Mohon tunggu...
Gabriella Gloria Stephanie
Gabriella Gloria Stephanie Mohon Tunggu... -

who i am makes a difference. 1 Timothy 4: 12

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Perpisahan Bukan Sebuah Akhir

18 Juni 2013   18:35 Diperbarui: 4 April 2017   18:23 5346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamis, 13 Juni 2013 [caption id="attachment_268738" align="alignnone" width="300" caption="Guru Bahasa Inggris (1-2 SMP) dan Agama (3 SMP)"][/caption] Pagi ini, aku bangun seperti hari-hari biasanya; seperti pagi-pagi biasanya. Cuaca cukup mendung dan angin sejuk meniup rambutku yang masih basah. Aku rasa, aku belum siap. Belum siap secaramental dan juga secara emosional, untuk mengakhiri tahun ajaran yang paling berkesan dalam masa-masa SMPku. Kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah, mengesankan, dan sulit dilupakan. Tapi, aku kira masa SMP juga tidak beda jauh. Terutama di jenjang terakhir SMP, yaitu kelas 9. Tahun ini berlalu begitu cepat. Tidak terasa, aku melewati berbagai rintangan, berbagai acara, berbagai pelajaran, juga berbagai masa suka dan duka. Dalam usiaku yang ke 14, aku lebih mengerti apa gunanya keluarga dan teman, bagaimana rasanya jatuh cinta dan sakit hati, bagaimana rasanya mencintai sahabat sendiri... [caption id="attachment_268737" align="alignleft" width="300" caption="Guru Sejarahku, asal Kanada :)"]

137155510565520401
137155510565520401
[/caption] Itu lah hidup, bukan? Itu lah kehidupan remaja saat ini. Tidak jauh dari pergaulan, pertengkaran, dan percintaan. Tapi, bagaimana jika aku belum siap? Jika aku belum siap untuk berpisah dengan teman dan sahabatku? Berpisah dengan dia yang memikat hatiku? Berpisah dengan dia yang juga menghancurkan hatiku? Berpisah dengan orang tua? Atau berpisah dengan guru-guru favoritku di sekolah? Aku tiba di sekolah pukul 7 kurang 20 menit. Lalu aku merasa hal yang berbeda. Kekosongan. Mungkin, karena locker tempat dimana aku selalu menyimpan tas dan buku-buku pelajaran sudah benar-benar kosong melompong. Seperti locker baru yang kudapati di awal tahun. Lalu, aku mulai bertemu dengan teman-temanku. Untuk yang pertama kalinya, mungkin, atau terakhir kalinya juga, aku melihat muka-muka mereka yang begitu senang untuk menyambut libur kenaikan kelas yang sudah ada di depan mata. Kelasku, terdiri dari 16 murid, termasuk aku, dan dua di antara kami akan pindah sekolah tahun depan. Salah satu di antara dua murid itu adalah aku. Cukup berat bagiku, untuk meninggalkan sekolah yang sudah kuhuni sejak TK. Mamaku bekerja di sekolah di mana aku belajar, dari ia masih single, sampai ke dua adikku lahir. Karena itulah, Mama adalah sosok penting dalam hidupku. Tanpa dia, aku tidak akan mampu bersekolah di sekolah internasional seperti ini.. Bukan 12 atau 13 tahun, aku berada di area kampus sekolah. Tapi selama hidupku, sejak aku masih di perut mama. Sekolah mungkin sudah menjadi rumahku yang kedua. Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usiaku, aku turut menyaksikan berbagai macam perubahan dan petumbuhan sekolahku juga. Perasaanku campur aduk. Antara ingin cepat-cepat pindah atau tidak mau pindah sama sekali. Selain Mama yang bekerja di sekolah, ke dua adikku juga belajar di sekolah yang sama. Tuh kan, aku merasa seperti mengkhianati keluarga sendiri dengan berpindahnya aku ke sekolah lain. Bukan karena sekolahku tidak punya departemen SMA, tapi ada banyak faktor juga yang mendorong keinginanku untuk pindah sekolah. Mungkin bosan, mungkin tidak puas, mungkin juga karena aku ingin kuliah di universitas lokal nantinya, sehingga dengan berpindahnya aku ke sekolah nasional, aku akan lebih mengenal sistem dan kurikulum nasional. Sayang, kelasku bukan kelas yang kompak. Kami tidak merencanakan perpisahan dalam bentuk apapun. Jadi sebagian besar waktu saat kelas lain memiliki acaranya sendiri, kami bermain permainan-permainan kesukaan kami. Permainan favoritku adalah "Dutch Blitz". Sebuah permainan kartu asala Kanada, AS. Dutch Blitz adalah sebuah permainan yang menguji kecepatan dan ketelitian para pemainnya. Jumlah menang dan kalahku tidak beda jauh. Dan 'even bermain bersama yang terakhir' ini akan selalu aku ingat. Permainan Dutch Blitz, walaupun baru ku kenal di hari-hari terakhir saat aku sekolah, aku akan selalu menyukainya dan ingin terus memainkannya jika suatu saat nanti permainan ini tiba di Indonesia. (Permainan Dutch Blitz hanya ditemukan di Kanada Utara, dan tidak semua orang Kanada sendiri tahu cara bermainnya. Guru sejarahku, orang Kanada asli, adalah orang yang mengenalkan permainan tersebut kepadaku). Bisa dibilang, Dutch Blitz dan teman-temanku yang ikut bermain adalah salah satu kenangan terindahku di sekolah lama. Pada akhirnya, tiba waktunya untuk kita berpisah. Selama ini, aku tidak pernah menangis untuk hal perpisahan dan kepindahanku. Tapi, saat sahabatku memelukku, saat itu juga, tanpa dapat kutahan lagi, air mata jatuh dan mencucuri pipiku. Pipi bulatku yang sering dibuat main oleh teman-teman karena kegemasan mereka. Pipi chubbyku yang selalu mereka cubit dan tampar kini memerah dan basah karena hujan air mata perpisahan. Air mata kesenangan, kesedihan. Air mata rindu, penuh tanya, dan penuh harapan... Semua temanku yang kupeluk, satu per satu, menjatuhkan air mataku lebih deras lagi. Setiap pelukan memutar balikkan segala kenangan, segala ingatan: yang baik, maupun buruk, dalam suka, maupun duka - bagaikan film kehidupan yang berputar dalam imajinasiku. Aku mengingat kembali bagaimana dulu kita adalah anak-anak kecil yang lucu, yang tumbuh menjadi anak-anak yang nakal. Anak-anak yang mulai berani berbohong - kepada teman, kepada guru, juga kepada orang tua. Anak-anak yang mulai beranjak remaja dan bagaimana kita saling curhat saat mengalami pubertas. Saat-saat aku dan teman-temanku lulus dari bangku SD, menginjak kaki di gedung SMP sekolahku, dan hari-hari dimana kita menghabiskan waktu bersama. Aku mengingat kembali saat-saat kita lupa mengerjakan PR, saat kita saling menyalin PR satu sama lain di pagi hari, dan saat kita masuk ke ruangan detention karena dihukum. Tanpa dirasa, tiga tahun berjalan begitu cepatnya. Masa SMP-ku, usai sudah. Tanpa dirasa, 13 tahun berjalan seperti angin lewat. Masa sekolahku di SPH International Cikarang usai sudah... Akankah kita bertemu lagi? Dapatkah kita saling bertukar pandangan, berbagi senyuman, dan berceloteh cerita? Berapa lamakah kita akan berpisah? Apakah perpisahan itu seperti ini? Wow. Banyak hal baru yang aku dapatkan hanya di hari terakhir aku ke sekolah. Pengalaman dalam sebuah perpisahan, contohnya. Aku tidak pernah tahu, apa itu perpisahan, dan bagaimana rasanya untuk menangis dalam dekapan teman-teman dan guru-guruku. Tapi akhirnya aku tahu, aku merasakan, dan aku mengalaminya... "But, life goes on". Tetapi, hidup terus berlaju. Orang-orang di sekitar kita pasti berubah - termasuk diri kita sendiri. Tujuan kita berbeda-beda. Dan karena itu lah, ada yang namanya perpisahan, ada pula perjumpaan. Perpisahan bukan akhir dari segalanya. Bukan sesuatu yang harus disesali atau ditangisi siang dan malam. Karena untuk setiap perpisahan, pasti ada pertemuan. Itu, toh, gunanya manusia dan pergaulan? Untuk saling berjumpa, berpisah, dan berjumpa kembali; untuk saling melengkapi.... Perpisahan, bukan akhir dari segalanya. Perpisahan, sebuah awal untuk suatu petualangan baru. Selamat berpisah teman-teman, guru-guru, dan sekolahku. Tapi aku janji, kita akan berjumpa kembali.. ☺

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun