Mengijinkan jarak meronggakan kita adalah goda dengan harap sepasang mata serta merta menolongku menggapai hasrat penasaran, sehingga aku dengan leluasa bisa meng-elukanmu dalam diam, aku bisa menghargai dan mencerna secara harafiah sebuah kata yang biasa kusebut dengan "kagum".
Aku nyaman dengan aku yang melulu tekun dalam mengamatimu, mengamatimu dari kejauhan. Rambut indah yang menyapu bahu, yang aku tahu kau tak perlu memberi high maintenance beribu untuk hadirkan definisi cantik padamu. Rok lusuhmu yang itu-itu saja namun tampak manis menyembunyikan kaki jenjangmu, gerak-gerikmu, cara berbicaramu yang patah-patah, cara berjalanmu yang cepat dan sedikit membungkuk. Biar kutebak, pasti buku-buku sastra memadati setiap inci ruang tasmu juga isi kepalamu. Kebiasaanmu mengangkat telepon sambil sedikit-sedikit morat-marit, serta caramu menopang dagu dengan tangan ketika sedang asik berfikir. Semua itu, semua itu tampak sempurna dimataku.
Seketika konsentrasiku buyar dan satu yang terlekat rapat dalam ruas-ruas otakku adalah ketika sebuah pandangan beradu dari kejauhan yang tak seberapa jauh, bahkan mungkin dengan lari-lari kecil sudah pasti aku menggapaimu. Kita hanya sejauh jenjang gugup dan degup kencangku. Namun demikian kataku tadi, aku sudah nyaman dengan jarak. Pandangan kita, ini adalah kenangan mampat yang dengan setia membayang-bayang. Sesederhana itu.
Sebab tubuh ini masih tak mampu menenangkan dirinya sendiri meski sudah membangun liang dibalut peredam, genderang bertabuh kencang semerbak melemaskan tubuh sejadi-jadinya. Sejadi-jadinya kau buat aku jadi orang paling salah tingkah dan tampak membodohi diri sendiri.
Pada kamu yang pendiam dan banyak tahu, tahukah kau di sini tempat ternyamanku? Yang aku tahu, adu pandang tadi adalah momen yang paling cepat kau lupakan. Aku ini sekilas bagimu, hanya separuh detik dan serapuh kursi berserat kayu yang kududuki, yang memenuhi ruangan. Namun inilah tempat favoritku meratapimu dengan ketidakpastian seperti gegap akan gempitanya. Seperti menanti panorama rona jingga dan nila pada langit yang menyambut rampai derai hujan. Tak pasti, tak tahu.
Sebab tubuh telah tersaruk-saruk begitu jauh dan peluh, serta rangka tak bisa disamakan dengan angka-angka yang punya perhitungan sendiri soal nilai mutlak sebuah ketiadaan, apalagi akurasi penantian.
Aku masih enggan melabuhkan pembicaraan pada sosok yang sangat membuat mulutku terkunci rapat. Entah mengapa, namun kupastikan pelesir riwayat kagum akan menghantar dan mengiringku dengan rapi pada kata pertama yang akan berada di waktu tertepat. Untukmu.
Surabaya, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H