Mohon tunggu...
Gabriella Helen
Gabriella Helen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Mencoba menulis sesekali karena didesak ingin untuk memapar yang terupa, mencerita yang terasa dan mengisi kantung kata.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Terselip Pesan dari Pesona Pantai Goa Cina

8 November 2013   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:24 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disaksikan langit yang nyaris hitam pekat, tapi dicegat oleh sinar bulan yang memancarkan cahayanya ke segala arah sehingga menghasilkan warna hitam keabu-abuan, disinari lampu jalan kekuningan yang redup, lampu-lampu kendaraan yang tidak mau kalah memberi pantulan warna-warna yang beragam, serta aroma tanah bekas hujan dan udara sejuk yang masih terasa, membuat malam itu tampak penuh gairah.

Diiring doa, kami bertujuh, Gaby, Gita, Esta, Jeffri, Juanda, Salmon dan Briyant melaju meninggalkan kota Surabaya perlahan, menempuh kota Malang dengan average kecepatan 80 km/jam. Satu dua canda hadir di setiap 100 meter perjalanan, mencipta hangat yang benar hangat, yang sudi mengingkari dingin air conditioner dan udara malam di luar kaca mobil. Beberapa melakukan ritual perjalanan jauh seperti terlelap dan kembali terjaga, satu dua orang hanya diam dengan tatapan kosong menghadap jalan, memikirkan sesuatu-seseorang, sesuatu yang ambigu, yang mengawang, yang tak pasti, yang absurd, mungkin menyangkut perasaan hati atau masa depan atau pelajaran atau apa pun, serta Briyant sebagai navigator yang setia di sisi pria yang sangat fokus bersahabat dengan pedal-pedal, kopling, stir dan rem, tak lain dan tak bukan adalah Salmon.

Beberapa jam berlalu akhirnya kota Malang seperti menyambut kami bertujuh dengan ke-khas-annya yaitu udara dingin yang nyaman tak terperi, segar dan sedikit menusuk kulit sehingga beberapa dari kami harus melapisi tubuh dengan lembaran kain. Kami menepi, sejenak beristirahat mengumpulkan tenaga sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.

Jam empat, dini hari. Malang, 16 Februari 2013. Segelas kopi panas menghangatkan tubuh, kami siap kembali dalam perjalanan yang akan menempuh ribuan meter dari kota Malang. Langit masih setia dengan warna gelapnya, barangkali mentari masih malu, masih menyiapkan diri menyambut pagi, malu menunjukkan, jadi memendam dengan penasaran, penasaran tapi ingin. Atau masih terlelap? Ah, sudahlah. Jalanan di beberapa koordinat yang sepi sedikit-sedikit diramaikan oleh pedagang pasar pagi yang bersiap, semangat, penuh juang, yang menganut intepretasi masing-masing bahwa hidup penuh kerja keras.

Memasuki Turen, menjauhi kota Malang dan menyapa pedesaan. Kami dipertemukan dengan pohon-pohon tinggi, cantik, elok, mendayu-dayu seirama dengan terpaan angin, tampak sangat kompak, bak model fashion show kelas dunia ketika berjalan di catwalk. Sedangkan akses menuju tempat tujuan kami seperti ular berjalan, penuh kelok, namun pasti. Sesekali harus menurunkan kecepatan karena alas perjalanan kami, kerikil yang dipanaskan dan disatukan memang tidak selalu sempurna. Langit cerah, mentari akhirnya pun bersinar. Hangat, namun masih didominasi dengan udara sejuk di balik kaca.

Empat jam berlalu, akhirnya tampak jalan kecil arah tujuan, yang mengharuskan kami berjalan kurang lebih 700 meter. Sulit menapak, sulit melangkah. Jalan penuh batu, sangat tidak rata dan menanjak. Dalam hati bertanya, apa di balik jalanan itu? Seperti apa rupanya? Bagaimana wajahnya? Apakah indah? Sebanding dengan perjalanan kami yang sangat jauh tadi?

[caption id="attachment_300334" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan yang kami telusuri dengan berjalan kaki"][/caption]



Lukisan nyata dari Sang pencipta hadir mengisi bingkai mata. Semesta yang rupawan, pasir halus yang disinggahi serpihan karang dan debur ombak terasa deras, terekam di telinga kami, menyeret, mengajak setiap orang yang bermain air di tepian untuk ikut bersama ke tengah laut. Biru, lembut tak mau kalah dengan langit pagi itu. Terik, terik yang sungguh, menusuk kulit, menembus, membuat Aku, Esta dan Gita harus mengoleskan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun