Kaii Soleh namanya pereman gede asal desa si wajik, ia tua, usianya sudah berkepala 5, dan aku sendiri sudah berumur17 tahun lama aku merantau ke Palembang kota di mana Ayah dan Ibu tiriku berada, berharap hidup enak ternyata jauh dari harapan. Harapan tinggal harapan akhirnya ku jalani saja hidup ini dengan lapang dada. Setelah lama di Palembang akhirnya aku putuskan untuk pulang kampong ketempat Nenek, Ibu dari Bapakku. Desa siwajik, ya itu lah nama desaku dimana nenek dari bapakku tinggal, rumahnya cukup lapang berdindingan anyaman bambu yang sudah sedikit reot, lantainya masih tanah liat yang menghitam, rumah nenek terdiri dari 2 kamar berukuran sedang, satu untuk kamar nenek yang satu lagi kamarku disamping kamarku ada dapur tempat nenek memasak masakan yang sederhana namun enak bagiku. Lama diperantauan membuat orang disekelilingku rindu kepadaku. Sudah satu minggu aku di desa ini, hingga akirnya teman lamaku memanggilku dengan keras.
“Assalamua’alaikum buyut, si Deri nya ada ente ?”
“Wa’alaikum salam, si Derinya mah ada tuh lagi di dalam kamar”.
“Deriiiiiiiii….?!, keluar atuh, cepetan”. Teriak si Subki teman lama ku
“ada apa emangnya” Tanya nenek sedang aku mendengarkan percakapan mereka
“Si Deri di panggil Abah (bapak), katanya disuruh kesana mampir kerumah”
“Oh, gitu tah…”jawab nenek dengan manggut2
Mendengar jawaban si Subki jantungku berdetak kencang, aku merasa takut mendengar nama Abahnya si Subki. Ya gimana nggak takut, si Mang Soleh yang sering aku panggil Kaii itu terkenal dengan sebutan “PEREMAN GEDE” bukan pereman biasa.
“Ada apa si Kaii manggil aku?” ujarku dalam hati
Deg…Deg… Deg…! “ bunyi detak jantungku kian cepat rasanya mau copot
“Deri…, cepet atu dipanggil mang Soleh buat datang kerumhnya”. Panggil nenek hingga membuyarkan lamunanku tentang kekhawatiranku.
“Iya nek”. sahutku dan langsung keluar kamar.
“Cepet Deri.. ditungguin Abah dirumah.
Setelah itu aku dan Subki pamit sama nenek. Dan dijalan kami bercerita panjang lebar tentang aku yang merantau ke Palembang yang katanya kota enak.
“Gimana kabar kamu Der ??”
“Alhamdulillah, baik…kamu sendiri gimana ?”
“Ya alhamdulillah sehat juga, eh ngomong-ngomong enak gk tinggal di Palembang, kapan-kapan ajak aku yah, aku jg kepingin datang ke Palembang yang kata orang kota bagus dan cepet dpet kerjaan”.
“Menurut aku mah enakan tinggal di desabisa ternak ayam disini, terus bisa jadi Juragan Ayam deh.. heheh” ujarku sambil cengegesan, ngomong-ngomong ni Abah kamu kenpa nyuruh aku main segala”.
“Nggak tau juga, pas tau kamu ada didesa si Abah langsung nyuruh aku buat jemput kamu, alasannya kenpa aku jga kurang tahu”. Tungkas si Subki
“Ohhhhhh” jawabku datar
Sesampainya di rumah Subki. Aku mencari-cari sosok Kaii setelah tengok kanan-kiri akhirnya aku melihat sosoknya di amben (balai biasanya terbuat dari kayu) di samping rumahnya
“Assalamu’alaikum kaii ?”
“Wa’alaikum salam…., eh si Deri, kesini tong (Entong, panggilan sayang).
Sebenarnya aku takut mendekat melihat kondisi Kaii yang seperti itu, ya lehernya sengklak alias miring, cacat akibat di pelintir hingga patahin oleh seseorang saat berada di Baitul Maqdis. Sebelumnya aku sudah tau dengan kondisi Kaii yang seperti itu dan tahu ceritanya hanya mendengar dari mulut ke mulut warga kampung saja. Dan baru kali ini aku memberanikan diri untuk menanyakan kejadian yang sebenarnya, aku ingin tahu dari orangnya sendiri.
Semula kami saling menayakan kabar, dan bercakap-cakap mengenai pengalamanku di Palembang, dan pada akhirnya aku bertanya soal lehernya itu, memang kurang sopan tapi lebih baik mendengar secara langsung bukan ?, daripada mendengar dari omongan orang yang belum tentu benar…
“Kaii, Deri boleh Tanya ?”
“Mau nanya apa, tanya aja langsung kenapa mesti minta izin segala seperti itu ?”
“Ini… Kaii jangan tersinggung dulu..?” tungkasku
“Iya…” jawab Kaii sembari menatapku
Dengan refleks mulutku berucap
“Leher Kaii itu kenapa bisa begitu…?”
Kaii sempat kaget mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba seperti itu, setelah hilang kagetnya berulah ia bercerita
“Ya Allah, ikh beneran baru kali ini ada yang berani nanyain leher Kaii secara langsung…” tungkasnya sambil manggut2
“Kaii senang ditanyain kayak gitu, salut kaii sama Entong”. Sambungnya lagi
Mendengar kata-katanya seperti itu, aku merasa lega, berarti Kaii nggak marah atas pertanyaanku tadi.
“Sebenarnya apa yang dikatakan oleh warga kampung sini tidak salah…, benar begitu adanya Tong, ya Kaii dulu lama di Pesantren belajar ilmu agama dan lain sebagainya dengan tekun, hingga akhirnya Kaii keluar dari pesantren mencoba tinggal di lingkungan masyarkat, karena Kaii buta dengan lingkungan luar akhirnya Kaii terjerumus dengan pergaulan bebas, dari mulai menjarah, nodong orang, minum-minuman, judi, sampai yang paling parah yaitu sering ngebacok orang. Setelah cukup lama terjerumus akhirnya Kaii mencoba untuk berhenti berkubang di kubangan dosa, sampai akhirnya Allah memberi panggilan berangkat haji dan….” Tiba-tiba Kaii berhenti bercerita
“Dan… apa Kaii ?” tanyaku dengan muka polos
“Ntar dulu atu… Kaii mau ngopi dulu…”
“ehehe iya Kaii….silahkan minum..”
“Ekhm… dan akhirnya Kaii berangkat sama orang tua Kaii. Sesampainya disana saat Kaii beribadah di Masjid Baitul Maqdis tepat disaat kaii dalam posisi duduk diantara dua sujud tiba-tiba leher Kaii ada yang memelintir entah siapa dan datangnya dari mana orang itu, setahu Kaii disekiling Kaii semuanya sedang tekun beribadah. Hingga akhirnya Kaii dirawat dirumah sakit setempat dan sepulang dari haji kondisi kepala Kaii ya… beginilah tidak bisa seperti dulu lagi. Dari situ Kaii tobaaatttt… minta ampun sama gusti Allah”
“Oh, jadi gitu sebabnya…” ujarku sambil memanggut-manggutkan kepala
“Nah, begitu lah sebab kenapa leher Kaii sengklang alias miring kayak gini” tungkasnya
“Mangkanya Entong jangan pernah ikut-ikutan dengan pergaulan bebas, Klau Kaii sih udah tebal ilmu agamanya, jadi kalau tobat kayak sekrang Kaii gak susah-susah lagi. Tinggal menekunin ilmu agama yang sdah Kaii pelajari selama di PonPes
“Iya Kaii… Deri juga takut…, yo weslah Kaii udah mau magrib Deri pulang dulu ntar nenek nyariin… Asslamu’alaikum”. Pamitku setelah mencium tangan Kaii
“Wa’alaikum salam….”
Di sepanjag jalan aku masih kepikiran dengan cerita Kaii waktu di Baitul Maqdis, sedikit bikin merinding juga mendengar cerita Kaii Soleh tadi dan ternyata memang benar kata orang tua, Kiayi, dan Ustadz (guru ngajiku) setiap perbuatan kita yang baik maupun yang buruk akan dibalas secara langsung disana (Rumah Allah) dan disitulah Allah menunjukkan kekuasaanNya…
*Tamat*
*Selamat Berbuka Puasa*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H