Sejak hari kedua bekerja, Mas Jaya selalu menyempatkan diri ke ruanganku, untuk sekedar menyapa atau memberikan makanan. Parasnya tampan, tutur katanya santun dan dia begitu sopan. Hari ini sudah 6 bulan aku bekerja di tempat ini, dan Mas Jaya selalu melakukan kebiasaan yang membuatku sangat senang.Â
Orang-orang kantor juga tidak memperbincangkan kami, karena memang Mas Jaya sangat profesional. Mas Jaya sudah mengetahui kehidupanku, begitu juga denganku. Dia anak tunggal, single, dan katanya dia menyayangi ku. Mas Jaya selalu mengantar dan menjemputku bekerja, tanpa ku minta. Terkadang di hari libur mengajak ku berlibur bersamanya. Dia belum membawaku ke keluarga besarnya, karena semuanya belum pulang dari luar negeri.
Hari ini  Mas Jaya ditugaskan untuk kunjungan ke luar kota, dan pulang nanti dinihari. Dia sudah meminta maaf tidak bisa mengantarku. Aku bersyukur menemukan dia yang sangat menghargaiku.Â
Berhubung Mas Jaya tidak ada, sorenya aku pulang menggunakan Taxi. Saat sedang menunggu Taxi, ada seorang ibu dan putri kecil nya juga ikut menunggu denganku.Â
Tiba-tiba hujan turun, gerimis, dan Taxi belum kunjung datang. Aku melihat putrinya kedinginan, sang Ibu juga tampak tidak mengenakan jaket. Aku mengambil selendang dari dalam tas ku, biasanya selendang ini aku gunakan untuk menutupi kaki, jika rok ku terlalu pendek.
"Ini dek, biar kamu gak kedinginan" kataku sembari memberikan selendang. Ibunya tersenyum sambil melihat ke arahku.
"Terimakasih ya kakak, maaf ya mbak jadi merepotkan" kata si Ibu. Aku menggeleng dan tersenyum.
"Coba aja Papa gak ke luar kota, pasti kita dijemput hari ini kan Ma" kata putrinya. Ibunya hanya diam saja.
"Rumahnya dimana mbak?" Tanya si Ibu kepadaku.
"Di Tanjung Bu, Ibu mau pulang ke arah mana?" tanyaku balik.
"Kami ke arah BST mbak, oh iya mbak kerja dimana?" tanya si Ibu.
"Di Kantor Mustang, Bu" jawabku.
"Oh ya, Papa nya juga kerja di Mustang mbak" kata si Ibu.
"Wah, jangan-jangan Pak Direktur lagi" kataku.
"Halah halah amin mbak, Papa nya kepala bagian, Mustang kan lumayan besar ya mbak, mungkin mbak tidak kenal dengan suami saya" kata si Ibu.
"Nama beliau siapa Bu?"tanyaku.
"Jaya Handika mbak" seketika aku langsung lemas, ditambah hujan semakin deras.
"Ooo, bagian apa Bu?" tanyaku untuk meyakinkan diri sendiri.
"Kepala Bagian Produksi, mbak, memangnya mbak bagian apa?" tanya si Ibu. Rasanya dunia sudah runtuh. Jaya menipuku.
"Ohh saya cuman Receptionis Bu" jawabku bohong.
"Gak papa mbak, nanti juga pasti bisa ke jabatan lebih tinggi" kata istri  Mas Jaya. Kemudian dia menelepon Jaya.
"Halo mas, kamu jangan lupa minum air hangat ya, cuaca sedang gak bagus. Oh iya mas ini aku ketemu sama Receptionis kantor kamu, tapi kayaknya mbak nya gak kenal, eh namanya siapa mbak?" aku mematung, rasanya ingin menangis dan menyalahkan diri sendiri.
"Via Bu" jawabku bohong, kebetulan Receptionis kantor memang bernama Via.
Taxi datang dan kami bertiga masuk ke dalam.
"Suami saya sibuk banget mbak, pagi jam 7 udah berangkat, padahal kantor masuk jam 8, tapi sejak 6 bulan ini dia berangkat cepat tapi pulang lama. Saya paham sih mbak tuntutan pekerjaan." Aku menahan air mata, betapa bersalahnya aku saat ini.
"Suami saya jarang di rumah mbak, libur juga pasti pergi sama rekan kantornya, katanya ngurus proyek." Aku diam saja. Aku harus melakukan apa sekarang. Tiba-tiba HP ku berdering, aku memeriksa ke dalam tas. Astaga Mas Jaya meneleponku, aku tidak mengeluarkan HP, karna nama Mas Jaya tidak ku ubah sama sekali.
"Kenapa gak diangkat mbak?" tanya Istri Mas Jaya.
"Oh ini pacar saya, kami lagi berantem, males Bu, angkatnya" kataku tertawa.
"Anak muda sekarang memang begitu ya, saya sebenarnya juga berantem sama suami saya. Saya ngerasa dia agak beda beberapa bulan terakhir." Istri Mas Jaya menatap ke luar jendela. Aku benar-benar membenci Mas Jaya sekarang.
"Kamu nginap di rumah saya ya mbak, soalnya di rumah hanya ada kami berdua." Aku memutuskan untuk mengangguk, karena semua harus diakhiri malam ini juga. Bagaimana mungkin aku merenggut kebahagiaan ibu dan anak ini.
Kami sudah sampai di depan rumah mereka. Mas Jaya tidak pernah membawaku masuk ke dalam rumahnya, alasannya tidak enak dengan tetangga, lalu aku pun melakukan hal sebaliknya.Â