Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan si anak sebagai pelaku kekerasan dan penindasan, karena anak tersebut belum mampu untuk menilai baik tidaknya dan akan berakibat apa nantinya, yang ia ketahui bahwa merasa dirinya paling kuat, berkuasa ketika melakukan itu terhadap temannya sendiri bahkan mungkin ia anggap sebagai sebuah lelucon saja. Pendidikan informal dari orang tua itu merupakan hal yang paling penting. Seorang anak cenderung mengikuti apa yang ia lihat dan diajarkan kepadanya. Seorang anak yang masih dalam masa transisi perlu untuk dibimbing melalui pendekatan secara emosional.Â
Apabila di dalam ruang lingkup keluarganya terjadi ketidakharmonisan antara kedua orang tua, seperti kekerasan antara suami-isteri, salah dalam pengasuhan oleh orang lain karena kesibukan orang tua, sering terjadi pembiaran menonton film atau konten yang mengandung unsur kekerasan, mendegar kata-kata tak pantas, sikap orang tua yang menunjukkan ketidakpedulian, depresi, lingkungan sekitar sering terlihat adanya perkelahian atau pertengkaran. Anak yang berada dalam atmosfer tidak baik, akan melihat hal itu sebagai suatu kewajaran karena telah terekam dalam otaknya apa ia lihat dan rasakan. Atau barangkali ia melakukan itu sebagai sebuah tindakan untuk mencari perhatian atau perlawanan terhadap keadaan yang mendominasi.
Kondisi psikologis anak tidak sama dengan anak yang lain. Ada yang cenderung agresif ada yang pendiam. Anak yang agresif gampang sekali terpengaruh oleh tindak kekerasan yang ia lihat sebagai suatu kewajaran, dan sulit untuk mengontrol dirinya sendiri. Hal ini sangat tidak patut kita harapkan karena ada kesenjangan sosial antara si kuat dan si lemah, anak sebagai pelaku bullying tidak memiliki kemampuan untuk memahami tanda-tanda sosial terlebih menentukan baik buruknya tindakan yang dilakukan.
Pasal 1 butir (2) UU No. 35 Th. 2014 menyebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Â
Dalam hal anak sebagai pelaku bullying menurut saya adalah korban pertama dalam ketidakadilan pemenuhan hak-hak untuk dapat bertumbuh menjadi manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Kesenjangan sosial tercipta karena perilaku dan karakter yang buruk dari pelaku bullying karena tidak mendapatkan hak-hak untuk didik sesuai dengan regulasi terkait, tidak diajarkan bagaimana cara bersikap yang baik, bermoral dan berakhlak. Anak adalah generasi penerus bangsa sebagai tonggak awal perubahan sebuah negara.Â
Pertumbuhan anak akan terhambat secara psikologis karena pengasuhan yang tidak efektif oleh wali/orang tua. Orang tua lalai bisa saja diproses secara hukum karena tidak memenuhi tugas dan kewajibannya, maka saya rasa penting bagi orang tua yang baru menikah dan memiliki anak untuk memahami apa saja hak-hak yang harus dipenuhi oleh seorang anak, karena orang tua tidak memiliki hak untuk mengatur kehidupan anak, karena pemenuhan hak-hak anak telah diatur dalam regulasi, ini sebagai bentuk dari negara untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan warga negaranya tak terkecuali seorang anak.Â
Peranan orang tua hanya sebatas menjalankan dan memenuhi hak-hak secara formal dan informal yaitu didikan awal sebagai tindakan preventif yang setidaknya dapat meminimalisir jumlah kasus bullying di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita semua wajib sama-sama memerangi kasus ini, tindakan hukum dan perlindungan yang seadil-adilnya untuk kedua pihak baik pelaku maupun korban. Semoga kita semua dapat menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak asasi baik secara pendidikan, moral, keimanan, akhlak, psikologis demi keberlangsungan hidupnya di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H