Nama : Gabriela Valery Romana
NIM : 43221010030
Prodi : Akuntansi / Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Universitas Mercu Buana
Sadulur Papat Lima Pancer Sebagai Kearifan Lokal Indonesia
Dalam ilmu falsafah jawa, terdapat istilah “Sadulur Papat Limo Pancer” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Empat Saudara dan Menjadi Lima Sebagai Pusatnya”. Sedulur Papat Limo Pancer oleh masyarakat jawa biasa disebut juga dengan Konsep Mandala (4+1) yang berarti sebuah hubungan antar manusia dengan alam serta manusia dengan Pencipta-Nya. Papat (4) menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia yang tidak luput dari hawa nafsu (mikrokosmos) sedangkan yang kelima adalah alam semesta (makrokosmos).
Empat saudara yang berada pada jagat kecil adalah keempat kiblat, terdiri dari utara, selatan, barat dan timur. Selain itu terdapat saudara pancer dimana manusia berada. Sadulur Papat tersebut dianggap sebagai simbol perlindungan yang melindungi diri dari keemoat arah mata angin. Lalu yang kelima adalah kata “Pancer” yang mengacu pada diri kita sebagai pusat atau pengontrol dari keempat saudara tersebut. Sedulur papat sejatinya merupakan bagian dari diri kita. Menurut kebudayaan jawa, selain sebagai pelindung, Sadulur Papat Limo Pancer memiliki peran sebagai penasihat atau sarana konsultasi untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Keempat jagat kecil tersebut merupakan saudara yang mengiringi manusia saat kelahirannya, seperti kakang kawah (air ketuban), adi ari-ari (plasenta), getih (darah), dan puser (tali plasenta). Sedangkan Pancer atau Pusat, bermakna sebagai “Ruh” yang ada dalam diri manusia. “Ruh” ini akan mengendalikan kesadaran seseorang agar tetap “eling lan waspodo” kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi seorang Individu yang bijaksana.
Kakang Kawah
Memiliki arti air ketuban, yang berperan sangat penting dalam membantu kelahir si jabang bayi. Air ketuban membantu bayi bergerak bebas di dalam rahim ibu.
Adi Ari-ari
Disebut juga dengan plasenta, menjamin kelangsungan hidup sebagai sumber makanan membantu pernapasan bayi. Karena disebut sebagai adik si bayi, maka ari-ari harus dikubur bersama berbagai perlengkapan (kembang boreh, kemenyan, bawang putih / merah, kelapa, gula, jarum, pensil, atau buku). Dalam kepercayaan jawa, ari-ari dianggap sebagai teman yang sering “bermain” dengan bayi.
Getih
Getih atau darah juga menjadi dan sumber kehidupan bayi yang memasok zat-zat penting bagi pertumbuhan bayi dalam kandungan. Disebut juga pembantu setia.
Puser
Puser atau tali pusar menjadi penyalur makanan dari ibu pada bayi. Disebut juga pemberi makan.
Pancer atau pusat, yaitu diri kita sendiri.
Bagi masyarakat jawa, tentunya sudah tidak asing dengan istilah weton. Weton merupakan penanggalan (hari lahir) seseorang dilihat dari kalender Jawa. Pada umumnya, weton dianggap sebuah ramalan untuk menentukan sesuatu, sebagai contoh menghitung hari, memprediksi jodoh, rezeki, dan lain lain. Berdasarkan Primbon Jawa, setiap dari weton tersebut memiliki karakter masing-masing terkait keberuntungan atau kesuksesan. Berkaitan dengan Sedulur Papat Limo Pancer, kalender Jawa biasa identik dengan hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing). Pancer merupakan simbol Kliwon, sebagai weton utama. Air ketuban melambangkan Legi, ari-ari sebagai lambang Pon, Getih melambangkan Pahing, sedangkan Puser melambangkan Wage.
Dalam budaya masyarakat Jawa, Sedulur Papat Limo Pancer menjadikan konsep tersebut dalam penamaan hari seperti pasaran Legi (timur), Pahing (selatan), Pon (barat) , Wage (utara), dan Kliwon (pusat). Jauh-jauh hari menggagas konsep diri dalam kehidupan dengan tujuan agar manusia menjadi dirinya sendiri meskipun dalam dirinya ada diri-diri yang lain (Buber, 1965).
Masih menyangkut “Sedulur Papat Limo Pancer”, dapat diibaratkan sebagai seorang ksatria dengan para pengikut setianya, Punakawan. Dalam kisah pewayangan kita mengenal tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar memiliki ciri khas berambut putih yang melambangkan pikiran (Cipta), Gareng bermata juling dengan kaki pincang melambangkan kewaspadaan (Rasa), selanjutnya Petruk melambangkan adanya sebuah kehendak (Karsa), dan Bagong sebagai lambang dari kesediaan untuk bekerja keras (Karya).
Seperti yang kita lihat dalam pertunjukkan wayang kulit, dalam budaya Jawa terdapat suatu “gunungan”. Gunungan pada wayang kulit berbentuk lancip ke atas yang melambangkan kehidupan kita sebagai manusia. Semakin bertambahnya usia dan tinggi ilmu yang dimiliki, manusia harus semakin golong gilig manunggaling jiwa, rasa, cipta, dan karya dalam hidup ini (mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa). Begitupun dalam pandangan filosofi jawa “Sedulur Papat Limo Pancer”, gambar Gunungan pada wayang kulit purwa memiliki arti cukup mendalam terkait kepercayaan masyarakat Jawa. Pada Gunungan terdapat gambar harimau, monyet, banteng, dan burung merak. Hewan-hewan tersebut memiliki makna bahwa sebagai manusia kita selalu diikuti oleh keempat saudara ghaib hingga akhir hayat.
Masing-masing hewan dalam Gunungan wayang kulit tersebut memiliki empat nafsu berbeda. Harimau melambangkan nafsu amarah, banteng mewakili nafsu sufiyah atau kecantikan, monyet melambangkan nafsu serakah, sedangkan buruk merak melambangkan nafsu ketenangan. Dari keempat nafsu tersebut, sudah menjadi kewajiban diri (pancer) untuk mengendalikan dari rasa egois dan serakah agar terhindar dari konflik.
Dalam kiasan ruang dan waktu terdapat keempat unsur dalam diri manusia sebagai Pusat atau Pancer. Porporsi unsur-unsur ini hadir dengan proporsi yag tepat agar mental dan kejiwaan kita sebagai manusia tidak terganggu. Jika salah satu terlalu berlebihan makan akan mengakibatkan ketidaseimbangan dalam tubuh, jiwa, dan pikiran kita.
Jika dikaji lebih jauh, “Sadulur Papat Limo Pancer” memiliki keterkaitan dengan keempat elemen pendukung yaitu tanah, air, api, dan angin. Lalu elemen kelima sebagai Pancer adalah Ruang. Hal ini berarti keempat elemen tersebut bergerak sesuai dengan keadaan, namun semua tetap berada dalam ruang kesadaran kita. Tanpa adanya kesadaran, kita dapat mudah memberontak, berperilaku sewenang-wenang terhadap alam, serta tidak peduli dengan situsi yang ada. Seringkali sebagai manusia kita lupa bahwa eksistensi kita di alam semesta tidak dapat terlepas dari elemen- elemen tersebut.
Unsur-unsur tersebut, yaitu tanah, api (geni), air, dan udara. Unsur tenah melambangkan, tanggung jawab, kekuatan dalam prinsip, serta keberanian. Sedangkan unsur api melambangkan semangat, amarah, sifat religious, dan ego. Selanjutnya air melambangkan kasih sayang dan tingkat kedengkian. Kemudian, unsur udara melambangkan kemampuan berbicara, tingkat kepercayaan diri, serta negosiasi.
Dalam istilah Jawa, ini disebut "sedulur papat limo pancer". Ini adalah warisan budaya berharga yang secara langsung terkait dengan filosofi dasar kehidupan kita. Yang pertama adalah kesadaran. Kita telah diberi karunia kesadaran untuk mengarungi kehidupan ini. Yang kedua adalah perasaan. Kita merasakan gejolak seperti keinginan, simpati, cinta, benci, iri hati, semangat, kegembiraan, kesedihan, kemalasan, kebingungan, keraguan, dan dendam. Sebuah sentimen yang sering terombang-ambing antara menegakkan kebenaran esensial dan kasih sayang. Antara cinta dan akal, antara kesadaran berbuat baik dan tertekan dalam sifat cemburu.
Ketiga adalah hati. Pikiran ini terus-menerus menyaring apa yang dirasakan panca indera, menganalisis peristiwa, dan menarik kesimpulan setelah mikroskop. Pikiran-pikiran ini sering melawan emosi kita sebelum kita bertindak. Pikiran selalu memungkinkan kita untuk menimbangnya dengan logika moral dan ilmiah.
Keempat adalah keinginan. Naluri dasar yang mendorong manusia adalah kebutuhan untuk makan, tidur, memuaskan keinginan, dan mengakui keberadaan. Keinginan ini sering menguasai pikiran, kesadaran dan kesadaran. Kita perlu mengelola hasrat dengan baik dan benar. Dengan terus-menerus mempelajari nilai-nilai agama seperti moralitas, etika, dan estetika, ada sesuatu yang menjadi “ingatan” yang menjaga keinginan agar tidak lepas kendali.
Mengenal diri sendiri dalam falsafah Jawa berarti mengenal Sedulur Papat dan mampu terus-menerus memikirkan pekerjaan dan aktivitasnya sehari-hari. Bagian yang menonjol dari Sedulur mempengaruhi karakter dasar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengingatkan filosofi Jawa untuk mengetahuinya terlebih dahulu sehingga ia bisa melakukan penyesuaian antara karakter dan pekerjaan yang akan dilakukan.
Empat karakter dasar yang dikenal dalam dunia psikologi diadaptasi dari Humorim, antara lain optimis (Sanguinis), pemarah (Koleris), melankolis, dan lesu (Plegmatis). Oleh karena itu, filosofi Sedulur Papat Limo Pancer juga sangat relevan dengan empat karakter dasar manusia ini.
Sanguin
Sanguin dipengaruhi oleh sifat darah. Teori psikologi berpendapat bahwa orang dengan kepribadian optimis ini biasanya selalu optimis, bahagia, antusias, dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Ini adalah filosofi yang sama dengan Sedulur Getih (Darah). Ini adalah gambaran dari "pasemon" atau sifat nafsu, yang memelihara harga diri, kemarahan, emosi, ambisi dan pemenuhan keinginan. Keinginan menjadi kaya untuk mendapatkan lebih banyak, berada di bagian ego ini.
Plegmatis
Teori psikologi berpendapat bahwa orang dengan kepribadian dingin cenderung menghindari konflik dan lebih menyukai kedamaian, harmoni, dan keintiman. Ini adalah filosofi yang sama dari Sedulur Ketuban.
Corelis
Koleris dipengaruhi oleh kepribadian Empedu Kuning, sehingga ego dominan dalam kepribadian ini. Teori psikologi berpendapat bahwa orang koleris sangat berorientasi pada tujuan, analitis, dan logis. Hal ini sesuai dengan falsafah saudara Adi Ariari (plasenta) yang memiliki unsur udara, sehingga dorongan untuk memenuhi keinginan sangat besar.
Melankolis
Melankolis sangat dipengaruhi oleh karakter empedu hitam sehingga tidak terasa seperti bagian dari tubuh sendiri, memberi banyak bagian lain kesempatan untuk berperan. Orang dengan tipe melankolis ini cenderung sensitif, penyayang, bahagia, di belakang adegan, dan juga pemikir. Hal ini mirip dengan filosofi Sedulur Puser (Placenta Code) dengan unsur tidak mementingkan diri sendiri.
Dalam setiap tindakan kita sebenarnya terdapat “bisikan” yang berasal dari hati nurani. Terkait benar tidaknya tindakan tersebut. Tetapi sebagai manusia fana, kita lebih sering menuruti hawa nafsu dan kenikmatan duniawi dibanding mendengarkan suara hati nurani dalam diri.
Meski sedulur papat tidak berwujud fisik, namun jika kita meletakkannya dalam alam bawah sadar maka “saudara” kita tersebut juga dapat membantu dalam hal kebaikan. Pikiran bawah sadar tidak tidur ataupun beristirahat (Haanel, 2012). Tidak berbeda dengan kerja jantung dan darah kita yang selalu bekerja. Apabila kita meyakini hal-hal yang ingin dicapai pada alam bawah sadar, maka hal tersebut akan meningkatkan motivasi diri untuk mewujudkannya.
Harus kita yakini adalah bahwa Pancer atau diri kita mempunyai alam bawah sadar yang terhubung dengan pikiran univeral atau alam semesta. Hubungan ini bersifat konstruktif, hal ini secara tidak langsung memberi sugesti dalam membentuk kondisi sesuai yang kita inginkan.
Terdapat beberapa sifat alam pikiran bawah sadar yang dapat mewujudkan sedulur papat tersebut, seperti kuat atau lemahnya intensitas emosi, reaksi psikologis yang dihasilkan, perubahan tubuh fisik, memiliki imaginasi yang kuat, adanya sugesti berulang untuk penguatan data, mengkondisikan diri sepenuhnya sadar, berorientasi pada masa kini, mengurangi penggunaan kata berkonotasi negatif, dan mengikuti instruksi positif secara repetitif.
Dalam falsafah “Sadulur Papat Limo Pancer” yang bersifat kejawen ini, mengajarkan kita berbagai macam cara untuk memenangkan “peperangan” dengan laku prihatin melalui empat tahapan yang harus secara tuntas dilaksanakan. Keempat tahapan ini dikiaskan dalam nada suara nstrumen Gamelan Jawa bernama Kempul atau Kenang dan Bonang yan menghasilkan bunyi Neng, Ning, Nung, dan Nang. Akhir dari keempat tahap tersebut adalah kodrat, seperti yang terdapat pada Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu (wedaran, atau ajaran-ajaran yang menurut kisah pewayangan Jawa diajarkan atau diwedarkan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi).
Masing-masing bunyi ini memiliki filosofinya masing-masing, seperti Neng yang berarti jumeneng (konsentrasi dalam membangkitkan kesadaran batin dan penyelarasan dengan Sang Pencipta. Lalu Ning yang berarti wening (dalam kehedingkan kita mengheningkan cipta untuk menangkap sinyal ghaib dari sukma sejati). Kemudian Nung memiliki arti kesinungan, yang bermakna utama (dalam Nung akan datang dari Hyang Mahasuci melalui rahsa guna ditangkap oleh sukma sehati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah menjadi manifestasi laku utama. Terakhir, Nang memiliki arti menang (kemenangkan yang dimaksudkan berupa anugerah kenikmatan dalam meraih kehidupan sejati yang selalu berkecukupan dan penuh keberuntungan atau meraih ngelmu beja.
Falsafah jawa kuno “Sedulur Papat Limo Pancer” memiliki makna spiritual yang teramat dalam. Lima elemen dasar di dalamnya berbicara mengenai kelahiran seorang menusia (jabang bayi) yang tidak lepas dari pernyerta (sedulur) tak kasat mata. Sedulur atau saudara inilah yang menyertai kehidupan sesorang mulai dari lahir ke dunia hingga mati.
Istilah Sedulur Papat Limo Pancer oleh penganut kejawen diyakini sebagai warisan budaya karya Sunan Kalijaga pada abad 15-16, yang bersumber dari suluk Kidung Kawedar atau Kidung Sarira Ayu di bait ke 41-41.
Marmati memiliki arti Samarti atau takut mati. Berasal dari kekhawatiran seorang ibu akan tibanya hari kelahiran yang akan mempertaruhkan nyawanya. Setelah itu keluarlah Kawah (air ketuban), ari-ari, dan getih. Karena yang keluar terlebih dahulu adalah air ketuban, lantas dianggap sadulur tuwa atau Kakang Kawah. Setelah bayi dilahirkan, ari-ari yang keluar setelahnya disebut adi ari-ari. Begitupun dengan Rah/Getih (darah). Keduanya disebut sadulur enom. Sedangkan Puser dianggap sebagai pusat. Hal inilah yang memunculkan istilah “Sadulur Papat Limo Pancer”.
Orang jawa pada umunya mempercayai adanya eksistensi dari sedulur papat atau saudara empat yang akan selalu mendapingi dimanapun dan kapanpu perjalanan hidup manusia selam hidupnya. Meski keempat unsur tidak berwujud jasmani, namun alangkah baiknya untuk memiliki hubungan baik dengan mereka. Sedulur papat (empat saudara) tidak hanya dimaknai sebagai keempat kiblat, namun juga sebagai usur alam, seperti angin, tanah, api, dan angin, yang menjadi pembentuk jasad manusia.
Bagi masyarakat di tanah jawa, keberadaan dan cara merawat Sedulur Papat Limo Pancer merupakan panutan dari wejangan leluhur, yang harus dihormati dan dirawat. Mereka dianggap sebagai penjaga manusia atau pamomong. Dalam budaya jawa, secara turun-temurun sudah menjadi tradisi untuk membuat salah satu sesaji atau sajen aneka macam sega (nasi), misalnya ubo rampe sega putih, sega cemeng, sega kakak laki-laki (sega merah, dan sega kuning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H