punya anak". Membayangkan keinginan mempunyai anak sebagai penerus keluarga dan sumber kebahagiaan, tetapi dihadapi dengan fakta bahwa kami tidak memiliki kemampuannya. Setelah berbagai program dilaksanakan, berbagai usaha natural dilakukan, inseminasi buatan jawaban akhirnya. Dulu dilarang di Indonesia kini diperbolehkan. Sperma suami, sel telur istri diambil, dibuahi di laboratorium. Berbagai sel dihasilkan, berbagai genetika terlarang ditemukan, sel yang baginya cacat dibuang. Inikah bermain Tuhan? Menyeleksi apa yang seharusnya kita biarkan. 

Terpilih dari sekian banyak, kini dia lahir atas seleksi manusia. Saudaranya yang dianggap cacat dibuang. Lahir dengan tujuan untuk memenuhi keinginan orang tuanya akan seorang keturunan. Seluruh hidupnya dia lahir, orang tuanya begitu protektif. Seorang anak tunggal, dibawah kekangan ayah-bunda. Mampukah dia menemukan tujuan hidupnya?  Menjadi seorang yang lahir untuk memenuhi kepentingan ayah bunda, tetapi hidup ini penuh misteri, tujuan sudah disiapkan oleh Ia yang berkuasa. Walaupun kita tidak mengetahuinya, Ia bekerja dengan cara yang misterius. Mungkin inilah kepentingan dia dilahirkan, untuk hadir sebagai sebuah perantara Ia dan ayah bunda. 

Pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh perspektif sederhana. Berkaca kembali kepada apa yang menurut kita penting di dalam hidup ini. Terkadang kita tak tahu apa yang penting dalam hidup ini. Hidup ini penuh konflik dan tantangan tetapi begitu menarik akhirnya. Apa yang kita anggap penting? Keluarga? Agama? Teman? Sekolah? Kita tak bisa menjawabnya, mereka begitu hadir dalam hidup kita, kehilangan satu mungkin berdampak besar bagi diri ini. Dari mereka kita telah berilmu, dari mereka kita telah beretika, dari mereka kita telah bertahan, dan dari mereka pelajaran yang begitu penting diberikan. Untuk hidup adalah untuk menghargai proses, sebagaimana dikatakan oleh Nietzsche "To live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun