Mohon tunggu...
Gabriella Carlene
Gabriella Carlene Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - perempuan

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jika Tidak Sampai di Dunia, Biarlah di Akhirat - Resensi Novel “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijck “

1 Oktober 2021   14:11 Diperbarui: 1 Oktober 2021   14:27 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Identitas Buku
Judul                       : Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Penulis                   : Hamka
Penerbit                 : Gema Insani
Tahun terbit         : 2017
ISBN                         : 978-602-250-416-0
Dimensi buku       : 20,5 cm x 14,4 cm
Jumlah halaman : 260 halaman

Sudah tidak asing lagi dengan buku yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, buku fiksi yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 ini mengisahkan dua sejoli yang memiliki nasib malang, menarik perhatian pembaca sehingga dibuatlah film dengan judul yang sama dengan buku tersebut. Di balik kesuksesan karangan tersebut terdapat seorang penulis yang legendaris yaitu Abdul Malik Karim Amrullah yang orang - orang kenal dengan panggilan Hamka. Hamka yang merupakan Ulama, jurnalis, dan sekaligus aktivis Islam memiliki ciri khas pada setiap karya yang dituliskannya. Ia kerap meninggalkan unsur keagamaannya yaitu Islam ke dalam buku yang dituliskannya. Tidak hanya itu, ia juga menyisipkan rasa cinta kebangsaan, nasionalis, dan nilai kehidupan lainnya yang menambah keindahan ceritanya.
Kisah ini dimulai dengan kilas balik  latar belakang ayahnya Zainuddin yang memiliki gelar Pendekar Sutan. Ia dibuang 15 tahun ke Mengkasar akibat perbuatannya yang menewaskan Mamaknya. Ia pun jatuh hati pada kota Mengkasar dan menikah. Beberapa tahun kemudian lahir seorang anak laki - laki berbudi baik yaitu Zainuddin.
Sejak kecil ibunya Zainuddin meninggal dan ayahnya pun menyusul. Ketika sudah tumbuh menjadi dewasa, Zainuddin ingin pergi ke kampung halaman ayahnya yang sering didengar dari Mak Base. Tepatnya di Padang Panjang, dimana disana juga dikenal memiliki ilmu agama yang bagus. Akhirnya Mak Base mengizinkan ia pergi.
Awal kedatangannya, Zainuddin diterima dengan baik namun seiring berjalannya waktu, ia juga merasa diasingkan karena memiliki darah campuran. Ia pun berniat untuk pulang ke Mengkasar tetapi mengurungkan niatnya semenjak pertemuan pertamanya dengan Hayati dan berlanjut dengan surat menyurat.
Sayang sekali hubungan mereka tidak direstui oleh keluarga Hayati karena asal usul Zainuddin yang memiliki darah tak murni Padang dan miskin harta. Oleh karena itu Zainuddin dipaksa untuk pergi dari Dusun Batipuh dan ia pun pergi ke kota Padang Panjang. Tak lama kemudian Hayati dinikahkan dengan Aziz, kakak sahabatnya. Karena keluarga Aziz kaya raya dan terpandang, pinangan Zainuddin langsung ditolak.
Penolakan dan kabar duka berpulangnya Mak Base membuat Zainuddin terpuruk dan jatuh sakit. Setelah sembuh, ia pun bangkit dan pergi ke Jawa lagi bersama sahabatnya Muluk untuk membuka memulai hidup baru. Pada akhirnya Zainuddin menjadi penulis yang terkenal dengan menggunakan nama samaran “ Z ” pada karyanya.
Di tengah kejayaannya, datang kembali sosok dari masa lalu yaitu Hayati yang pindah ke Surabaya bersama Aziz karena ekonomi yang terpuruk. Mereka pun menumpang di rumah Zainuddin. Karena merasa malu akan kebaikan Zainuddin, Aziz merasa tidak layak dan bunuh diri meninggalkan Hayati. Hayati dan Zainuddin diambang pilihan terberat dalam hidup mereka dan Zainuddin memutuskan untuk menolak cinta Hayati.
Hayati dipulangkan keesokan harinya dengan Kapal Van der Wijck. Di saat Hayati meninggalkan pulau dengan kapal, Zainuddin pun menyesal dan kembali namun sayang kapal tersebut dikabarkan tenggelam. Hayati yang tidak terselamatkan membuat hati Zainuddin hancur sampai membuatnya sakit - sakitan dan segera menyusul Hayati.
Buku yang berjudul “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijck “ ini memiliki banyak keunggulan. Walau memiliki tema romansa, buku ini ternyata juga menyisipkan adat istiadat yang ada di salah satu daerah di Indonesia. Tidak hanya itu, penulis juga menambahkan ilmu keagamaan yang ia anut. Menurut saya hal tersebut adalah gaya menulis yang unik sehingga menjadi keunggulan karena memberi ilmu juga kepada pembacanya. Pesan moral yang diberikan secara tersirat maupun tersurat juga dapat disampaikan kepada pembaca dengan baik.
Buku yang terdiri dari 28 bab ini memiliki sampul buku yang menarik karena komposisi warnanya yang bagus dan kualitas kertas sampul bukunya juga tergolong baik. Kertas pada buku ini juga tebal dan berwarna putih keruh yang cocok dengan tema buku serta menambah keestetikaan. Keunggulannya yang terakhir, cerita ini dikisahkan secara maju atau alur maju sehingga pembaca mudah memahami alur ceritanya.
Walau memiliki banyak keunggulan, tidak berarti buku ini tidak memiliki kekurangan. Buku ini memang memiliki cerita yang membuat para pembaca penasaran, namun jarak cerita untuk mencapai klimaks terlalu lama sehingga pembaca cenderung lebih dulu merasa bosan. Adapun kekurangan pada gambar di setiap bab berwarna hitam putih. Hal itu merupakan kekurangannya karena gambar tidak jelas sehingga pembaca harus berasumsi sendiri.
Dari buku ini terdapat banyak pesan moral yang didapatkan yaitu perilaku, usaha, dan tekad tidak akan mengecewakan diri kita namun diantara semua itu, kita juga harus ingat kepada Tuhan untuk mewujudkan semua itu. Amanat lain yang didapatkan yaitu jangan sampai sesuatu dapat memisahkan cinta walaupun itu adat maupun dari orang lain karena cinta yang bahagia hanya berdasarkan ketulusan.
Buku ini direkomendasikan untuk masyarakat heterogen karena membahas topik yang luas. Walau buku ini ditulis tahun 1938, kisah ini masih relevan dengan kehidupan kita sehari - hari tentang suku, agama, dan adat istiadat. Lebih tepatnya, buku ini disarankan untuk remaja SMA karena pembahasan dan kebahasaan yang dipakai cukup luas dan sulit sehingga lebih cocok untuk remaja SMA hingga dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 2017. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Jakarta : Gema Insani.

Muhammadiyah, Suara. 2019. “Buya Hamka di Antara Adat, Sastra, dan Agama”, https://suaramuhammadiyah.id/2019/02/17/buya-hamka-di-antara-adat-sastra-dan-agama/, diakses pada 27 September 2021 pukul 14.41.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun