Mohon tunggu...
Gabriella Devi Benedicta
Gabriella Devi Benedicta Mohon Tunggu... -

Peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. Tertarik dan aktif menyuarakan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Visibilitas Trans Laki-laki Muda di Dunia Kerja

11 Juli 2017   16:22 Diperbarui: 12 Juli 2017   14:19 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika trans laki-laki memilih untuk melakukan transisi fisik, bukan berarti mereka menunjukkan visibilitas identitas mereka kepada publik. Berdasarkan wawancara dengan informan, beberapa informan yang secara tegas menunjukan dan mengakui identitas gender mereka sebagai trans laki-laki sulit mengakses pekerjaan tertentu. Visibilitas ini menyulitkan trans laki-laki untuk dapat bekerja, khususnya di sektor formal. Beberapa informan akhirnya memutuskan untuk mengubah data diri mereka secara ilegal dengan tujuan untuk bisa mengakses pekerjaan dengan status sebagai 'laki-laki'.

Ketika sebuah identitas kebertubuhan menjadi suatu persoalan di ranah kerja formal, beberapa informan akhirnya memilih untuk mencari pekerjaan lain di sektor informal. Informan RYD yang berprofesi sebagai bidan sebelumnya, setelah menegaskan dirinya sebagai trans laki-laki melalui HRT, akhirnya memilih berprofesi sebagai ojek online. Hal ini dilakukannya sebagai negosiasi atas pilihan transisi fisik yang dilakukannya. Ketika harus memilih untuk bekerja sebagai bidan namun tetap harus menjadi 'perempuan' atau mencari pekerjaan lain yang tidak memiliki aturan khusus mengenai identitas gender, ia akhirnya melakukan transisi pekerjaan. Informan RD yang sebelumnya berprofesi sebagai perawat juga akhirnya memutuskan untuk berjualan minyak dan gel rambut laki-laki secara online. Hal ini mereka lakukan untuk tetap dapat bertahan dengan pilihan identitas gender yang mereka yakini namun tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka secara finansial.

Gender dan seksualitas adalah hasil konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Dalam masyarakat kontemporer, seksualitas dan gender memainkan peran penting dalam pembangunan identitas individu. "Seksualitas adalah nama yang diberikan untuk konstruksi sosial, menunjuk rasi bintang yang sangat berbeda, baik dilihat dari praktek, interaksi, emosi dan representasi yang menentukan ruang lingkup hubungan dan menyebabkan proses konstruksi tentu saja dapat bervariasi."[15]

Butler juga melihat seks dan gender sebagai bentuk dari konstruksi sosial karena baginya tidak ada kondisi alamiah bagi manusia selain penampakan tubuhnya sendiri. Seorang trans laki-laki yang sudah melakukan transisi fisik melalui operasi misalnya, dapat diasumsikan bahwa ia telah mengubah kondisi fisik alamiahnya dari bentuk perempuan secara biologis menjadi bentuk laki-laki. Ia tidak hanya mengubah bentuk fisiknya saja tetapi juga jenis kelamin dan berdampak pula pada orientasi seksualnya. Butler menyampaikan bahwa seks, gender maupun orientasi seksual bersifat sangat cair dan dapat berubah karena berbagai faktor serta dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat.[16]      

Konstruksi sosial yang memandang trans laki-laki sebagai suatu penyimpangan sosial juga membuat informan VL memilih untuk tidak melakukan transisi fisik dan menunjukan visibilitasnya sebagai seorang trans laki-laki karena alasan pekerjaan. Bekerja di sebuah bank yang mengharuskan ia berpenampilan menarik secara fisik membuat pakaian dan sepatu yang ia gunakan pun diatur. Transisi fisik bukan pilihan yang akhirnya diambil karena ia tidak ingin pilihannya untuk melakukan transisi tersebut justru akan menghambat karirnya. Informan muda yang sedang membangun karirnya di industri perbankan tersebut akhirnya mengambil pilihan yang dianggapnya rasional untuk mengikuti aturan kantornya tersebut untuk memakai kemeja, rok dan high heels. 

Kesimpulan

Identitas gender yang diyakini sebagai trans laki-laki memberikan pilihan untuk menunjukkan visibilitas mereka melalui ekspresi gender, baik secara terbuka maupun tertutup. Ekspresi gender yang terbuka dapat ditunjukkan melalui transisi, baik secara sosial maupun fisik. Namun, hal ini ternyata menimbulkan dilema tersendiri ketika mereka dengan terbuka menunjukkan visibilitas atas ekspresi gender mereka di dunia kerja. Persolan yang umumnya dihadapi oleh trans laki-laki muda di dunia kerja terkait dengan isu registrasi diri. Indonesia adalah salah satu negara yang dengan spesifik mencantumkan informasi atas jenis kelamin biner (perempuan dan laki-laki) dalam KTP sebagai standar informasi diri.

Negasi atas pemberian identitas gender sesuai yang tertera dalam kartu identitas diri mereka membuat beberapa informan penulisan ini akhirnya melakukan perubahan data diri secara ilegal (dari jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki). Negasi lain yang dilakukan adalah dengan menunjukkan ekspresi gender mereka sebagai laki-laki lewat penampilan dan pakaian. Hal ini menimbulkan masalah karena adanya anggapan ketidaksesuaian antara penampilan dengan data jenis kelamin yang tercantum di dalam KTP mereka. Trans laki-laki yang berpenampilan maskulin dengan kemeja, celana panjang, rambut pendek, kumis maupun jenggot serta bersuara berat menemui masalah ketika pihak perusahaan menemukan adanya perbedaan antara ekspektasi dan realitas yang tertera dalam data diri mereka di KTP sebagai perempuan.

 Tanggapan perusahaan terkait hal ini ditanggapi secara berbeda oleh trans laki-laki muda. Memilih untuk menjalani kerja di bidang informal akhirnya dipilih oleh beberapa informan sebagai bentuk negosiasi atas pilihan mereka untuk mempertahankan penampilannya yang maskulin. Namun, pilihan untuk tidak melakukan transisi fisik juga akhirnya diambil oleh informan lainnya sebagai pilihan rasional untuk tetap diterima bekerja di bidang pekerjaan yang ia minati. Di Indonesia, adanya aturan hukum ketenagakerjaan yang dengan jelas melarang praktik diskriminasi atas dasar apapun masih perlu dipertanyakan karena identitas gender ternyata masih menjadi dasar terjadinya diskriminasi dan ketidaksetaraan seksual. Oposisi biner yang berbasis konstruksi sosial masih menjadi dasar kuat yang menentukan status dan peran seseorang dalam dunia kerja.
 
 

[1] Cisfemale dan cismale (cis-gender) menjelaskan adanya keselarasan antara seks pada saat dilahirkan dengan identitas gender yang mereka yakini. Cisfemale adalah seseorang yang terlahir perempuan dan meyakini bahwa identitas gendernya juga perempuan sedangkan cismale adalah seseorang yang terlahir laki-laki dan meyakini bahwa identitas gendernya juga adalah laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun