Mohon tunggu...
Gabriella Juliana
Gabriella Juliana Mohon Tunggu... -

Ketika seseorang dilahirkan dan menyadari bahwa dia memiliki vagina sehingga dinamakan perempuan; berpenis sehingga dinamakan laki-laki, itulah pembiasan pertama yang terjadi di hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Ibu Pejuang Keluarga

26 Mei 2011   07:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wanita itu saat ini hanya seorang diri saja, namun ia tetap kuat menjalani hidupnya. “Aku memang secara fisik saja terlihat sendiri, tapi aku tak pernah sendiri, ada anak-anakku yang selalu menanyakan kabarku, ada Tuhan Yesus yang selalu menopangku”

 

 

Hidup tanpa seorang Ibu, layaknya hidup serba berkekurangan. Mungkin pernyataan inilah yang biasanya diungkapkan oleh sebagian besar orang akan makna sosok ibu. Ya, seorang Ibu adalah sosok yang sangat luar biasa, ia mampu menghiasi hari-hari dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Sebuah kasih yang terkadang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, sebuah makna cinta yang tidak dapat dengan mudah dituliskan.

           

Demikian pula dengan Margaretta, Ibu 3 anak yang berketurunan Thionghoa ini adalah salah satu dari sekian banyak Mama yang luar biasa. Di umurnya yang sudah 56 tahun, ia tetap adalah sosok yang terlihat tegar dan penuh gaya serta irama.

 

Sejak kematian suaminya, hanya wanita inilah tiada lelah untuk menghidupi keluarga dan terus menjaga anak-anaknya. Ia adalah pahlawan bagi anak-anaknya, pahlawan besar bagi keluarga. Tidak pernah ada keluhan yang keluar dari mulutnya, padahal kehidupan yang harus ditelusuri penuh dengan lika-liku.

 

Bagaimana pun saat ini dan sudah sejak dahulu kita selalu berada dalam lingkaran partriarki, di mana laki-laki yang selalu berkuasa dan paling hebat, kalau tidak ada laki-laki, bagaimana jadinya sebuah keluarga? Bagaimana mengandalkan perempuan yang biasa kita sebut ‘ibu’ untuk memimpin keluarga dengan kelemah lembutannya, dengan sikapnya yang seringkali mengandalkan perasaan, dan sebagainya, dan sebagainya.

 

Label seperti itu yang selalu dibebankan oleh para perempuan khususnya para ibu-ibu. Label ini seringkali membuat para ibu menjadi hancur dan tak bisa berbuat apa-apa, karena menyadari diri lemah, seolah-olah hanya suami lah yang paling bisa diandalkan.

 

Tentu lain dengan Ibu Margaretta, tidak pernah ia merasa bahwa dirinya lemah, kematian sang suami memang membuat dirinya terluka sangat dalam. Namun ia tidak ingin menyerah begitu saja.

 

“Aku memiliki 3 anak yang sangat ku sayangi, mereka butuh saya, mereka butuh mama yang tegar dan bisa memimpin mereka,” ujarnya tangguh.

 

            Dulu, ketika Sang suami sakit, ia tak henti-hentinya menjaga beliau dengan penuh kasih sayang. Cintanya pada suami mengalahkan uang yang selama ini telah mereka kumpulkan bersama. Banyak sekali harta keluarga yang terkuras habis untuk pengobatan suami, namun wanita kelahiran kota Singkawang ini tetap berjuang dan tidak ingin melepaskan harapan dalam upaya pemulihan suaminya.

 

“Saya masih ingat seberapa kali saya dan suami harus bolak-balik ke Negara Kuching (Malaysia) demi pengobatan suami yang akhirnya saya mengetahui adanya gangguan organ hati yang semakin lama semakin membesar dan menganggu pernapasannya.”

 

            Saat ini, dia hidup sendiri di kota kelahiran para anggota keluarganya, anak-anaknya harus meninggalkan beliau demi perkembangan karya masing-masing. Saat ini, ia masih bisa berhubungan dengan anak-anaknya melalui telepon, sementara itu, anak pertama nya yang sudah berkeluarga dan tinggal di Sintang, juga sering bolak-balik ke kota Singkawang untuk menegoknya.            

           

“Aku memang diajak untuk tinggal bersama anakku di Sintang, tapi saya menolaknya, saya sudah nyaman dengan rumah ini, rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan berarti. Tempat di mana keluarga saya terbentuk, tempat di mana anak-anak saya beranjak dewasa. Saya ingin berjumpa kembali dengan mereka di sini.”

Tanpa para pejuang ini, bagaimana keluarga dapat terus bertahan? Maka dari itu, di balik kesuksesan sebuah keluarga terdapat orang tua yang luar biasa, tidak hanya ayah sebagai kepala keluarga yang terus di sorot, peran ibu pun tidak boleh disepelehkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun