Representasi dalam film, kata yang mungkin jarang didengar oleh banyak khalayak orang. Tapi bagi saya itu adalah makanan sehari-hari selama masa kuliah dulu. Representasi menurut salah satu pakar teori kritis, Stuart Hall, representasi merupakan penghubung makna antara bahasa dan budaya. Makna dalam representasi sendiri bisa dilihat dari penggunaan bahasa, tanda, dan gambar. Tapi di sini tidak mungkin bahas materi kuliah semester 5 saya dong ya. Di sini saya mau berfokus pada sebuah hal yang beberapa tahun belakangan ini menjadi keresahan saya. Karena dalam praktiknya representasi ini sering dikaitkan dengan isu sosial yang lebih luas, seperti apa yang kini disebut woke agenda.
Sebenarnya woke agenda bukanlah hal yang baru di dunia ini. Istilah woke pertama kali dicetuskan oleh orang Afrika-Amerika pada abad ke-20. Saat itu, penduduk kulit hitam di Amerika mengalami berbagai hal negatif mulai dari penindasan, minimnya akses pendidikan, hingga rasisme. Istilah woke agenda ini pun mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Wajar saja karena woke agenda sebenarnya adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial, terutama di kalangan minoritas.
Namun, woke agenda saat ini telah diadopsi sebagai kata kunci bagi berbagai gerakan sosial, salah satunya adalah LGBT, seperti yang dapat dilihat di media sosial. Tujuan dari woke agenda ini adalah untuk meningkatkan kesadaran sosial tentang hak-hak dan isu-isu sosial. Dan percaya atau tidak, woke agenda ini sudah merambat ke mana-mana entah itu di dunia nyata maupun dunia hiburan.
Saya sebagai manusia kelahiran tahun 2000-an awal cukup kritis dengan hal-hal yang menyangkut soal budaya pop atau pop culture terutama di dunia perfilman. Disney, perusahaan raksasa di dunia hiburan yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun lamanya, terlihat sangat mengedepankan inklusivitas dalam film-film mereka. Contohnya membuat Ariel dari film The Little Mermaid, Velma dari Scooby Doo, hingga yang paling parah seorang karakter bersejarah Cleopatra, menjadi berkulit hitam. Semua ini demi "melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya".
Representasi dalam sebuah film memang baik agar inklusivitas dapat tercapai. Tapi memangnya harus seperti itu? Saya yang melihat ini bukannya respek terhadap apa yang dilakukan tapi malah kesal. Kenapa harus dipaksakan seperti itu, apakah para perusahaan besar ini sudah tidak memiliki ide untuk membuat cerita baru yang menyertakan representasi dari kaum-kaum yang kurang mendapatkan representasi dalam media populer? Rasanya aneh juga jika melihat woke agenda yang dipaksakan seperti ini masih berlanjut. Pasalnya jika dilihat dari reaksi pengguna media sosial, kebanyakan di antaranya adalah ejekan dan ketidaksetujuan. Salah satu bukti nyatanya adalah trailer ketiga film tersebut memiliki jumlah dislike yang sangat tinggi.
Kalau tidak dipaksakan terus bagaimana? Ya buat sebuah film baru, dengan karakter baru, cerita baru, semuanya baru. Dan jangan buat saja, semua aspek film juga harus berbobot. Minggu lalu saya barusaja selesai menonton musim kedua dari serial Squid Game. Di sana ada seorang karakter yang menarik dan bisa menjadi contoh untuk para perusahaan yang bergerak di dunia hiburan jika ingin membuat representasi. Karakter yang saya maksud bernama Jo Hyun-ju, yang digambarkan sebagai seorang transgender.
Hyun-ju adalah seorang mantan tentara sehingga ia sangat disiplin dan memiliki kemampuan bagus dalam pertempuran. Dia memiliki banyak masalah dalam hidupnya ketika memutuskan menjadi transgender. Dipecat dari pekerjaannya, dibuang oleh teman dan keluarganya, membuat dia tidak memiliki penghasilan dan akhirnya terjerat hutang, seperti motivasi kebanyakan orang yang mengikuti permainan Squid Game. Karakter yang memiliki latar belakang kompleks dan masalah hidup seperti ini menjadi salah satu contoh di mana representasi karakter minoritas dapat diterima apabila karakter tersebut memiliki keunikan tersendiri. Karakter seperti Hyun-ju menunjukkan bahwa representasi yang otentik tidak perlu dipaksakan. Ia memiliki latar belakang yang kompleks, motivasi yang kuat, serta perkembangan karakter yang membuatnya terasa manusiawi dan relevan.
Ditambah lagi ada scene di mana terdapat pandangan karakter dari dua generasi berbeda yaitu Jang Geum-ja, seorang wanita paruh baya, serta anaknya Park Yong-sik, seorang lelaki milenial. Geum-ja sempat bertanya tentang penampilan Hyun-ju. Ketika Yong-sik menjelaskan tentang transgender di masa sekarang, ia nampak bingung serta heboh sendiri. Walau begitu Hyun-ju, Geum-ja, serta Yong-sik pada akhirnya tetap menjadi dekat dan Geum-ja memahami keadaan Hyun-ju.
Sebagai tambahan, apakah saya mendukung woke agenda atau tidak? Saya akan jawab tergantung apa yang ingin diperjuangkan. Jika menyangkut soal film, maka saya takut apabila woke agenda terus dimasukkan secara paksa seperti ini. Karena nanti apabila masyarakat menerimanya maka para pembuat film akan semakin malas membuat cerita baru yang berkesan. Pada akhirnya, representasi yang bermakna adalah representasi yang lahir dari cerita yang otentik, bukan sekadar pemaksaan agenda. Jadi, pertanyaannya: apakah kita sebagai penonton siap mendukung karya yang berani mengeksplorasi narasi baru, atau justru menerima saja tren yang ada sekarang?